Bab 8
People you
don't love, can't hurt you
-iyanla vanzant-
DUDUK tenang di atas ranjang sambil membaca berkas-berkas milik pelayan
barunya, Olivier membiarkan Ruby berkeliling mencari tempat di setiap sudut
kamarnya yang membuat gadis itu nyaman menunggu.
Pilihan Ruby jatuh pada kursi kayu di dekat jendela. Duduk dengan
kaki pendek merapat, wajahnya sayu menatap laut. Sesekali Ruby beralih pandang
ke arah Olivier yang masih serius membaca berkas riwayat hidupnya.
Damnbass! Ternyata Olivier yang asli
lebih tampan daripada di dalam foto. Ditambah lagi, karisma pria itu yang sulit
dijelaskan dengan kata-kata. Ruby masih ingat bagaimana tatapan Olivier
membuatnya ingin lari dan melupakan balas dendamnya.
Tercatat sebagai mahasiswi Psikologi di salah satu Universitas
ternama di Jakarta, secara alami Ruby dapat menerka sedikit karakter Olivier
dari cara duduk pria itu sembari menunggu.
"Posisi duduk dengan kaki kiri bersilang di atas kaki kanan.
Orang itu bisa jadi brilian dan memiliki pengetahuan luas dalam bidang apa
saja. Selalu hati-hati dalam menghadapi masalah, egois, suka berdiskusi, dan
tidak suka menunda pekerjaan. Dalam hal asmara, dia bukan tipe agresif.
Kesetiaannya tidak perlu diragukan. Dan..."Monolog panjang Ruby
berhenti ketika Olivier bersuara memecah keheningan.
"Selain bahasa Mandarin, bahasa Jerman, dan bahasa Inggris, apa
lagi yang kau kuasai?"
"Bukankah sudah tertera dengan jelas di sana, Tuan muda?"
jawab Ruby begitu tenang. Tak ada secuil pun senyum keramahan yang biasa
ditunjukkan seorang pelamar agar ia diterima bekerja oleh si penguji.
Olivier terkekeh dan kembali membuka halaman demi halaman.
"Kalau kau mengerti bahasa kalbu, poinmu mungkin akan
bertambah. Aku tak hanya butuh assistant yang membantuku memakaikan
dasi. Tapi membantuku menyelesaikan hal yang tidak berkaitan dengan
logika." Olivier menahan ucapan di ujung bibirnya sejenak, lalu
melanjutkannya. "Kau mahasiswi Psikologi, bukan?"
Ruby menahan nafas saat mendengar pertanyaan itu. Apa maksud Olivier
tentang"menyelesaikan hal yang tidak berkaitan dengan logika?"
"Kau, membutuhkan pekerjaan ini untuk biaya kuliah?"
Lama Ruby tak menjawab, sampai Olivier mengganti posisi duduknya.
"Jawab aku...sayang!" Dan seketika itu Ruby terbelalak.
Pemuda ini sudah pasti sangat ahli menaklukkan para gadis, pikir
Ruby. Kini otaknya dihujam banyak pertanyaan tentang Olivier. Selain pemuda
songong yang pintar, playboy, otoriter, sifat 'berbahaya' apa lagi yang
dimiliki Olivier?
"Ya," jawab Ruby berat.
"Panggil saja namaku." Olivier mengalihkan pandangannya
dari kertas-kertas yang ia baca, menuju ke arah Ruby yang masih membisu.
"Olivier," ucap Ruby kaku.
"Great. Aku sudah melihat sekilas berkas-berkasmu. Dan
anehnya, aku merasa berkas itu palsu." Olivier beranjak dari ranjangnya,
lalu mendekati Ruby. Ia duduk di kusen jendela kayu, lalu memandang lurus ke
arah laut.
"Anda tidak punya bukti, jadi jangan meracuni pikiran Anda
sendiri untuk urusan pelayan rendahan seperti saya," jawab Ruby ketus.
"Ini bukan soal dokumenmu, tapi kau. Perempuan yang terus
memandangku dengan penuh kebencian seperti itu, bukankah aku pantas untuk
curiga?" Olivier menumpukkan setengah berat tubuhnya ke kusen jendela,
lalu mencondongkan wajahnya ke arah Ruby. Membuat gadis itu semakin
memelototinya. "Apa wajahku begitu membuatmu merasa terancam?"
Olivier kembali bertanya.
Batu besar serasa memukul keras bagian belakang kepala Ruby. Matanya
langsung mengerjap, sadar kalau sejak tadi dirinya memandang Olivier ketus.
"Sudahlah! Jangan memakai bahasa formal di depanku!"
Olivier berjalan kembali ke ranjangnya. "Harusnya kau menunjukkan senyummu
dan bersikap lembut padaku. Tapi kau malah menatapku seolah-olah aku musuhmu.
Kau mengacuhkanku. Kau bahkan memberikan botol minumanku pada orang lain.
Padahal aku tidak sekalipun memerintahkanmu melakukannya."
"Tapi dia butuh pertolongan," jawab Ruby cepat.
"Tapi kau Assistant-ku. Kau milikku. Kau hanya akan
bergerak saat aku menyuruhmu bergerak."
Ruby mengerjap kuat menyadari arti kalimat Olivier barusan.
"Jadi...kau...menganggapku...robot?"
"Mm?" Sesaat menyadari maksud ucapan gadis itu,
Olivier terkekeh lagi. "Tentu saja aku menganggapmu robot. Kau pikir aku
mengatakan itu seperti...seorang kekasih yang sedang mengutarakan cinta?"
"Jangan terlalu percaya diri. Aku hanya terkejut karena
perkataan itu mungkin hanya bisa keluar dari mulut anak kecil yang iri.
Bukankah kau seorang Dokter? Harusnya kau lebih tanggap daripada aku untuk
menolong laki-laki itu."
Sindiran Ruby berhasil mengubah wajah Olivier menjadi tegang. Tak
ada kalimat pembelaan Olivier untuk dirinya sendiri. Beberapa kali rahangnya tampak
berdenyut menahan rasa kesal dan...dari situ Ruby merasa ada sesuatu yang
sangat sulit dikatakan Olivier.
"Kemari! Akan kutunjukkan tugas pertamamu." Olivier
menyudahi adu pandang mereka dan berjalan santai menuju ranjangnya lagi.
Ruby mulai mendekati Olivier dengan waspada begitu sang majikan
menepuk tangannya di atas ranjang. Ia lalu berdiri di sisi Olivier sambil
memandang bingung ke arah majikannya.
"Tidurlah. Aku akan memeriksamu." Olivier beranjak dari
ranjang lalu berjalan ke arah lemari. Ia mengambil tas di dalam sana lalu
menggeledah isinya.
Ruby menyadari maksud Olivier begitu ia seka butir-butir keringat di
dahi. Matanya terasa panas dan seluruh tubuhnya seperti ditusuk-tusuk oleh
jarum.
Menyadari bahwa dirinya sedang demam, Ruby membuang nafas pendek
lewat mulut. Begitu terfokusnya ia pada rencana balas dendam, sampai tak
menyadari kondisi tubuhnya sendiri. Sekarang Ruby tahu mengapa tangan Olivier
sedingin es saat menggenggam tangannya.
"Tidak. Terima kasih." Ruby berbalik untuk melihat Olivier
di belakangnya. "Izinkan aku istirahat di kamarku."
"Matamu merah," jawab Olivier datar. "Kalau kau
memaksakan diri, kau akan pingsan sebelum keluar dari kamarku."
Gelenyar panas menyusup di setiap sel tubuh Ruby begitu mendengar
ucapan Olivier. Tiba-tiba matanya berkunang-kunang. Debar jantung semakin
keras.
Penuh antisipasi, Olivier berhasil menangkap tubuh Ruby yang hampir
terkulai di lantai kayu. Dengan cepat ia bopong gadis itu dan membaringkannya
di ranjang.
Samar-samar, Ruby melihat Olivier sedang menautkan alis. Ia
merasakan sentuhan sejuk tangan pemuda itu yang kini menekan lembut denyut nadi
di tangannya.
Tidak! Jangan tidur Ruby!Ruby terus
berusaha membangkitkan kesadarannya. Ia tak boleh lengah selagi Olivier
memeriksanya.
"Parfum apa yang kau pakai?" Olivier meletakkan punggung
tangannya di leher Ruby.
"Apa?" Suara Ruby lemah.
"Parfum apa yang kau pakai? Sabun apa yang kau pakai?"
Olivier menghela nafas panjang dan menghembuskannya lewat hidung. Nafas yang
panas itu lalu meresap ke kulit tangan Ruby, membuat gadis itu merasakan
sensasi aneh yang dapat meleburkan rasa bencinya, meski hanya sesaat.
"Apa kau pernah merindukan seseorang, tapi kau tidak tahu
seperti apa orang itu?" Olivier mulai bergumam tak jelas. Suara itu
terdengar parau, membuat Ruby menatap sayu pahatan wajah yang sangat indah di
depannya ini.
Sebenarnya siapa yang sedang demam? Aku atau dia? gumam Ruby sampai kemudian sosok Olivier lenyap dalam pandangannya.
-0O0-
Kelima jemari Rain bergerak kaku−meremas tangan Alicia di perutnya.
Alicia yang hampir saja terlelap, akhirnya tersentak pelan. Dengan
gugup ia melepaskan diri dari Rain, lalu cepat-cepat menata rambutnya yang
berantakan. Kata pertama yang keluar dari bibirnya adalah, "Maaf".
Sadar telah berpelukan cukup lama, rntah apa yang membuat semua itu
terasa alami. Alicia bahkan nyaris tertidur saking nyamannya. Punggung Rain
ternyata begitu hangat.
Rain memutar tubuhnya pelan. Sorot matanya sayu menatap Alicia
begitu dalam. Bibir yang tipis dan ranum membuat garis lurus yang rapat.
"Haha...haha..maaf!" Sambil tertawa gugup, Alicia
mengernyit dalam. "Tadi itu, hanya...luapan emosi."
Berusaha berkilah sekaligus bersikap biasa saja, nyatanya Alicia tak
mampu menutupi rasa gugup dan salah tingkahnya di depan Rain.
Senyum Alicia kemudian memudar."Kau, ingat aku?" tanyanya.
Rain masih menatap sendu gadis di depannya ini. Gadis yang membuat
hari-harinya yang lalu terasa kelam.
"Ya."
Alicia menghela nafas panjang sedikit tercekat begitu mendengar
jawaban Rain yang singkat. Keceriaan semu dengan cepat memudar seiring dengan
bibirnya yang memutih
Lelah berdiri di tengah dua sejoli tanpa berkata apapun, Ferry
akhirnya bersuara.
"Eh, soal kecelakaan di gudang itu, kau...jangan merasa
bersalah."
Rupanya Ferry hendak menghibur Alicia, pikir Rain. Wajah konyol
pemuda itu membuat Rain berpaling sejenak untuk tersenyum diam-diam.
"Kau, hanya perlu bersyukur saja, karena Tuhan telah mengirim
Rain untuk menyelamatkanmu. Sedangkan Mia, memang sudah waktunya Tuhan
memanggilnya."
Ucapan Ferry seperti cambuk yang seketika itu melayang sangat keras
di punggung Rain. Itulah kebenarannya. Tapi entah mengapa, hati Rain
tercabik-cabik mendengarnya. Rasa benci malah semakin menyelimuti begitu
menatap Alicia. Rain bahkan ingin mendorong gadis itu ke tengah laut agar
berhenti tersenyum saat Ferry masih berusaha menghiburnya.
Mengerikan sekali. Rain bergumam sendiri
begitu sadar dengan pikiran kejam tersebut. Hanya dengan memejamkan mata, ia
berusaha mengendalikan diri.
"Aku rasa, aku harus pergi sekarang." Ferry tersenyum
gugup sambil sesekali melihat layar ponselnya. "Bos mengirim pesan agar
aku menemuinya. Kebetulan, kami sedang bekerja di sini. Kami yang menyiapkan
pesta ulang tahunmu nanti malam."
"Oh. Kalau begitu, pergilah sebelum bos memarahi kalian!"
seru Alicia.
Tanpa menatap Alicia sedikit pun, Rain melenggang pergi. Namun
langkahnya terhenti begitu sahabatnya itu memanggil.
"Kau temani Nona Alicia. Antar dia ke kamar. Biar aku yang
menemui bos."
Permintaan Ferry mengandung niat tersembunyi dan Rain mengetahui itu
dengan sangat baik. Ferry hendak memberinya waktu agar bisa bicara dengan
Alicia. Rain membutuhkan Alicia untuk memulihkan rasa sakitnya karena
kehilangan Mia. Dan sekarang saatnya, Rain harus menerima kenyataan.
Sepeninggalan Ferry, Rain dan Alicia duduk di tepi pantai sambil
memandang ombak laut. Lama mereka tak bersuara, sampai kemudian Alicia membuka
percakapan.
"Aku ingin, memberikan sesuatu untuk Mia."
Rain menoleh ke arah Alicia. Keningnya mengernyit dalam.
Merasa gugup, Alicia dengan cepat berpaling dari Rain. Kembali ia
menghela nafas panjang untuk melenyapkan rasa takutnya walau hanya sedikit.
Lalu dengan mantab ia tatap Rain kembali.
"Katakan, apa yang kau inginkan dariku," ucap Alicia
tegas."Aku akan berusaha memenuhinya.Karena aku, tidak ingin berhutang
nyawa, pada siapapun."
"Kalau begitu, apa yang bisa kau berikan padaku?" tanya
balik Rain.
Kini giliran Alicia yang mengernyit. "Yah, apapun...apapun yang
kau mau. Kau bisa menganggapku...asuransi jiwa misalnya?"
Rain tersenyum pahit. Matanya menyipit seolah sedang berpikir. Tak
lama ia menjawab, "Bagaimana kalau―aku menginginkanmu?"
Permintaan Rain sukses membungkam bibir Alicia.
"Nanti malam, sebelum kau meniup lilin yang menancap di kue
ulang tahunmu. Datanglah ke sini."
Alis cokelat Alicia terangkat tinggi-tinggi. "Un−tuk..untuk
apa?"
"Aku akan mengambil ciumanku di sini."
Jantung Alicia kembali berdentam keras ketika mata cokelat Rain
berkilat-kilat menatap bibirnya.
Rain tak banyak bicara. Ia beranjak dari peraduannya, meninggalkan
Alicia yang masih menganga tak percaya.
-O0O-
Saat bulan menggantikan matahari, bintang-bintang menggantung di
langit menunjukkan kecantikan malam.
Kemeriahan di luar cottage samar-samar menggelitik telinga
Olivier. Suara ombak pun kian terdengar.
Olivier membuka matanya dengan berat. Pelan-pelan ia bangun dari hanging
chair-nya yang menggantung di atap teras. Lalu dengan langkah gontai,
Olivier masuk ke kamar tidurnya untuk menengok kondisi Ruby. Pelan-pelan ia duduk
di tepi ranjang, lalu menatap lekat wajah Assistant barunya.
Ruby tampak seperti anak kucing yang kesepian. Entah apa yang
membuat gadis berwajah teduh itu jadi begitu kaku selama mereka berinteraksi.
Olivier sangat tak sabar ingin mengetahuinya.
Ruby memiliki kecantikan khas pribumi. Sederhana dan tak bosan
dipandang. Olivier sadar, bahwa ia sedang tersenyum sendiri saat mengamati
gadis yang membuatnya bertanya, siapa Ruby? Kenapa dia menatapku penuh
kebencian? Apa aku pernah menyakitinya?
Tak berniat membangunkan sang gadis, Olivier sangat berhati-hati
saat beranjak dari tepi ranjang lalu keluar dari kamarnya.
...
Pesta si kembar digelar sangar meriah. Panggung musik, pesta barbercue,
serta area menyantap makanan memiliki zona masing-masing. Meskipun tidak dibuat
menyatu, namun suasana yang dihadirkan masing-masing zona, seakan melebur
bersama hawa dingin di malam bulan purnama yang indah.
Sebelum menghadiri pestanya, Alicia pergi menemui Rain. Langkahnya
gontai karena diliputi rasa ragu. Ketakutan dan rasa tak percaya terus
menyelimuti. Meski begitu, Alicia terus berjalan sampai tak sadar, ia sudah
sampai di tempat tujuan.
"Al...."
Sapaan Rain menyentak Alicia. Pemuda itu tidak memanggilnya Alicia.
Hanya keluarga dan orang terdekat saja yang memanggilnya Alicia. Kenapa Rain
bisa tahu?
Teman masa kecil? Alicia menekan
dalam-dalam pertanyaan itu di hatinya. Mustahil dia dan Rain...
"Kemarilah. Kau ingin semua ini cepat selesai kan?" Rain
bertanya dingin. Tak ada penekanan di setiap kata yang ia ucapkan. Tak ada
emosi.
Alicia makin diliputi rasa takut.
"Aku hanya menagih janji. Mungkin, kau sudah lupa." Rain
menyeringai pahit. "Benar. Sudah bertahun-tahun lamanya. Kau pasti
lupa."
"Rain?"
Seperti sedang dalam pengaruh sihir, Alicia diam saja ketika Rain
mengecup keningnya.
...
Di situasi yang berbeda.
Olivier sedang tertegun melihat Ruby berjalan menyurusuri jembatan
kayu di tengah laut. Gadis itu tampak memukau dengan gaun sederhana yang
membalut tubuh mungilnya. Gaun yang jatuh sampai di atas lutut itu melambai
pelan diterpa angin malam yang cukup bersahabat.
Olivier tak senang melihatnya.
Meski Ruby sedikit berdandan sehingga penampilannya amat menarik,
namun gadis itu sedang sakit.
Olivier membuka jasnya sembari ia menapak jembatan kayu dengan
langkah berderap. Sementara dari jauh, Ruby menatapnya sambil mendekap diri
dengan kedua tangan.
"Kau sedang sakit. Kenapa keluar dari kamar?" Olivier
bertanya cemas seraya mengenakan jasnya di tubuh Ruby.
Gadis itu terkesiap. Ia menatap Olivier dalam-dalam. Apakah
pemuda ini benar-benar orang baik? Pertanyaan tersebut menyeruak begitu
saja di dalam benak.
Ruby merasa tak senang.
Ruby berharap Olivier adalah bajingan kelas kakap. Dengan begitu.
Tak ada penyesalan dalam dirinya ketika harus membunuh pemuda itu nanti. Tapi
nyatanya...
"Aku tidak suka melihat orang sakit."
"Apa aku akan dipecat?" tanya Ruby .
Olivier mengernyit sesaat. "Tidak. Kembalilah ke kamar. Ini
perintah."
"Ini hari pertamaku bekerja. Aku harus ada di sampingmu saat
kau membutuhkan sesuatu."
"Oh, come on! Aku bukan bayi, Ruby," sergah Olivier
dengan senyum mencemooh.
"Aku baik-baik saja. Tidak perlu−" Suara Ruby tercekat
ketika telapak tangan Olivier yang sejuk tiba-tiba menyentuh keningnya.
"Mmm, panasmu sudah turun."
Kalimat sederhana yang keluar dari bibir Olivier membuatnya ingat
perhatian almarhum Ibunya. Hati Ruby terkoyak. Nafasnya menjadi alot dan air
mata pun meleleh tak tertahan. Ruby lekas menunduk menyadari Olivier melihat
air matanya.
Ada banyak pertanyaan menyeruak dalam pikiran Olivier. Dan semuanya
tentang Ruby. Hal yang paling jelas dirasakannya sekarang adalah rasa iba.
Terlepas dari bagaimana gadis itu menatapnya penuh benci saat
pertemuan pertama mereka, Olivier tak memikirkan hal itu lagi sejak ia melihat
Ruby menangis. Sekarang.
Tangan Olivier menggapai dagu Ruby, tapi Ruby berpaling acuh. Dan
tiba-tiba saja, sebentuk ombak emosi menerjang Olivier. Tatapannya jadi ketus
pada Ruby. Rahangnya mengeras bersama dengan kedua tangannya yang mencengkeram
ketat kedua lengan mungil Ruby.
Ruby tak sempat merintih karena nafasnya tercekat begitu Olivier
mendekatkan wajahnya. Mendekatkan bibirnya. Oh Tuhan...
Ada saat dimana Ruby membayangkan pemuda rupawan itu mendekapnya.
Menciumnya. Kini penyesalan besar muncul mengingat setiap malam ia menatap foto
Olivier dan menantikan pertemuannya dengan pria itu. Andai pemuda itu bukan
anak Maurer...
Ruby berhenti bernafas saat Olivier mendaratkan ciuman di keningnya.
Bibir Olivier terasa sejuk sampai Ruby membuang nafas panjang. Kedua pundak
eloknya turun bersamaan. Setelah itu, nafasnya menjadi pendek dan penuh harap.
"Ruby, pergilah sebelum aku menyakitimu!" Suara Olivier
begitu parau disertai desahan berat di lubang telinga Ruby.
"Kau sakit?" Ruby memberanikan diri bertanya di tengah
nafasnya yang memburu.
Olivier mengangguk dengan rahang terkatup rapat.
Ruby tak tahu bahwa Olivier sedang melawan emosi seseorang yang ikut
menyeret dirinya. Olivier kebingungan.
...
Sementara itu.
Rain mendekap Alicia seketat besi. Alicia tak kuasa meronta, meski
sebenarnya ia menguasai karate dengan cukup baik. Seharusnya Alicia bisa
melepaskan diri. Tapi tatapan Rain menyihirnya.
Tatapan Rain lebih kuat dari fisiknya. Kedua tangannya yang sempat
mendorong bahu Rain, akhirnya menggelepar pasrah di bahu yang bidang itu.
"Kau, tidak ingat?" Rain bertanya dengan intuisi yang
jelas.
Alicia menatap nanar bola mata Rain yang merah berkaca-kaca.
"Tidak mungkin," jawabnya lirih.
"Hatiku juga berkata tidak mungkin. Tapi inilah aku. Dan kau,
Alicia."
Sekelebat masa lalu seperti kilatan cahaya yang memuculkan secara
acak potongan-potongan kejadian masa lalu. Kepingan-kepingan kenangan terpapar
satu-persatu. Kemudian secara urut membingkai sebuah peristiwa yang sejak dulu
berusaha dilupakan Alicia.
Lima belas tahun lalu...
"Anak dekil ini kakakmu?" Seorang anak kecil bermata hijau
bertanya sambil memandang seorang anak lelaki miskin yang berdiri di belakang
Alicia
"Bukan, Titha! Dia bukan kakakku! Kakakku namanya Olivier. Dia
ada di Inggris. Kakakku tampan dan dia sangat pintar."
"Lalu dia siapa?"
"Dia Nato. Dia bukan Kakakku!" Alicia kecil mempertegas.
Alicia menangis saat semua temannya pergi menjauh sambil mengolok-olok dirinya.
"Alicia, jangan dengarkan mereka!"ucap si anak lelaki.
"Tidak! Kau yang harus pergi! Karena kau, aku tidak punya
teman. Mereka tidak suka bermain dengan anak miskin. Pergilah Nato!"
"Jadi, bagaimana dengan hadiah ciumannya? Kau mendapat nilai
bagus di sekolah karena aku mengajarimu. Dan kau sudah berjanji akan mencium
pipiku jika nilaimu bagus."
"Aku tidak mau berteman lagi denganmu. Aku akan menunggu
kakakku yang sebenarnya. Kau, carilah adik perempuan yang lain. Aku bukan
adikmu!"
...
"Aku ingat," jawab Alicia ketika kedua ujung hidung mereka
saling menggesek pelan dan lembut. Jemari Alicia menyusup lembut, meremas
rambut auburn Rain.
Anak lelaki di dalam masa lalunya itu, yang ia panggil dengan nama
Nato. Lelaki itu ada di depannya. Anak itu, Rain Arthuro.
"Apa kau sudah menemukan adikmu?" tanya Alicia menahan
tangis.
"Mia..Mia...Mia." Berulang kali Rain mengucap nama Mia.
Semakin lama, suaranya tenggelam dalam hela nafas Alicia yang berat.
"Rain...maaf," ucap Alicia tertekan. Ia pejamkan matanya.
Ia tahan rasa sakit akibat pelukan Rain yang seperti hendak meremukkan seluruh
tulangnya.
"Tolong...jangan bunuh aku, Rain! Jangan−" Nafas Alicia
tercekat kembali. 'Kenikmatan' yang aneh diiringi perasaan takut, lumer menjadi
satu ketika merasakan jemari Rain yang kuat meremas punggungnya.
Semakin lama, Rain makin hilang kendali. Dan akhirnya, perasaan
gamang tersebut membentuk ombak besar yang menghantam benak Olivier.
...
Olivier terpaksa menggunakan tubuh Ruby untuk meluapkan emosi
seseorang yang masuk dalam dirinya. Orang itu Rain. Dan Olivier belum mengetahuinya.
"Kenapa kau tidak lari?" bisik Olivier di sela rambut
panjang Ruby yang kini diremasnya kuat-kuat.
"Karena...kau...kesakitan. Kau, sepertinya membutuhkanku."
Ruby sulit bernafas. Ia tak membayangkan pelukan Olivier akan sekuat ini.
Sangat posesif.
Ruby sempat berpikir untuk menusuk Olivier jika memungkinkan. Tapi
di saat seperti ini, mengambil belati di dalam gaunnya pun, Ruby tak sanggup.
Sebenarnya apa yang dirasakan Olivier? Apa pemuda itu punya penyakit
mematikan? Jika ya, usahanya untuk membunuh Olivier mungkin akan beralih pada
Maurer. Ruby sempat memikirkan hal itu, namun...
Olivier mulai melonggarkan pelukannya begitu emosi yang membakar
dadanya, hilang secara perlahan.
"Vertigo," terang Olivier sambil aksi memegang kepalanya.
"Aku hampir hilang keseimbangan. Karena itu, aku memelukmu."
Olivier mengatur nafasnya yang tersengal. Lalu ia tertawa kecil
sambil menggelengkan kepala. "Tidak masuk akal. Aku tidak ingin
mempercayainya."
"Mempercayai..apa?" Ruby memberanikan diri bertanya. Pipinya
merona merah dan panas. Keningnya berlipat-lipat menyimpan rasa khawatir yang
terlihat manis.
"Kau tidak akan mengerti." Nafas Olivier kembali normal.
Ditatapnya kembali wajah Ruby yang kali ini begitu sendu. Tak ada kernyitan
atau guratan-guratan keras yang biasanya muncul di wajah ayu gadis itu
"I'm really sorry."
Ucapan Olivier disertai munculnya lesung pipi, seketika membuat Ruby
tertunduk malu sekaligus kebingungan. Kali ini benar-benar memalukan.Tak
sekalipun Ruby menatap Olivier sampai majikannya itu kembali mengatakan, "Good
job," lalu pergi begitu saja dengan rahang mengeras.
-O0O-
Selepas bertemu Rain, Alicia hampir melupakan kebahagiaan pesta
ulang tahunnya bersama Olivier. Sadar bahwa ia harus segera tersenyum untuk
orang-orang yang sudah bersusah payah menyiapkan pesta, Alicia terpaksa
menyimpan sejenak masalahnya dengan Rain.
Meriahnya pesta kembang api dan sorak sorai para undangan mengiringi
kedatangannya.
Di sekitar api unggun dan di tempat kue tart bertingkat lima,
Alicia melihat Maurer, Rose, dan nenek tersayang−Sofia. Mereka semua menunggu
kedatangannya.
Beberapa teman menarik tangan Alicia, membawa gadis itu untuk segera
menghampiri Olivier. Dan, yah, perasaan tak lazimnya pada Olivier kembali
muncul.
Alicia tak tahu, mengapa ia masih melihat Olivier seperti orang
asing. Dan sepertinya, Olivier pun merasakan hal yang sama.
Selain perasaan cinta yang mungkin akan membuatnya gila, Alicia juga
masih terbebani oleh Rain. Perjumpaannya dengan teman masa kecilnya itu tak
membuat Alicia bahagia.
Melihat Olivier, Alicia ingin menangis di pelukan pemuda itu. Ia
ingin meluapkan kegundahannya terhadap Rain.
Ketika semua temannya kembali berhambur menikmati pesta, Alicia
berjalan ke arah Olivier. Ia menatap Olivier dalam-dalam begitupun sebaliknya.
"Apa yang harus aku lakukan Olivier? Aku tak ingin berhutang
nyawa padanya? Rain seperti ingin mengikatku. Dia ingin membunuhku. Sejak
kecil, aku sering melukai perasaannya. Dan saat kami dewasa, aku membuatnya
kehilangan Mia. Aku takut. Lindungi aku, Olivier!"
Sejurus dengan itu, Rain mengamati Alicia dan Olivier dari jauh.
Rain berdiri diam, seperti segumpal daging tak bernyawa.
Rain meraba dadanya, tempat jantungnya berdetak tak secepat
biasanya. Setelah merasakan itu, pandangannya tersapu ke arah Olivier. Matanya
yang merah sembab mengerjap kuat.
"Kau menyukai gadis itu, saudara kembarku?" gumam
Rain begitu dalam dan dingin.
Tak tersirat keraguan atau tanda tanya di mata Rain. Pemuda itu
mengenal baik siapa yang ia tatap dengan begitu intens. Dan ia tahu, denyut
jantung siapa yang baru saja ia rasakan sekarang.
Pemuda berlesung pipi itu adalah saudara kembarnya. Sebuah kenyataan
yang didapatinya tanpa sengaja.
Orang yang ingin ia cari, tapi kemudian ia mengabaikannya karena
merasa ragu. Ia pernah berkata pada ibunya, Liana, bahwa jika ia melihat
saudara kembarnya bahagia, ia akan otomatis membenci saudara kembarnya itu.
Sebelum Liana meninggal karena sakit keras, wanita itu mengungkapkan
keberadaan Olivier pada Rain. Liana tak banyak bercerita. Ia hanya mengatakan
dua puluh tiga tahun yang lalu ia mengandung anak kembar, tapi keadaan
memaksanya untuk meninggalkan salah satu bayinya untuk diberikan pada sepasang
suami istri dari kalangan berada.
Rain masih ingat bagaimana ia menghakimi Ibunya yang sedang sakit.
Ia tidak membentak Liana. Hanya mengatakan hal yang seharusnya ia katakan. Tapi
Rain membuat Liana semakin menangis terisak.
Saat itu Rain bertanya...
...
"Kenapa ibu hanya membawaku? Kenapa ibu tidak membawanya
juga?"
Liana terkejut. Pertanyaan Rain ternyata jauh dari pikirannya. Ia
mengira Rain akan langsung protes dengan mengatakan, 'Kenapa ibu tidak
meninggalkan aku di sana?' Dan sebelum Liana menjawab, Rain melanjutkan
perkataannya.
"Kalau ibu membawanya, mungkin aku bisa hidup bersamamu lebih
lama." Kemudian Rain menyimpan kalimat selanjutnya di dalam hati.
Ya, Ibu. Jika dia bersamaku, aku tidak akan mati dengan mudah oleh
pukulan Ayah. Karena setelah aku dipukul, dia akan menggunakan punggungnya
untuk melindungiku. Lalu setelah dia merasa tak kuat, punggungku akan
melindunginya. Mungkin aku masih bisa merasakan kulitku terluka saat Ayah
memukulku puluhan kali. Lebih baik begitu, daripada tidak merasakan apapun.
Ibu, tubuhku terlalu kecil untuk melindungimu sendirian jika Ayah
hendak menyakitimu dengan tangannya. Tapi jika dia ada, tubuh kami akan bersatu
untuk menghalangi pukulan Ayah. Mungkin kami bisa mengurangi rasa sakitmu.
Mungkin kau hanya akan merasakan goresan kecil saja.
Tapi kau tidak membawanya.
...
Untuk yang terakhir kalinya, Liana, Ibu si kembar, berkata bahwa ia
sempat memberikan gelang perak untuk Rain dan Olivier berukiran nama
masing-masing. Sejenis gelang dinamis yang bisa direnggangkan atau dirapatkan
sesuai ukuran pergelangan tangan. Saat bayi, gelang perak itu dijadikan kalung.
Rain tak berniat mengingat kalimat terakhir Ibunya, walaupun benda
itu bisa menjadi petunjuknya untuk mengenali saudara kembarnya kelak. Sekarang
kalimat itu berpendar begitu saja dalam pikiran Rain dan membuatnya ingat.
Saat ia memberikan katalog lukisan Twin Moonlight Castle pada
Olivier, Rain melihat gelang yang sama seperti gelangnya−melingkar di tangan
pemuda berlesung pipi itu. Dan Rain hanya bisa menelan ludah, tanpa berani
berspekulasi. Sampai akhirnya mereka tiba di momen ini.
"Apa kau yang membuatku masih hidup sampai sekarang?" Di
balik pohon, Rain bergumam lirih sambil melihat jauh ke arah Olivier dan
Alicia. Rain menggumkan hal itu setelah menyadari bahwa perasaan Olivier lah
yang selama ini membuatnya tegar.
"Kau membuatku melupakan Mia? Kau yang membangun benteng dalam
tubuhku, menguasai pikiranku dan sekarang aku berhasil meruntuhkannya."
Amarah mulai meluap bagai lidah api yang membakar akal sehat dan
hati kecilnya.
"Selamat ulang tahun, Rain!" Seruan Ferry membuat Rain tersentak.
Tak tahu apa sedang dialami kawannya, dengan santai Ferry menyodorkan botol
minuman bersoda.
Rain mengambilnya, lalu meneguk minuman itu sampai habis.
"Hei, kenapa kau langsung menghabiskannya? Ini hadiah ulang
tahun dariku. Setidaknya kau meminumnya sedikit-sedikit sampai pesta ini
selesai." Ferry mengerutu sambil memelototi Rain. Tak mendapat respon,
Ferry lekas mengikuti kemana Rain tercenung.
Di sana, di tempat Rain memandang dengan hampa, Ferry menemukan
lukisan kebahagiaan sebuah keluarga. Ada Nenek, Ibu, Ayah, dan anak. Apa Rain
merasa terharu melihat kebahagiaan keluarga Alvayet? Atau, ia sedang sedih? Apa
Rain teringat ibunya? Ferry berusaha menerawang pikiran Rain, tapi pemuda culun
ini tak pernah berhasil.
Rain pemuda introvert. Rain hanya banyak bicara saat
mengobrol masalah ilmu pengetahuan. Dan Ferry tak pernah bisa menjadi teman
yang seimbang untuk berdiskusi masalah itu.
"Rain, apa yang kau pikirkan sekarang?" Pandangan Ferry
beralih dari Rain menuju ke arah Maurer yang sedang menyapa rekan-rekan
bisnisnya. Lelaki paruh baya itu seperti punya magnet kuat yang mampu menarik
perhatian semua orang, termasuk Rain.
Rain menatap Maurer dalam-dalam.
Maurer. Seorang ayah.
Ayah? Sosok itu yang paling ditakuti
Rain sejak ia bisa merangkak, berjalan, sampai bicara.
Yang ia tahu, ayah adalah orang yang pertama kali memarahinya saat
ia pulang ke rumah tanpa membawa apapun. Seorang ayah memukulnya saat ada orang
lain hendak memberinya sepiring nasi. Sosok laki-laki yang berteriak dan
memakinya dengan kata-kata kasar. Membuatnya seperti tak pernah diharapkan
untuk lahir ke dunia.
Tapi, Maurer tak seperti Ayah angkatnya.
Rain begitu terpukul mendapati kenyataan bahwa Ayah kandungnya
adalah lelaki penyayang. Lelaki itu memeluk Olivier dan Alicia. Lelaki itu
memperkenalkan anak kembarnya dengan bangga. Lalu bagaimana dengannya? Kenapa
Alicia yang ada di posisinya?
...
Nyuttt*
Tiba-tiba jantung Olivier berdenyut kuat. Air mata merebak begitu
saja. Rasa bahagianya mendadak hilang, seperti sengaja dilenyapkan oleh
seseorang.
Olivier mengernyit saat menyadari bahwa ia sedang merasakan sesuatu
yang menyakitkan. Perasaan buruk itu diam-diam telah melebur dalam dirinya.
Membuatnya sungguh-sungguh ingin menangis.
Begitu gugup, Olivier mengedarkan pandangannya, menelusuri setiap
orang yang berdiri di sekelilingnya. Mencari sesuatu. Seseorang.
Tatapan Olivier kemudian berakhir pada sosok pemuda yang saat itu
juga menatapnya di tengah para undangan.
"Rain." Nada suara Olivier terdengar bergetar saat
menyebut nama orang asing itu. Tanpa alasan, setetes air mata mengalir.
Gumpalan kesedihan menggulung di dalam sepasang manik kembar yang
saling memandang dalam diam.
-O0O-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar