Jumat, 10 Juli 2015

Bab 4




Bab 4

-Death it so terribly final, while life is full of possibilities-
Tryon Lannister


SECERCAH cahaya mulai menerobos tajam ke sela-sela puing. Sosok seorang wanita kemudian tampak keluar dari cahaya itu.
“Alicia!” pekik Hana dari balik reruntuhan.
Tak lama, puing-puing reruntuhan itu berhasil dipindahkan oleh tim penyelamat. Hana segera berlari ke tempat Alicia. Sempat tercengang melihat sang gadis berada di pelukan seorang pria tak dikenal, Hana menghela nafas panjang untuk menenangkan dirinya sendiri.
“Maaf, mungkin penyakit traumanya kambuh. Itu sebabnya, Alicia memeluk Anda.” Hana mencoba memberi penjelasan ketika tubuh Alicia sulit dipindahkan.
Rain tak bicara sedikit pun. Ada hal yang menganggunya ketika melihat Alicia yang masih pingsan. Perasaan yang sangat rumit penuh misteri muncul tiba-tiba, membuat Rain mengernyit tak mengerti.
            “Eh, bisakah kau membantuku membawanya masuk ke ambulance?”
            “Ya. Tapi sedikit merepotkan,” ucap Rain tak yakin melihat darah di lengannya.
            “Kau terluka?!” pekik Hana makin khawatir.
Alicia mulai meracau, setengah tersadar. Ia merintih di balik bahu Rain. Wajahnya tenggelam di perpotongan leher sang pria yang mulai mengernyit kesakitan.
“Alicia, kumohon jangan seperti ini,” bisik kuat Hana yang sesekali menatap Rain canggung.
Pria itu masih tercenung dan pasrah ketika salah satu tim mulai memasangkan masker oksigen padanya. Semua yang terjadi seperti kilatan-kilatan mimpi.
“Alicia, ini aku Hana. Kau sudah selamat, sayang! Ayo, kita harus naik ke ambulance sekarang. Pria ini tidak bisa menggendongmu karena lengannya terluka. Jadi sadarlah!”
Merasa kondisinya sedikit membaik, Rain membuka masker oksigennya, lalu dengan hati-hati memindahkan kepala Alicia dari pundaknya ke pundak Hana. Tanpa mengucapkan apapun, Rain berusaha bangkit berdiri. Namun belum sampai melangkah, tiba-tiba saja Alicia menarik ujung jaketnya.
Gadis yang memakai masker oksigen itu menatapnya sayu. Dadanya naik turun dengan cepat.
“Anda mau kemana? Ikutlah kami ke Rumah Sakit.”
Lagi-lagi membisu, mata sayu Rain yang kosong semakin membuat Hana penasaran.
Suara sirine ambulance makin berdenging keras. Tim medis datang membawa kereta dorong. Mereka langsung mengangkut Alicia. Rain pun ikut membantu beberapa perawat karena tangannya masih digenggam erat oleh sang gadis.
“Kau ingin hidup, kan? Sekarang kau sudah selamat. Tidak ada hal yang perlu kau takutkan lagi,” bisik Rain.
Rona merah samar-samar muncul di wajah Alicia. Matanya berpalung dalam pada kilat mata cokelat tanah  Rain yang perlahan-lahan melepas genggamannya.
“Terima kasih,” ucap Hana sedikit membungkuk di depan Rain kemudian masuk ke mobil ambulance bersama Alicia.
Tercenung sesaat setelah melepas gadis tak dikenalnya itu, pikiran Rain teralih dengan cepat ke arah Mia dan Ferry. Jantungnya kembali berdegup kuat. Kedua matanya terbuka lebar. Rasa takut dan cemas menguasai, membuat luka di tangannya mati rasa.
Dengan seronoh, Rain menerobos orang-orang yang menghalangi jalannya. Lalu melewati teman-temannya yang selamat dari kebakaran−digiring para polisi.
Langkahnya terhenti di depan seorang polisi yang sengaja menghalangi jalan. Polisi itu tampak tenang. Bahu kanan Rain ditepuk. “Ikut kami!” tegurnya.
Rain membatu. Ia menatap polisi itu tanpa ekspresi, kemudian menunduk.
“Anak perempuan,” gumamnya dingin. Dagunya terangkat, menatap tajam polisi itu. “Umurnya enam belas tahun. Tubuhnya kurus. Setinggi ini.” Rain mengarahkan tangan di bawah telinganya. “Dia adik perempuanku. Apa Tuan menemukannya?”
Teringat sesuatu, pandangan Polisi itu beredar ke area tempat dua mobil ambulance terparkir, tak jauh dari tempat mereka.
“Kami menemukan anak perempuan. Dia terjebak di tengah kobaran api. Kondisinya kritis. Dia...” Belum selesai polisi itu bicara, Rain langsung berlari ke arah dua ambulance yang hendak berjalan itu. Di sanalah dia menemukan Ferry yang meringkup di sisi mobil.
Ferry terhenyak, matanya menatap kaku pria dengan sepasang mata merah berkaca-kaca.
“Rain...” ucap Ferry berat. Matanya sulit berkedip karena takut.
Ferry yakin Rain sudah tahu apa yang tidak bisa ia katakan. Bibirnya mulai gemetar kemudian air matanya menetes cepat.
Seorang polisi kemudian  datang menepuk bahunya. “Ayo ikut kami!”
Ferry cepat-cepat menghapus air matanya. “Pak, tolong ijinkan saya ikut mobil ambulance ini. Dia adik perempuan saya. Dan, pemuda ini juga. Tolong, Pak!”
Pria itu bersyukur permohonannya terkabul. Satu polisi masuk ke mobil ambulance yang membawa Mia beserta Ferry dan Rain.
Sepanjang perjalanan, mereka membisu. Ferry terus menutup rapat matanya karena tak tahan melihat Rain yang terus menatap luka bakar di tubuh Mia yang hampir enam puluh persen.
“Apa hubungan Anda dengan pasien?” tanya sang perawat.
“Dia adikku,” jawab Rain pelan.
“Kalau begitu Anda harus segera menghubungi orang tua Anda. Keadaan pasien sangat kritis.”
“Aku Ayahnya. Aku Ibunya,” jawab Rain yang kemudian membuat orang-orang di sekitarnya terpekur.
-O0O-

SOFIA Alvayet baru saja mendapat kabar tentang keadaan Alicia dari Hana. Wanita paruh baya ini terduduk diam sambil memeluk gagang telepon di dadanya. Sejurus kemudian, Maurer sekeluarga datang. Mendapati sang Ibu duduk di dekat tangga utama, Maurer langsung melentangkan tangannya ringan sambil melangkah masuk.
“Ibu, aku pulang. Ibu pasti sehat-sehat saja, kan?” ucap Maurer diikuti Rose dan Olivier. “Ibu, ada apa?” tanya Maurer lagi setelah melihat kecemasan di raut wajah sang Ibu.
“Alicia... Anakmu di rumah sakit sekarang.”
“Di Rumah Sakit? Ibu bilang Alicia sedang shooting bukan?” Rose menyahut panik.
“Ibu tidak tahu pasti. Yang penting sekarang kalian harus ke rumah sakit dan-” Tiba-tiba Nyonya Sofia berhenti bicara. Matanya terbelalak, terkejut melihat Olivier.
Ekspresi pahit sang Nenek, membuat Olivier tak nyaman. Pemuda itu jadi sulit bicara karena sang Nenek terus memelototinya.
“Kenapa kau membawanya pulang?” bentak Nyonya Sofia pada sang putra.
“Ibu, sudah saatnya mereka bertemu,” jawab Maurer tenang. “Sudah saatnya Ibu melupakan mitos itu. Alicia dan Olivier tidak mungkin dipisahkan selamanya, kan?”
Sekarang giliran Maurer yang mendapat tatapan membunuh dari Nyonya Sofia. Mereka yang seharusnya diliputi rasa rindu, jadi berubah tegang karena kemunculan Olivier.
Pemuda tampan ini tak tahu apa-apa. Dan dia tidak berniat mengetahui apapun, kecuali satu hal. Ia ingin tahu keadaan saudara kembarnya, Alicia.
-O0O-

Mia meninggal sebelum mendapat pertolongan dari tim medis. Mia bahkan tak sempat sadar. Rain dan Ferry sekarang berdiri seperti patung di sudut lorong dekat jendela.
Membeku.
Di saat yang sama, Olivier dan orang tuanya menyusuri lorong Rumah Sakit, melihat dengan teliti papan keterangan di setiap kamar. Tak lama, mereka menemukan kamar rawat Alicia. Maurer dan Rossa langsung masuk, sedangkan Olivier menunggu di luar.
Sesaat kemudian, kedua orang tuanya keluar dari kamar dengan wajah tenang. Mereka kompak tersenyum.
“Masuklah!”ucap Maurer lembut.
“Ya, Ayah,” jawab Olivier dengan senyum lebar.
Menghembuskan nafas panjang, Olivier membuka pintu perlahan. Di dalam sana sudah ada Hana yang duduk di samping ranjang pasien. Wanita itu masih belum menyadari kedatangannya.
“Ehem.” Olivier berdeham untuk menyadarkan Hana.
Hana pun terkejut dan spontan berdiri. “Anda?”
“Aku...Olivier, saudara kembar Alicia.”
Hana tak mampu menyembunyikan rasa terkejutnya. Mulutnya menganga lebar, kemudian tersenyum. Dengan gugup ia menjabat tangan Olivier yang sudah terulur sejak tadi di depannya.
“Dua jam yang lalu kami membicarakanmu di mobil, kau tahu?! Dan, tiba-tiba saja kami mengalami kejadian mengerikan.” Hana lalu diam beberapa saat. “Tapi kondisi saudara kembarmu mulai membaik. Kata Dokter dia hanya tertidur,” lanjutnya.
Olivier mengangguk kaku. Namun ia berusaha santai saat berjalan mendekati Alicia. Ia menekan kuat-kuat rasa gugup dan takut yang muncul bersamaan.
...
“Akhirnya,” gumam Olivier menatap kagum wajah saudara kembarnya.
Mereka memang tak mirip. Kulit Alicia putih bersinar. Alisnya berwarna cokelat. Kedua matanya besar dengan bulu mata yang cukup tebal.
Gurat senyum menghiasi wajah Olivier saat telunjuknya menyilakan helaian rambut Alicia yang panjang. Hana yang melihatnya jadi terpesona. Pemuda di depannya ini memang sangat tampan dan manis. Apalagi saat tersenyum, kedua lesung pipinya muncul secara sempurna. Alicia beruntung sekali, pikir Hana.
Namun, kebahagiaan Olivier tak bertahan lama. Kesedihan tiba-tiba menggerogoti relung hatinya lagi. Olivier semakin mengernyit saat merasakan kepedihan, rasa putus asa, dan kehampaan. Ini jelas bukan perasaannya. Lalu, ini perasaan siapa?
            Di tempat lain.
Ferry terus mengikuti Rain meyusuri lorong pucat rumah sakit. Keduanya seperti mayat hidup, terutama Rain. Saat polisi menegur, Rain tetap berjalan acuh.Matanya kosong. Seluruh panca indranya seakan lumpuh.
-O0O-

Puas mengamati Alicia, Olivier duduk di sofa dekat jendela. Perangainya yang terlihat elegan dan maskulin membuat Hana kikuk.
“Anda percaya saudara kembar bisa melakukan telepati?” tanya Olivier tiba-tiba.
Hana mengedikkan bahu. “Entahlah. Aku punya teman yang punya anak kembar fraternal. Mereka berbeda, baik sifat, perilaku, maupun hobi. Yang satu pintar berhitung dan sangat menyukai angka. Sedangkan yang satunya lagi sangat suka menggambar. Mengenai telepati atau ikatan batin, tampaknya mereka tidak memiliki itu. Mereka seperti saudara kandung pada umumnya. Kadang akur, kadang sering bertengkar.”
Olivier mengangguk lembut. Sikapnya begitu formal dan menghormati Manajer Alicia yang usianya sepuluh tahun lebih tua darinya.
“Tapi sepertinya kami spesial.” Mata Olivier beralih pada Alicia. “Entah ini alasan yang logis atau tidak.”
Olivier lalu bergerak, memosisikan duduknya senyaman mungkin. “Waktu kecil aku sering sakit-sakitan saat bersama Alicia. Tapi saat kami tinggal berjauhan, aku sudah tidak sakit lagi. Nenek dan Ibuku sangat percaya dengan hal-hal yang tidak masuk akal. Karena itu, kami dipisahkan sejak bayi.”
Hana menyimak cerita Olivier tanpa ekspresi. Wanita itu seperti terbius oleh ketampanan Olivier, lebih-lebih mengenai hal yang diceritakan pemuda itu. Hal yang menurutnya sedikit unik.
“Di bandara aku merasa aneh. Tubuhku seperti berada di tengah-tengah api. Aku kehausan. Aku minum banyak air, tapi tenggorokanku tetap kering. Jantungku juga berdetak sangat cepat. Saat aku tahu Alicia di rumah sakit, sepertinya aku mulai tahu sumber dari rasa sakitku. Tapi aku tidak pernah percaya tentang telepati atau ikatan batin. Sesuatu yang tidak berlogika, aku malas menanggapinya. Tapi perasaan ini yang pertama kali menyiksaku. Rasanya seperti...keajaiban.”
“Apapun bisa terjadi kalau Tuhan berkehendak,” Hana menanggapi dengan sederhana. “Tidak semua saudara kembar itu ‘spesial’, misalnya punya ikatan batin. Bisa jadi ikatan batin itu hilang karena saudara kembar tersebut hidup terpisah. Tapi mungkin juga bisa menjadi sangat kuat, karena rasa rindu akibat perpisahan itu. Sekarang apa yang kau rasakan?”
Olivier diam sejenak. Matanya berkedip pelan sambil menaruh tangannya di dada. “Hampa. Sedih. Seperti tidak tahu harus melakukan apa sekarang.” Tak lama, wajahnya yang serius memudar. Alis hitamnya yang tebal terangkat tinggi-tinggi. “Yah, aku rasa seperti itu,” jawabnya dengan tersenyum.
“Kalau dia bisa memasuki perasaanmu, berarti kau juga bisa memasuki perasaannya. Kalau dia sedih, kau bisa menghiburnya dengan cara membahagiakan dirimu sendiri. Try it!” ucap antusias Hana.
Olivier menghargai pendapat Hana. Wajahnya tak lagi bingung seperti waktu pertama kali masuk ke ruangan dan menatap Alicia.
“Baiklah. Akan kucoba. Lagipula, aku tidak mau tersiksa dengan perasaan orang lain. Aku sudah cukup tersiksa dengan diriku sendiri,” ucap Olivier santai.
Ia beranjak dari sofa, berjalan mendekati Alicia. Olivier membungkuk, mendorong wajahnya sedekat mungkin. Bibirnya hanya berjarak beberapa inchi saja dari sisi wanita kembarannya.
“Hey, sebenarnya masalah pelik apa yang menimpamu, Alicia?” bisik Olivier pelan. Matanya membulat, menelusuri setiap lekuk wajah Alicia yang sempurna.
-O0O-

Rain dan Ferry sangat mujur. Mereka dibebaskan polisi berkat kesaksian Boas yang sama sekali tidak menyangsikan dua remaja itu. Polisi juga tak punya bukti. Karena itu Rain dan Ferry dibebaskan.
Seminggu  berlalu. Hari-hari Rain tanpa Mia seperti nuansa gurun pasir yang amat panas dan tandus. Tak ada lagi Mia, oasenya.
Ferry berusaha menghibur, tapi tidak pernah berhasil. Karena itu pula dia tidak lagi bisa berkencan dengan wanita-wanitanya demi menjaga Rain yang selalu menyepi di tepi pantai. Ferry terus waspada, takut kalau sahabat kecilnya itu mengakhiri hidupnya−dengan menenggelamkan diri ke dalam laut, tapi ternyata tidak.
Tiap malam Rain menatap bintang, jika ada. Tidak melakukan apapun selain diam dan merenung. Entah apa yang ada di pikirannya. Bertahun-tahun bersama Rain, Ferry masih tak mengenal siapa sebenarnya Rain Arthuro.
-O0O-

Olivier mengunjungi Alicia hanya sekali, saat saudaranya itu belum siuman. Kemudian ia tidak lagi datang. Ia merasa geli saat sang Nenek berulang kali memperingatkannya untuk tidak mendekati Alicia. Tahun demi tahun berlaly, tapi pemikiran primitif sang Nenek tidak pernah berubah. Olivier merasa bersyukur pada dirinya sendiri, karena dia bukanlah pria yang menganggap serius semua masalah. Ia menganggap neneknya sangat lucu.
Malam ini Olivier akan berangkat ke Bandara. Ia akan ke Indonesia dan berencana menetap selamanya di sana karena kuliahnya di London sudah berakhir. Meskipun sudah tinggal lama di luar negeri, Olivier ingin menetap di tanah kelahirannya.
Sebelum pergi, Olivier berdiam diri di kamarnya yang bergaya modern minimalis. Bola matanya berputar mengelilingi setiap sudut, seolah hendak merekam dan menyimpan dengan baik apa yang ada di sekitarnya. Ia lalu berbaring sejenak di ranjang. Kepalanya terasa amat berat. Sudah tiga hari ia demam, tapi Olivier membiarkannya. Ia tak mau tersentuh obat. Sedapat mungkin ia ingin memulihkan dirinya sendiri. Tapi ternyata tidak mudah.
Olivier mematikan lampu kamar. Ia memutuskan tidur sejenak sebelum berangkat ke Bandara.
Di malam yang sama, Alicia keluar dari Rumah Sakit. Gadis ini sengaja menginap di sana untuk mengisolasi diri dari awak media. Sebagai artis papan atas, kejadian buruk yang menimpanya sudah pasti akan menjadi sorotan publik. Dan waktu seminggu, terasa cukup untuknya menenangkan diri. Saatnya pulang.
Kedatangan Alicia disambut hangat oleh sang Nenek. Semuanya masih terlihat sama. Bedanya, ada Maurer dan Rose di rumah itu. Meski sedikit asing, tapi Alicia berusaha mengakrabkan diri. Mereka makan malam bersama, tanpa Olivier.
Suasana kaku tidak sengaja tercipta. Alicia menyadarinya. Terutama dari gerak-gerik sang Nenek yang sepertinya terus menengok ke arah kamar Olivier. Kamar yang bertahun-tahun kosong dan selalu menjadi tempat Alicia merenung. Tak jarang Alicia pun tidur di sana.
“Nenek, Ayah, Ibu, aku pamit dulu. Kepalaku pusing.” Alicia meletakkan sendok serta garpunya di atas piring yang sudah bersih. Setelah itu,ia melenggang pergi menuju kamar Olivier.
Nyonya Sofia dan Rose langsung panik. Mereka segera bertanya pada salah satu pelayan. “Dimana Olivier sekarang?”
Pelayan itu menjawab ragu. “Sepertinya Tuan muda sudah pergi, Nyonya.”
Jawaban tersebut membuat Nyonya Sofia dan Rose kompak menghela nafas panjang. Maurer yang melihatnya, hanya bisa menggeleng sambil tersenyum.
Sejurus dengan itu, Alicia mulai membuka pintu kamar Olivier. Kamar itu sudah ada sejak ia masih kecil. Dalam jangka waktu beberapa tahun, kamar itu direnovasi. Desainnya disesuaikan dengan umur si pemilik kamar. Sekarang umur Olivier sudah berkepala dua. Kamarnya pun didesain maskulin dan elegan. Warna putih dipilih sebagai warna pokok. Kemudian warna hitam dan perak menjadi  aksentuasi.
Sudah terlalu akrab dengan kamar itu, Alicia begitu lancar melangkah meski dalam keadaan gelap. Perlahan ia naik ke ranjang, lalu berbaring senyaman mungkin. Ia bernafas dalam-dalam, kemudian tersenyum. Ia lega saat dirinya bisa menghirup kembali aroma kamar Olivier.
Alicia memejamkan matanya dengan tenang. Sampai saat itu, ia belum menyadari bahwa Olivier tengah berbaring, ikut terlelap di sampingnya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar