Jumat, 10 Juli 2015

Bab 8



Bab 8
People you don't love, can't hurt you
-iyanla vanzant-

DUDUK tenang di atas ranjang sambil membaca berkas-berkas milik pelayan barunya, Olivier membiarkan Ruby berkeliling mencari tempat di setiap sudut kamarnya yang membuat gadis itu nyaman menunggu.
Pilihan Ruby jatuh pada kursi kayu di dekat jendela. Duduk dengan kaki pendek merapat, wajahnya sayu menatap laut. Sesekali Ruby beralih pandang ke arah Olivier yang masih serius membaca berkas riwayat hidupnya.
Damnbass! Ternyata Olivier yang asli lebih tampan daripada di dalam foto. Ditambah lagi, karisma pria itu yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Ruby masih ingat bagaimana tatapan Olivier membuatnya ingin lari dan melupakan balas dendamnya.
Tercatat sebagai mahasiswi Psikologi di salah satu Universitas ternama di Jakarta, secara alami Ruby dapat menerka sedikit karakter Olivier dari cara duduk pria itu sembari menunggu.
"Posisi duduk dengan kaki kiri bersilang di atas kaki kanan. Orang itu bisa jadi brilian dan memiliki pengetahuan luas dalam bidang apa saja. Selalu hati-hati dalam menghadapi masalah, egois, suka berdiskusi, dan tidak suka menunda pekerjaan. Dalam hal asmara, dia bukan tipe agresif. Kesetiaannya tidak perlu diragukan. Dan..."Monolog panjang Ruby berhenti ketika Olivier bersuara memecah keheningan.
"Selain bahasa Mandarin, bahasa Jerman, dan bahasa Inggris, apa lagi yang kau kuasai?"
"Bukankah sudah tertera dengan jelas di sana, Tuan muda?" jawab Ruby begitu tenang. Tak ada secuil pun senyum keramahan yang biasa ditunjukkan seorang pelamar agar ia diterima bekerja oleh si penguji.
Olivier terkekeh dan kembali membuka halaman demi halaman.
"Kalau kau mengerti bahasa kalbu, poinmu mungkin akan bertambah. Aku tak hanya butuh assistant yang membantuku memakaikan dasi. Tapi membantuku menyelesaikan hal yang tidak berkaitan dengan logika." Olivier menahan ucapan di ujung bibirnya sejenak, lalu melanjutkannya. "Kau mahasiswi Psikologi, bukan?"
Ruby menahan nafas saat mendengar pertanyaan itu. Apa maksud Olivier tentang"menyelesaikan hal yang tidak berkaitan dengan logika?"
"Kau, membutuhkan pekerjaan ini untuk biaya kuliah?"
Lama Ruby tak menjawab, sampai Olivier mengganti posisi duduknya. "Jawab aku...sayang!" Dan seketika itu Ruby terbelalak.
Pemuda ini sudah pasti sangat ahli menaklukkan para gadis, pikir Ruby. Kini otaknya dihujam banyak pertanyaan tentang Olivier. Selain pemuda songong yang pintar, playboy, otoriter, sifat 'berbahaya' apa lagi yang dimiliki Olivier?
"Ya," jawab Ruby berat.
"Panggil saja namaku." Olivier mengalihkan pandangannya dari kertas-kertas yang ia baca, menuju ke arah Ruby yang masih membisu.
"Olivier," ucap Ruby kaku.
"Great. Aku sudah melihat sekilas berkas-berkasmu. Dan anehnya, aku merasa berkas itu palsu." Olivier beranjak dari ranjangnya, lalu mendekati Ruby. Ia duduk di kusen jendela kayu, lalu memandang lurus ke arah laut.
"Anda tidak punya bukti, jadi jangan meracuni pikiran Anda sendiri untuk urusan pelayan rendahan seperti saya," jawab Ruby ketus.
"Ini bukan soal dokumenmu, tapi kau. Perempuan yang terus memandangku dengan penuh kebencian seperti itu, bukankah aku pantas untuk curiga?" Olivier menumpukkan setengah berat tubuhnya ke kusen jendela, lalu mencondongkan wajahnya ke arah Ruby. Membuat gadis itu semakin memelototinya. "Apa wajahku begitu membuatmu merasa terancam?" Olivier kembali bertanya.
Batu besar serasa memukul keras bagian belakang kepala Ruby. Matanya langsung mengerjap, sadar kalau sejak tadi dirinya memandang Olivier ketus.
"Sudahlah! Jangan memakai bahasa formal di depanku!" Olivier berjalan kembali ke ranjangnya. "Harusnya kau menunjukkan senyummu dan bersikap lembut padaku. Tapi kau malah menatapku seolah-olah aku musuhmu. Kau mengacuhkanku. Kau bahkan memberikan botol minumanku pada orang lain. Padahal aku tidak sekalipun memerintahkanmu melakukannya."
"Tapi dia butuh pertolongan," jawab Ruby cepat.
"Tapi kau Assistant-ku. Kau milikku. Kau hanya akan bergerak saat aku menyuruhmu bergerak."
Ruby mengerjap kuat menyadari arti kalimat Olivier barusan. "Jadi...kau...menganggapku...robot?"
"Mm?" Sesaat menyadari maksud ucapan gadis itu, Olivier terkekeh lagi. "Tentu saja aku menganggapmu robot. Kau pikir aku mengatakan itu seperti...seorang kekasih yang sedang mengutarakan cinta?"
"Jangan terlalu percaya diri. Aku hanya terkejut karena perkataan itu mungkin hanya bisa keluar dari mulut anak kecil yang iri. Bukankah kau seorang Dokter? Harusnya kau lebih tanggap daripada aku untuk menolong laki-laki itu."
Sindiran Ruby berhasil mengubah wajah Olivier menjadi tegang. Tak ada kalimat pembelaan Olivier untuk dirinya sendiri. Beberapa kali rahangnya tampak berdenyut menahan rasa kesal dan...dari situ Ruby merasa ada sesuatu yang sangat sulit dikatakan Olivier.
"Kemari! Akan kutunjukkan tugas pertamamu." Olivier menyudahi adu pandang mereka dan berjalan santai menuju ranjangnya lagi.
Ruby mulai mendekati Olivier dengan waspada begitu sang majikan menepuk tangannya di atas ranjang. Ia lalu berdiri di sisi Olivier sambil memandang bingung ke arah majikannya.
"Tidurlah. Aku akan memeriksamu." Olivier beranjak dari ranjang lalu berjalan ke arah lemari. Ia mengambil tas di dalam sana lalu menggeledah isinya.
Ruby menyadari maksud Olivier begitu ia seka butir-butir keringat di dahi. Matanya terasa panas dan seluruh tubuhnya seperti ditusuk-tusuk oleh jarum.
Menyadari bahwa dirinya sedang demam, Ruby membuang nafas pendek lewat mulut. Begitu terfokusnya ia pada rencana balas dendam, sampai tak menyadari kondisi tubuhnya sendiri. Sekarang Ruby tahu mengapa tangan Olivier sedingin es saat menggenggam tangannya.
"Tidak. Terima kasih." Ruby berbalik untuk melihat Olivier di belakangnya. "Izinkan aku istirahat di kamarku."
"Matamu merah," jawab Olivier datar. "Kalau kau memaksakan diri, kau akan pingsan sebelum keluar dari kamarku."
Gelenyar panas menyusup di setiap sel tubuh Ruby begitu mendengar ucapan Olivier. Tiba-tiba matanya berkunang-kunang. Debar jantung semakin keras.
Penuh antisipasi, Olivier berhasil menangkap tubuh Ruby yang hampir terkulai di lantai kayu. Dengan cepat ia bopong gadis itu dan membaringkannya di ranjang.
Samar-samar, Ruby melihat Olivier sedang menautkan alis. Ia merasakan sentuhan sejuk tangan pemuda itu yang kini menekan lembut denyut nadi di tangannya.
Tidak! Jangan tidur Ruby!Ruby terus berusaha membangkitkan kesadarannya. Ia tak boleh lengah selagi Olivier memeriksanya.
"Parfum apa yang kau pakai?" Olivier meletakkan punggung tangannya di leher Ruby.
"Apa?" Suara Ruby lemah.
"Parfum apa yang kau pakai? Sabun apa yang kau pakai?" Olivier menghela nafas panjang dan menghembuskannya lewat hidung. Nafas yang panas itu lalu meresap ke kulit tangan Ruby, membuat gadis itu merasakan sensasi aneh yang dapat meleburkan rasa bencinya, meski hanya sesaat.
"Apa kau pernah merindukan seseorang, tapi kau tidak tahu seperti apa orang itu?" Olivier mulai bergumam tak jelas. Suara itu terdengar parau, membuat Ruby menatap sayu pahatan wajah yang sangat indah di depannya ini.
Sebenarnya siapa yang sedang demam? Aku atau dia? gumam Ruby sampai kemudian sosok Olivier lenyap dalam pandangannya.
-0O0-
Kelima jemari Rain bergerak kaku−meremas tangan Alicia di perutnya.
Alicia yang hampir saja terlelap, akhirnya tersentak pelan. Dengan gugup ia melepaskan diri dari Rain, lalu cepat-cepat menata rambutnya yang berantakan. Kata pertama yang keluar dari bibirnya adalah, "Maaf".
Sadar telah berpelukan cukup lama, rntah apa yang membuat semua itu terasa alami. Alicia bahkan nyaris tertidur saking nyamannya. Punggung Rain ternyata begitu hangat.
Rain memutar tubuhnya pelan. Sorot matanya sayu menatap Alicia begitu dalam. Bibir yang tipis dan ranum membuat garis lurus yang rapat.
"Haha...haha..maaf!" Sambil tertawa gugup, Alicia mengernyit dalam. "Tadi itu, hanya...luapan emosi."
Berusaha berkilah sekaligus bersikap biasa saja, nyatanya Alicia tak mampu menutupi rasa gugup dan salah tingkahnya di depan Rain.
Senyum Alicia kemudian memudar."Kau, ingat aku?" tanyanya.
Rain masih menatap sendu gadis di depannya ini. Gadis yang membuat hari-harinya yang lalu terasa kelam.
"Ya."
Alicia menghela nafas panjang sedikit tercekat begitu mendengar jawaban Rain yang singkat. Keceriaan semu dengan cepat memudar seiring dengan bibirnya yang memutih
Lelah berdiri di tengah dua sejoli tanpa berkata apapun, Ferry akhirnya bersuara.
"Eh, soal kecelakaan di gudang itu, kau...jangan merasa bersalah."
Rupanya Ferry hendak menghibur Alicia, pikir Rain. Wajah konyol pemuda itu membuat Rain berpaling sejenak untuk tersenyum diam-diam.
"Kau, hanya perlu bersyukur saja, karena Tuhan telah mengirim Rain untuk menyelamatkanmu. Sedangkan Mia, memang sudah waktunya Tuhan memanggilnya."
Ucapan Ferry seperti cambuk yang seketika itu melayang sangat keras di punggung Rain. Itulah kebenarannya. Tapi entah mengapa, hati Rain tercabik-cabik mendengarnya. Rasa benci malah semakin menyelimuti begitu menatap Alicia. Rain bahkan ingin mendorong gadis itu ke tengah laut agar berhenti tersenyum saat Ferry masih berusaha menghiburnya.
Mengerikan sekali. Rain bergumam sendiri begitu sadar dengan pikiran kejam tersebut. Hanya dengan memejamkan mata, ia berusaha mengendalikan diri.
"Aku rasa, aku harus pergi sekarang." Ferry tersenyum gugup sambil sesekali melihat layar ponselnya. "Bos mengirim pesan agar aku menemuinya. Kebetulan, kami sedang bekerja di sini. Kami yang menyiapkan pesta ulang tahunmu nanti malam."
"Oh. Kalau begitu, pergilah sebelum bos memarahi kalian!" seru Alicia.
Tanpa menatap Alicia sedikit pun, Rain melenggang pergi. Namun langkahnya terhenti begitu sahabatnya itu memanggil.
"Kau temani Nona Alicia. Antar dia ke kamar. Biar aku yang menemui bos."
Permintaan Ferry mengandung niat tersembunyi dan Rain mengetahui itu dengan sangat baik. Ferry hendak memberinya waktu agar bisa bicara dengan Alicia. Rain membutuhkan Alicia untuk memulihkan rasa sakitnya karena kehilangan Mia. Dan sekarang saatnya, Rain harus menerima kenyataan.
Sepeninggalan Ferry, Rain dan Alicia duduk di tepi pantai sambil memandang ombak laut. Lama mereka tak bersuara, sampai kemudian Alicia membuka percakapan.
"Aku ingin, memberikan sesuatu untuk Mia."
Rain menoleh ke arah Alicia. Keningnya mengernyit dalam.
Merasa gugup, Alicia dengan cepat berpaling dari Rain. Kembali ia menghela nafas panjang untuk melenyapkan rasa takutnya walau hanya sedikit. Lalu dengan mantab ia tatap Rain kembali.
"Katakan, apa yang kau inginkan dariku," ucap Alicia tegas."Aku akan berusaha memenuhinya.Karena aku, tidak ingin berhutang nyawa, pada siapapun."
"Kalau begitu, apa yang bisa kau berikan padaku?" tanya balik Rain.
Kini giliran Alicia yang mengernyit. "Yah, apapun...apapun yang kau mau. Kau bisa menganggapku...asuransi jiwa misalnya?"
Rain tersenyum pahit. Matanya menyipit seolah sedang berpikir. Tak lama ia menjawab, "Bagaimana kalau―aku menginginkanmu?"
Permintaan Rain sukses membungkam bibir Alicia.
"Nanti malam, sebelum kau meniup lilin yang menancap di kue ulang tahunmu. Datanglah ke sini."
Alis cokelat Alicia terangkat tinggi-tinggi. "Un−tuk..untuk apa?"
"Aku akan mengambil ciumanku di sini."
Jantung Alicia kembali berdentam keras ketika mata cokelat Rain berkilat-kilat menatap bibirnya.
Rain tak banyak bicara. Ia beranjak dari peraduannya, meninggalkan Alicia yang masih menganga tak percaya.
-O0O-
Saat bulan menggantikan matahari, bintang-bintang menggantung di langit menunjukkan kecantikan malam.
Kemeriahan di luar cottage samar-samar menggelitik telinga Olivier. Suara ombak pun kian terdengar.
Olivier membuka matanya dengan berat. Pelan-pelan ia bangun dari hanging chair-nya yang menggantung di atap teras. Lalu dengan langkah gontai, Olivier masuk ke kamar tidurnya untuk menengok kondisi Ruby. Pelan-pelan ia duduk di tepi ranjang, lalu menatap lekat wajah Assistant barunya.
Ruby tampak seperti anak kucing yang kesepian. Entah apa yang membuat gadis berwajah teduh itu jadi begitu kaku selama mereka berinteraksi. Olivier sangat tak sabar ingin mengetahuinya.
Ruby memiliki kecantikan khas pribumi. Sederhana dan tak bosan dipandang. Olivier sadar, bahwa ia sedang tersenyum sendiri saat mengamati gadis yang membuatnya bertanya, siapa Ruby? Kenapa dia menatapku penuh kebencian? Apa aku pernah menyakitinya?
Tak berniat membangunkan sang gadis, Olivier sangat berhati-hati saat beranjak dari tepi ranjang lalu keluar dari kamarnya.
...
Pesta si kembar digelar sangar meriah. Panggung musik, pesta barbercue, serta area menyantap makanan memiliki zona masing-masing. Meskipun tidak dibuat menyatu, namun suasana yang dihadirkan masing-masing zona, seakan melebur bersama hawa dingin di malam bulan purnama yang indah.
Sebelum menghadiri pestanya, Alicia pergi menemui Rain. Langkahnya gontai karena diliputi rasa ragu. Ketakutan dan rasa tak percaya terus menyelimuti. Meski begitu, Alicia terus berjalan sampai tak sadar, ia sudah sampai di tempat tujuan.
"Al...."
Sapaan Rain menyentak Alicia. Pemuda itu tidak memanggilnya Alicia. Hanya keluarga dan orang terdekat saja yang memanggilnya Alicia. Kenapa Rain bisa tahu?
Teman masa kecil? Alicia menekan dalam-dalam pertanyaan itu di hatinya. Mustahil dia dan Rain...
"Kemarilah. Kau ingin semua ini cepat selesai kan?" Rain bertanya dingin. Tak ada penekanan di setiap kata yang ia ucapkan. Tak ada emosi.
Alicia makin diliputi rasa takut.
"Aku hanya menagih janji. Mungkin, kau sudah lupa." Rain menyeringai pahit. "Benar. Sudah bertahun-tahun lamanya. Kau pasti lupa."
"Rain?"
Seperti sedang dalam pengaruh sihir, Alicia diam saja ketika Rain mengecup keningnya.
...
Di situasi yang berbeda.
Olivier sedang tertegun melihat Ruby berjalan menyurusuri jembatan kayu di tengah laut. Gadis itu tampak memukau dengan gaun sederhana yang membalut tubuh mungilnya. Gaun yang jatuh sampai di atas lutut itu melambai pelan diterpa angin malam yang cukup bersahabat.
Olivier tak senang melihatnya.
Meski Ruby sedikit berdandan sehingga penampilannya amat menarik, namun gadis itu sedang sakit.
Olivier membuka jasnya sembari ia menapak jembatan kayu dengan langkah berderap. Sementara dari jauh, Ruby menatapnya sambil mendekap diri dengan kedua tangan.
"Kau sedang sakit. Kenapa keluar dari kamar?" Olivier bertanya cemas seraya mengenakan jasnya di tubuh Ruby.
Gadis itu terkesiap. Ia menatap Olivier dalam-dalam. Apakah pemuda ini benar-benar orang baik? Pertanyaan tersebut menyeruak begitu saja di dalam benak.
Ruby merasa tak senang.
Ruby berharap Olivier adalah bajingan kelas kakap. Dengan begitu. Tak ada penyesalan dalam dirinya ketika harus membunuh pemuda itu nanti. Tapi nyatanya...
"Aku tidak suka melihat orang sakit."
"Apa aku akan dipecat?" tanya Ruby .
Olivier mengernyit sesaat. "Tidak. Kembalilah ke kamar. Ini perintah."
"Ini hari pertamaku bekerja. Aku harus ada di sampingmu saat kau membutuhkan sesuatu."
"Oh, come on! Aku bukan bayi, Ruby," sergah Olivier dengan senyum mencemooh.
"Aku baik-baik saja. Tidak perlu−" Suara Ruby tercekat ketika telapak tangan Olivier yang sejuk tiba-tiba menyentuh keningnya.
"Mmm, panasmu sudah turun."
Kalimat sederhana yang keluar dari bibir Olivier membuatnya ingat perhatian almarhum Ibunya. Hati Ruby terkoyak. Nafasnya menjadi alot dan air mata pun meleleh tak tertahan. Ruby lekas menunduk menyadari Olivier melihat air matanya.
Ada banyak pertanyaan menyeruak dalam pikiran Olivier. Dan semuanya tentang Ruby. Hal yang paling jelas dirasakannya sekarang adalah rasa iba.
Terlepas dari bagaimana gadis itu menatapnya penuh benci saat pertemuan pertama mereka, Olivier tak memikirkan hal itu lagi sejak ia melihat Ruby menangis. Sekarang.
Tangan Olivier menggapai dagu Ruby, tapi Ruby berpaling acuh. Dan tiba-tiba saja, sebentuk ombak emosi menerjang Olivier. Tatapannya jadi ketus pada Ruby. Rahangnya mengeras bersama dengan kedua tangannya yang mencengkeram ketat kedua lengan mungil Ruby.
Ruby tak sempat merintih karena nafasnya tercekat begitu Olivier mendekatkan wajahnya. Mendekatkan bibirnya. Oh Tuhan...
Ada saat dimana Ruby membayangkan pemuda rupawan itu mendekapnya. Menciumnya. Kini penyesalan besar muncul mengingat setiap malam ia menatap foto Olivier dan menantikan pertemuannya dengan pria itu. Andai pemuda itu bukan anak Maurer...
Ruby berhenti bernafas saat Olivier mendaratkan ciuman di keningnya. Bibir Olivier terasa sejuk sampai Ruby membuang nafas panjang. Kedua pundak eloknya turun bersamaan. Setelah itu, nafasnya menjadi pendek dan penuh harap.
"Ruby, pergilah sebelum aku menyakitimu!" Suara Olivier begitu parau disertai desahan berat di lubang telinga Ruby.
"Kau sakit?" Ruby memberanikan diri bertanya di tengah nafasnya yang memburu.
Olivier mengangguk dengan rahang terkatup rapat.
Ruby tak tahu bahwa Olivier sedang melawan emosi seseorang yang ikut menyeret dirinya. Olivier kebingungan.
...
Sementara itu.
Rain mendekap Alicia seketat besi. Alicia tak kuasa meronta, meski sebenarnya ia menguasai karate dengan cukup baik. Seharusnya Alicia bisa melepaskan diri. Tapi tatapan Rain menyihirnya.
Tatapan Rain lebih kuat dari fisiknya. Kedua tangannya yang sempat mendorong bahu Rain, akhirnya menggelepar pasrah di bahu yang bidang itu.
"Kau, tidak ingat?" Rain bertanya dengan intuisi yang jelas.
Alicia menatap nanar bola mata Rain yang merah berkaca-kaca. "Tidak mungkin," jawabnya lirih.
"Hatiku juga berkata tidak mungkin. Tapi inilah aku. Dan kau, Alicia."
Sekelebat masa lalu seperti kilatan cahaya yang memuculkan secara acak potongan-potongan kejadian masa lalu. Kepingan-kepingan kenangan terpapar satu-persatu. Kemudian secara urut membingkai sebuah peristiwa yang sejak dulu berusaha dilupakan Alicia.
Lima belas tahun lalu...
"Anak dekil ini kakakmu?" Seorang anak kecil bermata hijau bertanya sambil memandang seorang anak lelaki miskin yang berdiri di belakang Alicia
"Bukan, Titha! Dia bukan kakakku! Kakakku namanya Olivier. Dia ada di Inggris. Kakakku tampan dan dia sangat pintar."
"Lalu dia siapa?"
"Dia Nato. Dia bukan Kakakku!" Alicia kecil mempertegas. Alicia menangis saat semua temannya pergi menjauh sambil mengolok-olok dirinya.
"Alicia, jangan dengarkan mereka!"ucap si anak lelaki.
"Tidak! Kau yang harus pergi! Karena kau, aku tidak punya teman. Mereka tidak suka bermain dengan anak miskin. Pergilah Nato!"
"Jadi, bagaimana dengan hadiah ciumannya? Kau mendapat nilai bagus di sekolah karena aku mengajarimu. Dan kau sudah berjanji akan mencium pipiku jika nilaimu bagus."
"Aku tidak mau berteman lagi denganmu. Aku akan menunggu kakakku yang sebenarnya. Kau, carilah adik perempuan yang lain. Aku bukan adikmu!"
...
"Aku ingat," jawab Alicia ketika kedua ujung hidung mereka saling menggesek pelan dan lembut. Jemari Alicia menyusup lembut, meremas rambut auburn Rain.
Anak lelaki di dalam masa lalunya itu, yang ia panggil dengan nama Nato. Lelaki itu ada di depannya. Anak itu, Rain Arthuro.
"Apa kau sudah menemukan adikmu?" tanya Alicia menahan tangis.
"Mia..Mia...Mia." Berulang kali Rain mengucap nama Mia. Semakin lama, suaranya tenggelam dalam hela nafas Alicia yang berat.
"Rain...maaf," ucap Alicia tertekan. Ia pejamkan matanya. Ia tahan rasa sakit akibat pelukan Rain yang seperti hendak meremukkan seluruh tulangnya.
"Tolong...jangan bunuh aku, Rain! Jangan−" Nafas Alicia tercekat kembali. 'Kenikmatan' yang aneh diiringi perasaan takut, lumer menjadi satu ketika merasakan jemari Rain yang kuat meremas punggungnya.
Semakin lama, Rain makin hilang kendali. Dan akhirnya, perasaan gamang tersebut membentuk ombak besar yang menghantam benak Olivier.
...
Olivier terpaksa menggunakan tubuh Ruby untuk meluapkan emosi seseorang yang masuk dalam dirinya. Orang itu Rain. Dan Olivier belum mengetahuinya.
"Kenapa kau tidak lari?" bisik Olivier di sela rambut panjang Ruby yang kini diremasnya kuat-kuat.
"Karena...kau...kesakitan. Kau, sepertinya membutuhkanku." Ruby sulit bernafas. Ia tak membayangkan pelukan Olivier akan sekuat ini. Sangat posesif.
Ruby sempat berpikir untuk menusuk Olivier jika memungkinkan. Tapi di saat seperti ini, mengambil belati di dalam gaunnya pun, Ruby tak sanggup.
Sebenarnya apa yang dirasakan Olivier? Apa pemuda itu punya penyakit mematikan? Jika ya, usahanya untuk membunuh Olivier mungkin akan beralih pada Maurer. Ruby sempat memikirkan hal itu, namun...
Olivier mulai melonggarkan pelukannya begitu emosi yang membakar dadanya, hilang secara perlahan.
"Vertigo," terang Olivier sambil aksi memegang kepalanya. "Aku hampir hilang keseimbangan. Karena itu, aku memelukmu."
Olivier mengatur nafasnya yang tersengal. Lalu ia tertawa kecil sambil menggelengkan kepala. "Tidak masuk akal. Aku tidak ingin mempercayainya."
"Mempercayai..apa?" Ruby memberanikan diri bertanya. Pipinya merona merah dan panas. Keningnya berlipat-lipat menyimpan rasa khawatir yang terlihat manis.
"Kau tidak akan mengerti." Nafas Olivier kembali normal. Ditatapnya kembali wajah Ruby yang kali ini begitu sendu. Tak ada kernyitan atau guratan-guratan keras yang biasanya muncul di wajah ayu gadis itu
"I'm really sorry."
Ucapan Olivier disertai munculnya lesung pipi, seketika membuat Ruby tertunduk malu sekaligus kebingungan. Kali ini benar-benar memalukan.Tak sekalipun Ruby menatap Olivier sampai majikannya itu kembali mengatakan, "Good job," lalu pergi begitu saja dengan rahang mengeras.
-O0O-
Selepas bertemu Rain, Alicia hampir melupakan kebahagiaan pesta ulang tahunnya bersama Olivier. Sadar bahwa ia harus segera tersenyum untuk orang-orang yang sudah bersusah payah menyiapkan pesta, Alicia terpaksa menyimpan sejenak masalahnya dengan Rain.
Meriahnya pesta kembang api dan sorak sorai para undangan mengiringi kedatangannya.
Di sekitar api unggun dan di tempat kue tart bertingkat lima, Alicia melihat Maurer, Rose, dan nenek tersayang−Sofia. Mereka semua menunggu kedatangannya.
Beberapa teman menarik tangan Alicia, membawa gadis itu untuk segera menghampiri Olivier. Dan, yah, perasaan tak lazimnya pada Olivier kembali muncul.
Alicia tak tahu, mengapa ia masih melihat Olivier seperti orang asing. Dan sepertinya, Olivier pun merasakan hal yang sama.
Selain perasaan cinta yang mungkin akan membuatnya gila, Alicia juga masih terbebani oleh Rain. Perjumpaannya dengan teman masa kecilnya itu tak membuat Alicia bahagia.
Melihat Olivier, Alicia ingin menangis di pelukan pemuda itu. Ia ingin meluapkan kegundahannya terhadap Rain.
Ketika semua temannya kembali berhambur menikmati pesta, Alicia berjalan ke arah Olivier. Ia menatap Olivier dalam-dalam begitupun sebaliknya.
"Apa yang harus aku lakukan Olivier? Aku tak ingin berhutang nyawa padanya? Rain seperti ingin mengikatku. Dia ingin membunuhku. Sejak kecil, aku sering melukai perasaannya. Dan saat kami dewasa, aku membuatnya kehilangan Mia. Aku takut. Lindungi aku, Olivier!"
Sejurus dengan itu, Rain mengamati Alicia dan Olivier dari jauh. Rain berdiri diam, seperti segumpal daging tak bernyawa.
Rain meraba dadanya, tempat jantungnya berdetak tak secepat biasanya. Setelah merasakan itu, pandangannya tersapu ke arah Olivier. Matanya yang merah sembab mengerjap kuat.
"Kau menyukai gadis itu, saudara kembarku?" gumam Rain begitu dalam dan dingin.
Tak tersirat keraguan atau tanda tanya di mata Rain. Pemuda itu mengenal baik siapa yang ia tatap dengan begitu intens. Dan ia tahu, denyut jantung siapa yang baru saja ia rasakan sekarang.
Pemuda berlesung pipi itu adalah saudara kembarnya. Sebuah kenyataan yang didapatinya tanpa sengaja.
Orang yang ingin ia cari, tapi kemudian ia mengabaikannya karena merasa ragu. Ia pernah berkata pada ibunya, Liana, bahwa jika ia melihat saudara kembarnya bahagia, ia akan otomatis membenci saudara kembarnya itu.
Sebelum Liana meninggal karena sakit keras, wanita itu mengungkapkan keberadaan Olivier pada Rain. Liana tak banyak bercerita. Ia hanya mengatakan dua puluh tiga tahun yang lalu ia mengandung anak kembar, tapi keadaan memaksanya untuk meninggalkan salah satu bayinya untuk diberikan pada sepasang suami istri dari kalangan berada.
Rain masih ingat bagaimana ia menghakimi Ibunya yang sedang sakit. Ia tidak membentak Liana. Hanya mengatakan hal yang seharusnya ia katakan. Tapi Rain membuat Liana semakin menangis terisak.
Saat itu Rain bertanya...
...
"Kenapa ibu hanya membawaku? Kenapa ibu tidak membawanya juga?"
Liana terkejut. Pertanyaan Rain ternyata jauh dari pikirannya. Ia mengira Rain akan langsung protes dengan mengatakan, 'Kenapa ibu tidak meninggalkan aku di sana?' Dan sebelum Liana menjawab, Rain melanjutkan perkataannya.
"Kalau ibu membawanya, mungkin aku bisa hidup bersamamu lebih lama." Kemudian Rain menyimpan kalimat selanjutnya di dalam hati.
Ya, Ibu. Jika dia bersamaku, aku tidak akan mati dengan mudah oleh pukulan Ayah. Karena setelah aku dipukul, dia akan menggunakan punggungnya untuk melindungiku. Lalu setelah dia merasa tak kuat, punggungku akan melindunginya. Mungkin aku masih bisa merasakan kulitku terluka saat Ayah memukulku puluhan kali. Lebih baik begitu, daripada tidak merasakan apapun.
Ibu, tubuhku terlalu kecil untuk melindungimu sendirian jika Ayah hendak menyakitimu dengan tangannya. Tapi jika dia ada, tubuh kami akan bersatu untuk menghalangi pukulan Ayah. Mungkin kami bisa mengurangi rasa sakitmu. Mungkin kau hanya akan merasakan goresan kecil saja.
Tapi kau tidak membawanya.
...
Untuk yang terakhir kalinya, Liana, Ibu si kembar, berkata bahwa ia sempat memberikan gelang perak untuk Rain dan Olivier berukiran nama masing-masing. Sejenis gelang dinamis yang bisa direnggangkan atau dirapatkan sesuai ukuran pergelangan tangan. Saat bayi, gelang perak itu dijadikan kalung.
Rain tak berniat mengingat kalimat terakhir Ibunya, walaupun benda itu bisa menjadi petunjuknya untuk mengenali saudara kembarnya kelak. Sekarang kalimat itu berpendar begitu saja dalam pikiran Rain dan membuatnya ingat.
Saat ia memberikan katalog lukisan Twin Moonlight Castle pada Olivier, Rain melihat gelang yang sama seperti gelangnya−melingkar di tangan pemuda berlesung pipi itu. Dan Rain hanya bisa menelan ludah, tanpa berani berspekulasi. Sampai akhirnya mereka tiba di momen ini.
"Apa kau yang membuatku masih hidup sampai sekarang?" Di balik pohon, Rain bergumam lirih sambil melihat jauh ke arah Olivier dan Alicia. Rain menggumkan hal itu setelah menyadari bahwa perasaan Olivier lah yang selama ini membuatnya tegar.
"Kau membuatku melupakan Mia? Kau yang membangun benteng dalam tubuhku, menguasai pikiranku dan sekarang aku berhasil meruntuhkannya."
Amarah mulai meluap bagai lidah api yang membakar akal sehat dan hati kecilnya.
"Selamat ulang tahun, Rain!" Seruan Ferry membuat Rain tersentak. Tak tahu apa sedang dialami kawannya, dengan santai Ferry menyodorkan botol minuman bersoda.
Rain mengambilnya, lalu meneguk minuman itu sampai habis.
"Hei, kenapa kau langsung menghabiskannya? Ini hadiah ulang tahun dariku. Setidaknya kau meminumnya sedikit-sedikit sampai pesta ini selesai." Ferry mengerutu sambil memelototi Rain. Tak mendapat respon, Ferry lekas mengikuti kemana Rain tercenung.
Di sana, di tempat Rain memandang dengan hampa, Ferry menemukan lukisan kebahagiaan sebuah keluarga. Ada Nenek, Ibu, Ayah, dan anak. Apa Rain merasa terharu melihat kebahagiaan keluarga Alvayet? Atau, ia sedang sedih? Apa Rain teringat ibunya? Ferry berusaha menerawang pikiran Rain, tapi pemuda culun ini tak pernah berhasil.
Rain pemuda introvert. Rain hanya banyak bicara saat mengobrol masalah ilmu pengetahuan. Dan Ferry tak pernah bisa menjadi teman yang seimbang untuk berdiskusi masalah itu.
"Rain, apa yang kau pikirkan sekarang?" Pandangan Ferry beralih dari Rain menuju ke arah Maurer yang sedang menyapa rekan-rekan bisnisnya. Lelaki paruh baya itu seperti punya magnet kuat yang mampu menarik perhatian semua orang, termasuk Rain.
Rain menatap Maurer dalam-dalam.
Maurer. Seorang ayah.
Ayah? Sosok itu yang paling ditakuti Rain sejak ia bisa merangkak, berjalan, sampai bicara.
Yang ia tahu, ayah adalah orang yang pertama kali memarahinya saat ia pulang ke rumah tanpa membawa apapun. Seorang ayah memukulnya saat ada orang lain hendak memberinya sepiring nasi. Sosok laki-laki yang berteriak dan memakinya dengan kata-kata kasar. Membuatnya seperti tak pernah diharapkan untuk lahir ke dunia.
Tapi, Maurer tak seperti Ayah angkatnya.
Rain begitu terpukul mendapati kenyataan bahwa Ayah kandungnya adalah lelaki penyayang. Lelaki itu memeluk Olivier dan Alicia. Lelaki itu memperkenalkan anak kembarnya dengan bangga. Lalu bagaimana dengannya? Kenapa Alicia yang ada di posisinya?
...
Nyuttt*
Tiba-tiba jantung Olivier berdenyut kuat. Air mata merebak begitu saja. Rasa bahagianya mendadak hilang, seperti sengaja dilenyapkan oleh seseorang.
Olivier mengernyit saat menyadari bahwa ia sedang merasakan sesuatu yang menyakitkan. Perasaan buruk itu diam-diam telah melebur dalam dirinya. Membuatnya sungguh-sungguh ingin menangis.
Begitu gugup, Olivier mengedarkan pandangannya, menelusuri setiap orang yang berdiri di sekelilingnya. Mencari sesuatu. Seseorang.
Tatapan Olivier kemudian berakhir pada sosok pemuda yang saat itu juga menatapnya di tengah para undangan.
"Rain." Nada suara Olivier terdengar bergetar saat menyebut nama orang asing itu. Tanpa alasan, setetes air mata mengalir.
Gumpalan kesedihan menggulung di dalam sepasang manik kembar yang saling memandang dalam diam.
-O0O-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar