Bab 4
-Death it so terribly final,
while life is full of possibilities-
Tryon Lannister
SECERCAH
cahaya mulai menerobos tajam ke sela-sela puing. Sosok seorang wanita kemudian tampak
keluar dari cahaya itu.
“Alicia!”
pekik Hana dari balik reruntuhan.
Tak lama,
puing-puing reruntuhan itu berhasil dipindahkan oleh tim penyelamat. Hana
segera berlari ke tempat Alicia. Sempat tercengang melihat sang gadis berada di
pelukan seorang pria tak dikenal, Hana menghela nafas panjang untuk menenangkan
dirinya sendiri.
“Maaf,
mungkin penyakit traumanya kambuh. Itu sebabnya, Alicia memeluk Anda.” Hana
mencoba memberi penjelasan ketika tubuh Alicia sulit dipindahkan.
Rain tak
bicara sedikit pun. Ada hal yang menganggunya ketika melihat Alicia yang masih
pingsan. Perasaan yang sangat rumit penuh misteri muncul tiba-tiba, membuat
Rain mengernyit tak mengerti.
“Eh, bisakah kau membantuku membawanya masuk ke ambulance?”
“Ya. Tapi sedikit merepotkan,” ucap Rain tak yakin
melihat darah di lengannya.
“Kau terluka?!” pekik Hana makin khawatir.
Alicia
mulai meracau, setengah tersadar. Ia merintih di balik bahu Rain. Wajahnya
tenggelam di perpotongan leher sang pria yang mulai mengernyit kesakitan.
“Alicia,
kumohon jangan seperti ini,” bisik kuat Hana yang sesekali menatap Rain
canggung.
Pria itu
masih tercenung dan pasrah ketika salah satu tim mulai memasangkan masker
oksigen padanya. Semua yang terjadi seperti kilatan-kilatan mimpi.
“Alicia, ini
aku Hana. Kau sudah selamat, sayang! Ayo, kita harus naik ke ambulance sekarang.
Pria ini tidak bisa menggendongmu karena lengannya terluka. Jadi sadarlah!”
Merasa
kondisinya sedikit membaik, Rain membuka masker oksigennya, lalu dengan
hati-hati memindahkan kepala Alicia dari pundaknya ke pundak Hana. Tanpa
mengucapkan apapun, Rain berusaha bangkit berdiri. Namun belum sampai
melangkah, tiba-tiba saja Alicia menarik ujung jaketnya.
Gadis
yang memakai masker oksigen itu menatapnya sayu. Dadanya naik turun dengan cepat.
“Anda mau
kemana? Ikutlah kami ke Rumah Sakit.”
Lagi-lagi
membisu, mata sayu Rain yang kosong semakin membuat Hana penasaran.
Suara sirine
ambulance makin berdenging keras. Tim medis datang membawa kereta dorong.
Mereka langsung mengangkut Alicia. Rain pun ikut membantu beberapa perawat
karena tangannya masih digenggam erat oleh sang gadis.
“Kau
ingin hidup, kan? Sekarang kau sudah selamat. Tidak ada hal yang perlu kau
takutkan lagi,” bisik Rain.
Rona merah
samar-samar muncul di wajah Alicia. Matanya berpalung dalam pada kilat mata
cokelat tanah Rain yang perlahan-lahan
melepas genggamannya.
“Terima
kasih,” ucap Hana sedikit membungkuk di depan Rain kemudian masuk ke mobil
ambulance bersama Alicia.
…
Tercenung
sesaat setelah melepas gadis tak dikenalnya itu, pikiran Rain teralih dengan
cepat ke arah Mia dan Ferry. Jantungnya kembali berdegup kuat. Kedua matanya terbuka
lebar. Rasa takut dan cemas menguasai, membuat luka di tangannya mati rasa.
Dengan
seronoh, Rain menerobos orang-orang yang menghalangi jalannya. Lalu melewati
teman-temannya yang selamat dari kebakaran−digiring para polisi.
Langkahnya
terhenti di depan seorang polisi yang sengaja menghalangi jalan. Polisi itu
tampak tenang. Bahu kanan Rain ditepuk. “Ikut kami!” tegurnya.
Rain
membatu. Ia menatap polisi itu tanpa ekspresi, kemudian menunduk.
“Anak
perempuan,” gumamnya dingin. Dagunya terangkat, menatap tajam polisi itu.
“Umurnya enam belas tahun. Tubuhnya kurus. Setinggi ini.” Rain mengarahkan
tangan di bawah telinganya. “Dia adik perempuanku. Apa Tuan menemukannya?”
Teringat
sesuatu, pandangan Polisi itu beredar ke area tempat dua mobil ambulance
terparkir, tak jauh dari tempat mereka.
“Kami
menemukan anak perempuan. Dia terjebak di tengah kobaran api. Kondisinya
kritis. Dia...” Belum selesai polisi itu bicara, Rain langsung berlari ke arah
dua ambulance yang hendak berjalan itu. Di sanalah dia menemukan Ferry
yang meringkup di sisi mobil.
Ferry
terhenyak, matanya menatap kaku pria dengan sepasang mata merah berkaca-kaca.
“Rain...”
ucap Ferry berat. Matanya sulit berkedip karena takut.
Ferry yakin
Rain sudah tahu apa yang tidak bisa ia katakan. Bibirnya mulai gemetar kemudian
air matanya menetes cepat.
Seorang
polisi kemudian datang menepuk bahunya.
“Ayo ikut kami!”
Ferry
cepat-cepat menghapus air matanya. “Pak, tolong ijinkan saya ikut mobil ambulance
ini. Dia adik perempuan saya. Dan, pemuda ini juga. Tolong, Pak!”
Pria itu
bersyukur permohonannya terkabul. Satu polisi masuk ke mobil ambulance
yang membawa Mia beserta Ferry dan Rain.
Sepanjang
perjalanan, mereka membisu. Ferry terus menutup rapat matanya karena tak tahan
melihat Rain yang terus menatap luka bakar di tubuh Mia yang hampir enam puluh
persen.
“Apa
hubungan Anda dengan pasien?” tanya sang perawat.
“Dia
adikku,” jawab Rain pelan.
“Kalau
begitu Anda harus segera menghubungi orang tua Anda. Keadaan pasien sangat
kritis.”
“Aku
Ayahnya. Aku Ibunya,” jawab Rain yang kemudian membuat orang-orang di
sekitarnya terpekur.
-O0O-
SOFIA Alvayet baru saja
mendapat kabar tentang keadaan Alicia dari Hana. Wanita paruh baya ini terduduk
diam sambil memeluk gagang telepon di dadanya. Sejurus kemudian, Maurer sekeluarga
datang. Mendapati sang Ibu duduk di dekat tangga utama, Maurer langsung melentangkan
tangannya ringan sambil melangkah masuk.
“Ibu, aku
pulang. Ibu pasti sehat-sehat saja, kan?” ucap Maurer diikuti Rose dan Olivier.
“Ibu, ada apa?” tanya Maurer lagi setelah melihat kecemasan di raut wajah sang
Ibu.
“Alicia...
Anakmu di rumah sakit sekarang.”
“Di Rumah
Sakit? Ibu bilang Alicia sedang shooting bukan?” Rose menyahut panik.
“Ibu
tidak tahu pasti. Yang penting sekarang kalian harus ke rumah sakit dan-”
Tiba-tiba Nyonya Sofia berhenti bicara. Matanya terbelalak, terkejut melihat
Olivier.
Ekspresi
pahit sang Nenek, membuat Olivier tak nyaman. Pemuda itu jadi sulit bicara
karena sang Nenek terus memelototinya.
“Kenapa
kau membawanya pulang?” bentak Nyonya Sofia pada sang putra.
“Ibu,
sudah saatnya mereka bertemu,” jawab Maurer tenang. “Sudah saatnya Ibu
melupakan mitos itu. Alicia dan Olivier tidak mungkin dipisahkan selamanya,
kan?”
Sekarang
giliran Maurer yang mendapat tatapan membunuh dari Nyonya Sofia. Mereka yang
seharusnya diliputi rasa rindu, jadi berubah tegang karena kemunculan Olivier.
Pemuda
tampan ini tak tahu apa-apa. Dan dia tidak berniat mengetahui apapun, kecuali
satu hal. Ia ingin tahu keadaan saudara kembarnya, Alicia.
-O0O-
Mia meninggal sebelum mendapat
pertolongan dari tim medis. Mia bahkan tak sempat sadar. Rain dan Ferry
sekarang berdiri seperti patung di sudut lorong dekat jendela.
Membeku.
…
Di saat
yang sama, Olivier dan orang tuanya menyusuri lorong Rumah Sakit, melihat
dengan teliti papan keterangan di setiap kamar. Tak lama, mereka menemukan
kamar rawat Alicia. Maurer dan Rossa langsung masuk, sedangkan Olivier menunggu
di luar.
Sesaat
kemudian, kedua orang tuanya keluar dari kamar dengan wajah tenang. Mereka
kompak tersenyum.
“Masuklah!”ucap
Maurer lembut.
“Ya,
Ayah,” jawab Olivier dengan senyum lebar.
Menghembuskan
nafas panjang, Olivier membuka pintu perlahan. Di dalam sana sudah ada Hana
yang duduk di samping ranjang pasien. Wanita itu masih belum menyadari
kedatangannya.
“Ehem.”
Olivier berdeham untuk menyadarkan Hana.
Hana pun
terkejut dan spontan berdiri. “Anda?”
“Aku...Olivier,
saudara kembar Alicia.”
Hana tak
mampu menyembunyikan rasa terkejutnya. Mulutnya menganga lebar, kemudian
tersenyum. Dengan gugup ia menjabat tangan Olivier yang sudah terulur sejak
tadi di depannya.
“Dua jam
yang lalu kami membicarakanmu di mobil, kau tahu?! Dan, tiba-tiba saja kami
mengalami kejadian mengerikan.” Hana lalu diam beberapa saat. “Tapi kondisi
saudara kembarmu mulai membaik. Kata Dokter dia hanya tertidur,” lanjutnya.
Olivier
mengangguk kaku. Namun ia berusaha santai saat berjalan mendekati Alicia. Ia
menekan kuat-kuat rasa gugup dan takut yang muncul bersamaan.
...
“Akhirnya,”
gumam Olivier menatap kagum wajah saudara kembarnya.
Mereka memang
tak mirip. Kulit Alicia putih bersinar. Alisnya berwarna cokelat. Kedua matanya
besar dengan bulu mata yang cukup tebal.
Gurat
senyum menghiasi wajah Olivier saat telunjuknya menyilakan helaian rambut
Alicia yang panjang. Hana yang melihatnya jadi terpesona. Pemuda di depannya
ini memang sangat tampan dan manis. Apalagi saat tersenyum, kedua lesung
pipinya muncul secara sempurna. Alicia beruntung sekali, pikir Hana.
Namun,
kebahagiaan Olivier tak bertahan lama. Kesedihan tiba-tiba menggerogoti relung
hatinya lagi. Olivier semakin mengernyit saat merasakan kepedihan, rasa putus
asa, dan kehampaan. Ini jelas bukan perasaannya. Lalu, ini perasaan siapa?
…
Di tempat lain.
Ferry
terus mengikuti Rain meyusuri lorong pucat rumah sakit. Keduanya seperti mayat
hidup, terutama Rain. Saat polisi menegur, Rain tetap berjalan acuh.Matanya
kosong. Seluruh panca indranya seakan lumpuh.
-O0O-
Puas mengamati Alicia, Olivier
duduk di sofa dekat jendela. Perangainya yang terlihat elegan dan maskulin
membuat Hana kikuk.
“Anda
percaya saudara kembar bisa melakukan telepati?” tanya Olivier tiba-tiba.
Hana
mengedikkan bahu. “Entahlah. Aku punya teman yang punya anak kembar fraternal.
Mereka berbeda, baik sifat, perilaku, maupun hobi. Yang satu pintar berhitung
dan sangat menyukai angka. Sedangkan yang satunya lagi sangat suka menggambar.
Mengenai telepati atau ikatan batin, tampaknya mereka tidak memiliki itu.
Mereka seperti saudara kandung pada umumnya. Kadang akur, kadang sering
bertengkar.”
Olivier
mengangguk lembut. Sikapnya begitu formal dan menghormati Manajer Alicia yang
usianya sepuluh tahun lebih tua darinya.
“Tapi
sepertinya kami spesial.” Mata Olivier beralih pada Alicia. “Entah ini alasan yang
logis atau tidak.”
Olivier
lalu bergerak, memosisikan duduknya senyaman mungkin. “Waktu kecil aku sering
sakit-sakitan saat bersama Alicia. Tapi saat kami tinggal berjauhan, aku sudah
tidak sakit lagi. Nenek dan Ibuku sangat percaya dengan hal-hal yang tidak
masuk akal. Karena itu, kami dipisahkan sejak bayi.”
Hana
menyimak cerita Olivier tanpa ekspresi. Wanita itu seperti terbius oleh
ketampanan Olivier, lebih-lebih mengenai hal yang diceritakan pemuda itu. Hal
yang menurutnya sedikit unik.
“Di
bandara aku merasa aneh. Tubuhku seperti berada di tengah-tengah api. Aku
kehausan. Aku minum banyak air, tapi tenggorokanku tetap kering. Jantungku juga
berdetak sangat cepat. Saat aku tahu Alicia di rumah sakit, sepertinya aku
mulai tahu sumber dari rasa sakitku. Tapi aku tidak pernah percaya tentang
telepati atau ikatan batin. Sesuatu yang tidak berlogika, aku malas
menanggapinya. Tapi perasaan ini yang pertama kali menyiksaku. Rasanya
seperti...keajaiban.”
“Apapun
bisa terjadi kalau Tuhan berkehendak,” Hana menanggapi dengan sederhana. “Tidak
semua saudara kembar itu ‘spesial’, misalnya punya ikatan batin. Bisa jadi
ikatan batin itu hilang karena saudara kembar tersebut hidup terpisah. Tapi
mungkin juga bisa menjadi sangat kuat, karena rasa rindu akibat perpisahan itu.
Sekarang apa yang kau rasakan?”
Olivier
diam sejenak. Matanya berkedip pelan sambil menaruh tangannya di dada. “Hampa.
Sedih. Seperti tidak tahu harus melakukan apa sekarang.” Tak lama, wajahnya
yang serius memudar. Alis hitamnya yang tebal terangkat tinggi-tinggi. “Yah,
aku rasa seperti itu,” jawabnya dengan tersenyum.
“Kalau
dia bisa memasuki perasaanmu, berarti kau juga bisa memasuki perasaannya. Kalau
dia sedih, kau bisa menghiburnya dengan cara membahagiakan dirimu sendiri. Try
it!” ucap antusias Hana.
Olivier
menghargai pendapat Hana. Wajahnya tak lagi bingung seperti waktu pertama kali
masuk ke ruangan dan menatap Alicia.
“Baiklah.
Akan kucoba. Lagipula, aku tidak mau tersiksa dengan perasaan orang lain. Aku
sudah cukup tersiksa dengan diriku sendiri,” ucap Olivier santai.
Ia
beranjak dari sofa, berjalan mendekati Alicia. Olivier membungkuk, mendorong
wajahnya sedekat mungkin. Bibirnya hanya berjarak beberapa inchi saja dari sisi
wanita kembarannya.
“Hey,
sebenarnya masalah pelik apa yang menimpamu, Alicia?” bisik Olivier pelan.
Matanya membulat, menelusuri setiap lekuk wajah Alicia yang sempurna.
-O0O-
Rain dan Ferry sangat mujur.
Mereka dibebaskan polisi berkat kesaksian Boas yang sama sekali tidak
menyangsikan dua remaja itu. Polisi juga tak punya bukti. Karena itu Rain dan
Ferry dibebaskan.
Seminggu
berlalu. Hari-hari Rain tanpa Mia seperti nuansa gurun pasir yang amat panas dan
tandus. Tak ada lagi Mia, oasenya.
Ferry
berusaha menghibur, tapi tidak pernah berhasil. Karena itu pula dia tidak lagi
bisa berkencan dengan wanita-wanitanya demi menjaga Rain yang selalu menyepi di
tepi pantai. Ferry terus waspada, takut kalau sahabat kecilnya itu mengakhiri
hidupnya−dengan menenggelamkan diri ke dalam laut, tapi ternyata tidak.
Tiap
malam Rain menatap bintang, jika ada. Tidak melakukan apapun selain diam dan
merenung. Entah apa yang ada di pikirannya. Bertahun-tahun bersama Rain, Ferry
masih tak mengenal siapa sebenarnya Rain Arthuro.
-O0O-
Olivier mengunjungi Alicia
hanya sekali, saat saudaranya itu belum siuman. Kemudian ia tidak lagi datang.
Ia merasa geli saat sang Nenek berulang kali memperingatkannya untuk tidak
mendekati Alicia. Tahun demi tahun berlaly, tapi pemikiran primitif sang Nenek
tidak pernah berubah. Olivier merasa bersyukur pada dirinya sendiri, karena dia
bukanlah pria yang menganggap serius semua masalah. Ia menganggap neneknya
sangat lucu.
Malam ini
Olivier akan berangkat ke Bandara. Ia akan ke Indonesia dan berencana menetap
selamanya di sana karena kuliahnya di London sudah berakhir. Meskipun sudah
tinggal lama di luar negeri, Olivier ingin menetap di tanah kelahirannya.
Sebelum
pergi, Olivier berdiam diri di kamarnya yang bergaya modern minimalis. Bola
matanya berputar mengelilingi setiap sudut, seolah hendak merekam dan menyimpan
dengan baik apa yang ada di sekitarnya. Ia lalu berbaring sejenak di ranjang.
Kepalanya terasa amat berat. Sudah tiga hari ia demam, tapi Olivier
membiarkannya. Ia tak mau tersentuh obat. Sedapat mungkin ia ingin memulihkan
dirinya sendiri. Tapi ternyata tidak mudah.
Olivier
mematikan lampu kamar. Ia memutuskan tidur sejenak sebelum berangkat ke Bandara.
…
Di malam
yang sama, Alicia keluar dari Rumah Sakit. Gadis ini sengaja menginap di sana
untuk mengisolasi diri dari awak media. Sebagai artis papan atas, kejadian
buruk yang menimpanya sudah pasti akan menjadi sorotan publik. Dan waktu
seminggu, terasa cukup untuknya menenangkan diri. Saatnya pulang.
Kedatangan
Alicia disambut hangat oleh sang Nenek. Semuanya masih terlihat sama. Bedanya,
ada Maurer dan Rose di rumah itu. Meski sedikit asing, tapi Alicia berusaha
mengakrabkan diri. Mereka makan malam bersama, tanpa Olivier.
Suasana
kaku tidak sengaja tercipta. Alicia menyadarinya. Terutama dari gerak-gerik
sang Nenek yang sepertinya terus menengok ke arah kamar Olivier. Kamar yang
bertahun-tahun kosong dan selalu menjadi tempat Alicia merenung. Tak jarang
Alicia pun tidur di sana.
“Nenek,
Ayah, Ibu, aku pamit dulu. Kepalaku pusing.” Alicia meletakkan sendok serta
garpunya di atas piring yang sudah bersih. Setelah itu,ia melenggang pergi
menuju kamar Olivier.
Nyonya
Sofia dan Rose langsung panik. Mereka segera bertanya pada salah satu pelayan.
“Dimana Olivier sekarang?”
Pelayan
itu menjawab ragu. “Sepertinya Tuan muda sudah pergi, Nyonya.”
Jawaban
tersebut membuat Nyonya Sofia dan Rose kompak menghela nafas panjang. Maurer
yang melihatnya, hanya bisa menggeleng sambil tersenyum.
Sejurus
dengan itu, Alicia mulai membuka pintu kamar Olivier. Kamar itu sudah ada sejak
ia masih kecil. Dalam jangka waktu beberapa tahun, kamar itu direnovasi.
Desainnya disesuaikan dengan umur si pemilik kamar. Sekarang umur Olivier sudah
berkepala dua. Kamarnya pun didesain maskulin dan elegan. Warna putih dipilih
sebagai warna pokok. Kemudian warna hitam dan perak menjadi aksentuasi.
Sudah
terlalu akrab dengan kamar itu, Alicia begitu lancar melangkah meski dalam
keadaan gelap. Perlahan ia naik ke ranjang, lalu berbaring senyaman mungkin. Ia
bernafas dalam-dalam, kemudian tersenyum. Ia lega saat dirinya bisa menghirup
kembali aroma kamar Olivier.
Alicia memejamkan
matanya dengan tenang. Sampai saat itu, ia belum menyadari bahwa Olivier tengah
berbaring, ikut terlelap di sampingnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar