Jumat, 10 Juli 2015

Bab 6



Bab 6

The sky broke like an egg into full sunset and the water caught fire
-Pamela Hansford Johnson-



RUBY terkesiap saat seseorang menepuk bahunya lembut. Sebuah sapaan yang familiar menggelitik lubang telinganya. Melenyapkan gaung suara pria yang membisikkan hal buruk. Hal yang membuatnya terbakar amarah.
“Ruby.”
“Vira.” Ruby mengucapkan nama itu dengan menekan perasaannya.
“Akhirnya kau pulang. Kami sudah menunggu sangat lama. Kau...pasti terkejut.”
Ruby memiliki banyak pertanyaan saat berdiri di depan pagar. Namun setelah melihat teman masa kecilnya sekaligus tangan kanan Ibunya ini, segala pertanyaan itu terlupakan.
Vira menangis sesenggukan sambil memeluk erat tubuh Ruby. Dan saat itulah, pikiran Ruby menjadi kosong. Gadis itu berharap ada di alam mimpi, tapi Tuhan membuatnya terus tersadar.
Dengan langkah berat memasuki rumah, Vira mengajak Ruby duduk di sofa yang sebelumnya tertutupi kain putih. Ruby masih membisu seperti boneka hidup, tapi ia bisa mendengarkan suara Vira yang mulai menceritakan tentang kebangkrutan perusahaan milik sang Ibu.
Tepat di ulang tahun Ruby yang ke dua puluh satu, sang Ibu, Maya, mengalami krisis. Perusahaan Alvayet corporation tidak bersedia memberikan keringanan untuk pelunasan hutang. Semua aset disita, kecuali aset milik Ruby. Maya berjuang keras mempertahankan itu, sampai akhirnya dia kehilangan seluruh sahamnya.
Saat Ruby meminta biaya untuk pergi ke Hawai, sebenarnya Maya sudah tidak punya apa-apa lagi. Ia menyerahkan sisa harta yang ia punya, dengan harapan setelah Ruby pulang, masalah akan beres. Ia akan berusaha meminjam uang di Bank sebelum putri semata wayangnya pulang. Tapi ternyata tidak berhasil.
“Ada apa dengan ponselmu? Kau sengaja mematikannya? Kau ingin menunjukkan pada Ibumu kalau kau masih marah?”
Ruby masih membisu.
“Kondisi Bibi sangat memprihatinkan. Dia membutuhkanmu, tapi kau tidak ada. Saat kami berusaha mencarimu, Bibi melarang. Dia bilang...‘biarkan anakku bersenang-senang, jangan membuat dia khawatir’. Dan akhirnya...Bibi―” Suara parau di akhir kalimat Vira membuat Ruby menaikkan dagu, lalu menatap Vira lekat.
Vira tidak melanjutkan kalimatnya, hingga membuat emosi Ruby meluap. Guratan-guratan kemarahan tampak jelas di wajahnya. Nafasnya mulai tersengal. Cepat katakan saja! pintanya pada Vira dalam hati. Tapi di sisi lain, di sudut hatinya yang paling dalam, ia tahu apa yang akan dikatakan Vira.
Ibunya meninggal.

-O0O-

Di malam yang sama.

Mobil Olivier berderu melewati pintu utama, lalu masuk ke area parkir. Alicia yang melihat dari balkon kamar, buru-buru bercermin, menata rambutnya, lalu tersenyum sambil bergaya.
Ya. Demi tinggal bersama saudara kembarnya, Alicia nekat melawan sang Nenek yang tidak mengijinkannya pulang ke Indonesia. Lagipula, ada apa dengan Neneknya itu? Apa salahnya jika kakak beradik tinggal bersama?
Alicia kabur dari Sofia Alvayet dan wanita paruh baya itu dibuat uring-uringan. Sang Nenek terpaksa menghubungi kepala pelayan di rumah besar mereka untuk mengurus semua kebutuhan Alicia karena gadis itu pergi dari California secara mendadak
Sesampainya di rumah, Alicia terkejut saat kepala pelayan beserta seluruh anak buahnya menyambut dengan antusias. Seolah tak dibiarkan merasa bingung sedikit pun, Kepala pelayan yang umurnya sudah setengah abad, Bibi Carmen, membimbing Alicia ke kamarnya dan menjelaskan semua aturan yang ada di rumah mereka.
Ada banyak sekali peraturan mengenai etika dan tak satupun berhasil melekat di ingatan Alicia, sampai akhirnya kedatangan Olivier membuatnya ingat satu aturan. Batas jam pulang malam adalah sampai pukul 11. Sedangkan Olivier melampaui satu jam. Bukan bermaksud ingin mengadili Olivier, Alicia hanya ingin menemukan satu topik untuk mengawali percakapannya dengan saudara kembarnya nanti.
...
“Oh my God! Kau sedang apa Alicia?” Gadis itu mengerjap kuat. Berulang kali ia menaikkan satu alisnya, menatap penuh curiga sosok di dalam cermin itu. Seolah ingin mencari sesuatu yang aneh pada dirinya.
Suara langkah Oliver berderap menaiki tangga berhasil memukul-mukul dada Alicia.
“Come on, Alicia! Oliver is your brother! Ok! Fix?!”
Pintu fyberglass diketuk beberapa kali. Suara Olivier yang merdu menyapanya. Suara itu terdengar seperti ancaman agar Alicia segera menyembunyikan diri.
“Alicia, kau di dalam?!” Olivier terdiam menunggu jawaban. Sesaat tak ada sahutan, ia membuka pintu. Pandangannya beredar keseluruh sudut interior kamar yang bergaya shabby chic. Wajahnya sedikit silly saat tak mendapati sang adik di sana.
(shabby chic: Desain interior yang memiliki tampilan klasik namun elegan. Memiliki karakter tone warna yang rendah, lebih ke arah memutih dan lembut. Furniture yang dipakai berupa benda ukiran, berenda, bermotif bunga yang berwarna pudar sehingga terlihat antik).
“Alicia, aku membawakanmu sushi. Kata nenek, ini makanan kesukaanmu.”
Alicia mendengar hal itu dari kolong ranjangnya.  ‘Sushi’ adalah kata yang menjadi alasannya untuk menggeser tubuhnya perlahan keluar dari kolong.  Tak ada pilihan selain menampakkan diri sambil meringis.
“Oh, sushi?! I love sushi...so..much!” Alicia berseru sambil menepuk tangannya keras-keras.
Olivier terlonjak kaget. Namun tak lama, seringai manis membingkai wajahnya yang luar biasa tampan.
Alicia merasa bahwa kegugupan dan kebahagiaannya meluap. Perasaan berkecamuk itu tertuang dalam guratan senyum yang akhirnya terlihat dipaksakan. Olivier melihat hal itu dengan jelas, karena ia pun merasaka kegugupan yang sama. Perasaan yang sederhana itu, menjadi terasa aneh.
Diselimuti rasa canggung yang amat tebal, keduanya makan sushi bersama di taman. Mereka duduk di hamparan rumput hijau sambil melihat empat bintang yang menggantung indah di langit malam.
Alicia menelisik, bintang mana yang paling benderang. Dan saat ia menengok ke sisi kanannya, bintang yang paling terang itu ternyata ada di sana. Bintang itu sedang mendongak sambil tersenyum.Matanya bulat dan lentik. Alis hitamnya yang tebal sering kali menggelitik Alicia untuk menyentuhnya dengan satu jari.
Bintang itu Olivier.
“Ajari aku naik sepeda!” Alicia berusaha melenyapkan rasa canggung di antara mereka.
“Hm?” Olivier diam sejenak sambil mengangkat alis.
“Tidak ada yang mengajariku naik sepeda.” Alicia cepat-cepat menunduk saat Oliver menatapnya.
Olivier tertawa mendengar jawaban polos itu. Lesung pipinya muncul sempurna. Ia pandang Alicia lekat.
Alicia menghela nafas panjang beberapa kali sambil melihat ke atas. Perasaan tak lazimnya pada Olivier bak selimut tebal yang kini membelit ketat tubuhnya.
“Oh, Tuhan!” Dalam hati Alicia merintih.
Senyum Olivier memudar melihat pundak Alicia gemetar. Dan entah mengapa, ia langsung tahu bahwa Alicia sedang menangis.
“Kau, merindukanku?” tanya Olivier lembut. Perasaan aneh hinggap seiring dengan tatapannya yang terus berpalung dalam pada gadis berwajah rupawan di sisinya ini.
Tak ada jawaban dari bibir Alicia yang gemetar menahan tangis. Tapi dalam hati, gadis ini menjawab, “Lebih dari yang kau bayangkan.”
“Kau...percaya diri sekali!” Alicia menyeka cepat air matanya lalu memukul pelan lengan Aiden sambil memberengut.
Olivier menghela nafas. “Baiklah, mulai sekarang, kita tidak akan terpisah. Aku akan tinggal di sini, menjagamu.”
Olivier memegang kedua bahu Alicia dengan gugup, lalu memutar tubuh gadis itu menghadap ke arahnya.
Seketika, tangis Alicia pecah di depan Olivier.
“Ah...ada apa denganku? Sungguh...aku bukan gadis cengeng. Aku tidak pernah seperti ini sebelumnya. Assss..sial!” Alicia merutuki dirinya sendiri sambil sibuk menyeka air matanya yang terus menetes.
Olivier tak kuasa menahan hasratnya untuk memeluk saudara kembarnya ini. Ia menarik pelan Alicia, membimbing kepala gadis itu ke pundaknya. Perlahan-lahan, ia menepuk punggung Alicia untuk menenangkan gadis itu.
“Ah...tanganku bergerak sendiri,” katanya.
Alicia tersenyum di pundak Olivier. Pundak itu memberinya ketenangan. Namun, mendadak sekelebat memori kala ia memeluk seorang pemuda berambut auburn−berpendar jelas dalam ingatan. Wajah pemuda itu amat jelas.
Alicia terkesiap. Ia melepaskan diri dari pelukan Olivier, lalu mengerjapkan mata beberapa kali untuk mengusir kenangan itu.
“Ada apa?”
Alicia menelengkan kepala. “Tidak. Hanya teringat sesuatu,” jawabnya kaku.
-O0O-

-Morning-
Long Beach. California

Suara kapal-kapal yang berlabuh, ombak, dan kicauan burung-burung camar di sore hari, membawa udara khas California yang membuat Rain tenggelam dalam diam. Di sampingnya ada lebih dari lima kaleng minuman bersoda yang sudah kosong. Sekarang di tangannya masih ada satu kaleng terakhir. Minuman itu sedang diteguknya pelan-pelan.
Dalam keheningan yang mencekam, tiba-tiba sebuah suara dari masa lalu muncul, menggema di telinganya, menggantikan suara deru ombak yang cukup keras. Suara itu milik Alicia. Rain tersentak pelan saat menyadari hal tersebut. Ia lalu memandang telapak tangannya yang seperti menyimpan sebuah emosi.
“Aku mau hidup...aku mau hidup.”
Rain mengerjap lebih kuat. Suara Alicia makin tenggelam di antara hela nafasnya. Dengan mata terpejam, Rain merasakan kehangatan Alicia yang tertinggal di telapak tangannya. Pelukan Alicia waktu itu, ternyata tidak membebaninya.
Ketika matanya terbuka, Rain menyadari sesuatu. Ia merasa Alicia bukan orang asing. Mereka seperti pernah bertemu sejak lama, sama seperti ia mengenal Mia.
“Mungkinkah? Dia..Alicia?” Pertanyaan Rain menggema dalam pikirannya sendiri.
-O0O-
Jakarta
08.23 pm

Ruby masuk ke kamar sang ibu. Kamar yang paling besar dari seluruh kamar yang ada, sekarang ditutupi kain-kain putih. Banyak debu di sana, membuat udara jadi pengap. Satu-satunya penerangan hanya dari cahaya bulan yang menyusup di celah-celah tirai.
“Ibu, aku sudah pulang. Kau dimana, Bu?” tanya Ruby dalam hatinya.
Waktu begitu kejam, tidak akan mau kembali pada Ruby yang hanya ingin minta maaf pada ibunya. Hal itulah yang terus menyiksa Ruby. Membuat nafasnya terus memburu. Membuat tubuhnya gemetaran saat menatap foto dirinya dan sang ibu yang masih terbingkai indah di atas meja kerja. Foto itu bukan saat mereka memakai pakaian mahal. Tapi saat dirinya masih sangat kecil dan Maya menggendongnya. Mereka sama-sama memakai pakaian sederhana. Dan dari situ lah, Ruby sadar. Begitu banyak hal yang sudah dilakukan Maya sebagai single mother
“Ibu...Ibu..Ruby rindu Ibu,” jerit gadis itu dalam hati. Didekapnya bingkai foto itu di dadanya sambil menangis pilu.   
Sebelum pergi ke Hawai, Ruby dan Maya bertengkar hebat. Karena itu Ruby tidak sempat mencium tangan Ibunya. Hal itu yang memukul gadis itu. Membuatnya terus menangis sendirian di sudut paling kelam di kamar itu.
Permohonan maaf yang tak sempat terucap.
...

Seminggu kemudian.
Seorang lelaki paruh baya berpakaian formal menemui Ruby. Lelaki itu memperkenalkan diri sebagai partner kerja Maya, Otorio Van Gock. Tanpa memedulikan Ruby yang masih berduka, lelaki itu menceritakan masalah yang dialami Maya. Bagaimana wanita yang tangguh itu akhirnya tunduk pada seorang Maurer Alvayet, Presiden Direktur dari Alvayet corporation.
Otorio menggambarkan Maurer Alvayet sebagai pengusaha bertangan dingin. Hatinya sekeras baja. Karena itu, ia tidak mengabulkan permohonan Maya yang ingin mengajukan perpanjangan tanggal pelunasan hutang. Tak hanya itu, Otorio juga menguraikan hubungan asmara yang sempat terjadi antar dua pengusaha tersebut.
Kening Ruby berkerut. Bibirnya kaku sampai tak mampu berucap.
Otorio menghela nafas. “Yah, ibumu sudah terjebak dalam lautan asmara. Matanya jadi buta. Padahal hampir semua para pemegang saham memperingatkan agar Maya tidak semudah itu memercayai Maurer. Tapi Ibumu tidak peduli. Dia diam-diam menanam modal yang sangat besar di salah satu proyek Maurer. Tapi sampai sekarang, imbas untuk Ibumu tak pernah ada. Kelihatannya Ibumu memang sudah dijebak.”
Rahang sang gadis mengeras saat Otorio meletakkan foto Maurer dan Istrinya, Rose. Baru kemudian foto Olivier dan Alicia yang lebih berhasil menyita perhatian Ruby.
“Untuk apa...Paman menunjukkan foto-foto ini.” Ruby akhirnya berani bertanya. Dengan sedikit takut-takut, ia mengambil foto Olivier.
“Olivier Alvayet. Dia adalah jantung Maurer.”
-O0O-

Tak ada alasan bagi Maurer untuk tidak kembali ke tanah air. Keinginan itu sudah masuk ke dalam agendanya. Hanya saja, Sofia Alvayet, Ibunya, mempercepat keberangkatannya ke Indonesia. Ditemani sang Istri, Rose, Maurer pulang ke Indonesia beserta sang Ibu.
Sore itu Maurer sangat bersemangat menyapa kedua anaknya yang sedang khusyuk bermain catur di teras.
“Olivier! Alicia! Ayah punya kejutan untuk kalian!”
Alicia mengamati Maurer takut-takut. Ia memberi senyum yang sedikit canggung pada sang Ayah. Bukan tanpa alasan Alicia bisa bersikap seperti ini. Sang Neneklah yang mengasuhnya sejak kecil. Sedangkan Maurer tinggal di London bersama Rose dan Olivier. Ibu dan ayahnya pulang ke tanah air tiap tiga bulan sekali.
Maurer memaklumi sikap Alicia. Karena itu, ia membalas senyum Alicia yang kaku dengan membelai kepala putrinya tersebut.
“Kejutan ?” tanya Olivier antusias.
Maurer berdeham, lalu meletakkan dua kartu undangan yang didesain begitu menarik. Tergelilitik rasa penasaran,  Alicia dan Olivier cepat-cepat membukanya.
“Ayah sudah memesan tempat untuk merayakan ulang tahun kalian di pulau Bidadari. Salah satu gugusan pulau Seribu ini tak kalah indah dari pulau-pulau lainnya di luar negeri. Ayah jamin.”
“Pulau Bidadari?” Olivier sedikit mengernyit. Sementara Alicia tersenyum sangat lebar.
Maurer lega mendapati wajah sang putri kian berseri. Syukurlah, pilihannya tak salah.
-O0O-

Evening.
Long Beach. California

Sepulangnya dari bekerja sebagai kuli, Rain langsung beristirahat di rumah kosnya yang baru. Rain menaiki tangga putar menuju kamarnya yang berada paling ujung dari deretan kamar kos sederhana.
Suara engsel pintu berkarat yang dibuka tergesa-gesa, menyentak pelan tubuh Rain. Pemuda itu lalu menoleh dengan malas ke arah suara tersebut.
Di sisi kanannya tampak Boas yang sedang berdiri di ambang pintu. Kamar mereka bersebelahan.
“Hey, Nak! Aku punya kabar bagus untukmu.”
Rain menaikkan alis. Tubuhnya berputar, menghadap sepenuhnya ke arah Boas.
“Bukankah kau ingin pulang ke Negara asalmu? Aku sudah mengurus semuanya. Kau hanya perlu berkemas. Bulan depan kita berangkat.”
Tak tahu harus bahagia atau sedih, Rain masih termangu. Keinginan untuk kembali ke tanah air sebenarnya adalah impian Mia. Sekarang gadis itu sudah meninggal. Jadi apa semua itu berarti untuknya?
Boas bisa menerka apa yang dipikirkan Rain. “Kau tenang saja, aku dan Ferry masih ada untukmu. Kau tidak sendiri. Lagipula, Mia pasti berharap kau bisa pulang ke Indonesia.”
            Rain masih menunduk, berpikir sambil mengerjap-ngerjapkan matanya dengan lambat.
            “Setibanya di Jakarta, kita akan langsung bekerja. Temanku yang ada di sana sudah merekomendasikan kita untuk bekerja di Perusahaan Alvayet. Hari pertama kita akan sangat menarik. Kita akan ke pulau Bidadari untuk mempersiapkan acara ulang tahun anak kembar Presiden Direktur.”
Rain berpikir sejenak, kemudian guratan senyum tipis tampak di wajah rupawannya. “Baiklah.”
Great...” Boas menahan senyum bahagianya.
Rain balas tersenyum. “Ada lagi?”
“Tidak,” jawab Boas mantab. Namun kemudian ia teringat sesuatu. Ia cepat-cepat menegur Rain sebelum pemuda itu masuk ke kamar.
“Aku pernah melihat anak perempuan Presiden Direktur. Aku dengar dia aktris terkenal. Kau mungkin akan betah di sana.”
Rain kembali mengangguk dengan ekspresi datar. “Ya! Pasti menyenangkan, terutama untuk Ferry.”
Setelah Rain masuk ke kamar, Boas langsung menampar mulutnya sendiri.
“Bodoh! Bodoh! Rain bukan lelaki mata keranjang! Di hatinya hanya ada Mia. Bagaimana mungkin kau mengatakan tentang gadis lain di saat dia masih berduka. Ah! Kau memang bodoh, Boas!”


Satu bulan kemudian...

Turun dari kapal, Ferry dan Rain langsung mengangkut barang-barang properti yang akan diletakkan di dalam ruang pertemuan. Di pulau Bidadari, tugas pertama mereka adalah mendekorasi ruangan untuk acara kekerabatan yang akan dihadiri oleh para pengusaha. Itu sebabnya, pemimpin pelaksana berteriak-teriak, menghimbau pada semua anak buahnya agar berhati-hati mengangkut barang-barang berat, seperti: meja, spanduk, dan rangkaian bunga besar.
Di pulau Bidadari, Maurer tak hanya mengadakan pesta untuk si kembar, tapi juga acara meeting yang akan dihadiri oleh rekan bisnis dari dalam negeri. Untuk itu, konseptor acara sudah menyusun jadwal dan mempersiapkan tempat-tempat yang akan digunakan untuk dua pesta tersebut.
Para remaja yang merayakan ulang tahun si kembar, akan banyak menguasai daerah outdoor, meliputi cottage dan area pantai. Di sana mereka akan lebih leluasa melakukan berbagai kegiatan di malam hari, misalnya bersepeda malam, pesta barbeque, menari di tengah api unggun, atau bermain kembang api di tengah jembatan yang menghubungkan cottage-cottage yang terpanggung di atas air.
Rain, Ferry, dan beberapa kawan lainnya, bekerja sama mengangkat meja panjang yang kemudian diletakkan di tengah-tengah ruangan. Setelah itu, di atasnya diletakkan kain putih, disusul kemudian vas besar berisi bunga mawar yang sudah dirangkai sedemikian cantiknya.
Saat hendak mengangkat beberapa kursi, Rain terpekur sejenak pada dua lelaki yang bersusah payah mengangkut sebuah lukisan yang dibungkus oleh kain sutra warna putih. Tak ada alasan pasti yang membuat Rain melangkah mengikuti kemana lukisan itu akan diletakkan. Ia hanya penasaran.
Di situasi lain, Maurer dan seorang rekannya sedang mengobrol sambil berjalan di tengah lorong menuju ruang pertemuan.
“Apa kau sudah mempersiapkan semuanya? Maksudku, pengamanan untuk si kembar,” ucap rekan Maurer. Wajah lelaki paruh baya itu berubah serius saat melontarkan kalimat terakhirnya.
“Pengamanan?” tanya Maurer yang kemudian berhenti dan memandang rekannya, Doglas.
“Sejak kematian Maya, kita jadi tahu musuh kita yang sebenarnya. Dia mengincar milikmu Maurer!” Lelaki itu lalu menggiring Maurer ke sudut lorong yang paling kelam.
“Pengacaraku masih berusaha mencari informasi tentang perusahaan itu. Kabar terakhir yang aku dapatkan, sebenarnya mereka.......”
Selama Doglas berbicara, Maurer mengamati sungguh-sungguh, mencermati pancaran apa yang keluar dari mata rekannya itu. Kejujuran kah? Kebohongan kah?
Di tengah percakapan, Doglas mulai menyadari aura menelisik Maurer, hingga ia pun memutuskan untuk berhenti. “Baiklah! Aku tahu. Aku harus menunjukkan bukti-bukti yang konkrit agar kau bisa menilainya sendiri. Tapi sekarang, aku hanya mengingatkan saja. Maksudku...kau harus sedikit berpikir tentang...seorang pembunuh bayaran...yang bisa saja masuk ke pesta nanti malam, kemudian...”
Maurer menghela nafas, lalu kembali berjalan, seperti ingin mengacuhkan Doglas. “Aku sudah melarang awak media datang malam ini.”
“Yah...putrimu seorang aktris!” Nada bicara Doglas terdengar kembali santai.

Sementara itu.

Rain akhirnya berhenti di depan sebuah ruangan yang cukup luas. Tak ada meja maupun kursi di sana. Tempat itu begitu lapang, seperti sengaja tidak diberi furniture. Satu-satunya objek paling menarik sekaligus mengundang rasa penasaran, hanya sebuah lukisan besar yang baru saja dipajang di sisi tembok polos bercat putih.
Rain menunggu dua lelaki yang mengangkut lukisan tersebut keluar, setelah itu ia berjalan perlahan memasuki ruangan tersebut. Tujuannya hanya mendekati lukisan yang sekarang sudah tidak tertutupi lagi oleh kain.
Langkah sepatunya menggema mengisi kekosongan interior, disusul kemudian langkah sepatu seseorang yang baru saja masuk setelah Rain.
Rain terbius oleh lukisan yang sekarang dipandangnya, sampai-sampai ia tak menyadari kehadiran orang lain. Mata cokelatnya masih terpekur ke depan. Sesekali keningnya berkerut saat berusaha menyelami arti lukisan itu.
Rain diselimuti rasa penasaran, sementara Maurer dan Doglas masih berbincang santai di lorong dingin menuju galeri.
“Kudengar kau menghadiahkan lukisan untuk si kembar?” tanya Doglas.
Maurer tersenyum sambil menjawab penuh antusias. “Yah, lukisan itu ada di ruangan khusus. Judulnya...”
Twin Moonlight...Castle.”
Tubuh Rain tersentak pelan saat mendengar suara pemuda di sampingnya. Suara itu berhasil melenyapkan hening di antara mereka.
Twin Moonlight...Castle.”
Tubuh Rain tersentak pelan saat mendengar suara pemuda di sampingnya. Suara itu berhasil melenyapkan hening di antara mereka.
Sesaat, Oliver menengok ke arah Rain, lalu mencermati kertas keterangan lukisan yang menempel di bingkai berlapis perak tersebut.
“Tadi aku melihat barang ini diangkut. Aku penasaran, jadi aku mengikutinya sampai ke sini,” sahut OlivIer.
Nampak kekontrasan wajah dua lelaki yang berdiri sejajar menatap lukisan megah yang terbentang di depan mata. Rain dengan wajah dinginnya dan Olivier yang menggebu penuh rasa ingin tahu.
“Cahaya bulan kembar menerangi sebuah kastil. Bulan kembar?” Alis hitam Olivier bertautan saat menemukan kejanggalan dalam lukisan itu. “Tapi kenapa bulannya hanya ada satu.”
“Dua bulan ibarat saudara kembar yang memiliki sisi yang berbeda. Panas dan dingin. Mereka awalnya bertarung menunjukkan eksistensi masing-masing. Tapi kemudian, mereka tak ingin hancur bersama. Mereka ingin menghangatkan sekaligus menerangi sebuah castle kokoh, tempat bernaung seorang gadis yang mereka cintai.”
Sebuah siluet kastil di tengah hutan.  Di atas langit, bernaung satu bulan yang sangat besar, hampir melingkup seisi langit. Bulan itu seolah terbagi menjadi dua, karena di sisi kanan berwarna merah seperti api yang berkobar. Sedangkan di sisi kiri berwarna biru yang beku layaknya es.
Olivier yang lama terpaku melihat lukisan itu, akhirnya kembali menoleh ke arah Rain. “Hahaha. Sepertinya kau berbakat menjadi pengarang. Atau, jangan-jangan kau pelukisnya?” tanya Olivier antusias.
Rain tersenyum miring. “Aku membacanya.”
Dengan wajah innocent, Rain memberikan kertas katalog lukisan yang tak sengaja ditemukannya di atas lantai. Katalog itu seperti dibiarkan terjatuh saat lukisan tersebut dibawa ke ruangan.                                                                 
Senyum Oliver perlahan memudar saat mengambil katalog tipis itu dari Rain. Setelah dibacanya dengan saksama, Olivier kembali tertawa. “Kau lucu sekali!”
“Kau lebih lucu!” ucap Rain, kali ini senyumnya tulus. Namun...senyum itu hanya bertahan sebentar.

Dug, dug, dug, dug.

Rain merasakan sesuatu yang buruk menggerogoti relung hatinya.Akal sehatnya tertutup. Rain merasa sedang dirasuki iblis. Bagaimana tidak? Tiba-tiba saja ia merasa tak senang melihat Olivier tersenyum. Tanpa sadar tatapannya menajam. Seperti sedang waspada dengan orang asing.
Olivier tak menyadari seseorang di samping menatapnya tak senang. Ia masih asyik membaca katalog sambil sesekali mencermati detail lukisan.
“Olivier!”
“Rain!”
Sapaan yang tiba-tiba datang dari arah pintu. Membuat kedua lelaki yang memiliki aura setara itu tersentak kaget.
Olivier dan Rain kompak berbalik. Hening total.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar