Bab 6
The sky broke like an
egg into full sunset and the water caught fire
-Pamela Hansford
Johnson-
RUBY terkesiap saat seseorang menepuk
bahunya lembut. Sebuah sapaan yang familiar menggelitik lubang telinganya.
Melenyapkan gaung suara pria yang membisikkan hal buruk. Hal yang membuatnya
terbakar amarah.
“Ruby.”
“Vira.” Ruby mengucapkan nama itu dengan menekan perasaannya.
“Akhirnya kau pulang. Kami sudah menunggu sangat lama. Kau...pasti terkejut.”
Ruby memiliki banyak pertanyaan saat berdiri di depan pagar. Namun setelah
melihat teman masa kecilnya sekaligus tangan kanan Ibunya ini, segala
pertanyaan itu terlupakan.
Vira menangis sesenggukan sambil memeluk erat tubuh Ruby. Dan saat itulah,
pikiran Ruby menjadi kosong. Gadis itu berharap ada di alam mimpi, tapi Tuhan
membuatnya terus tersadar.
Dengan langkah berat memasuki rumah, Vira mengajak Ruby duduk di sofa yang sebelumnya
tertutupi kain putih. Ruby masih membisu seperti boneka hidup, tapi ia bisa
mendengarkan suara Vira yang mulai menceritakan tentang kebangkrutan perusahaan
milik sang Ibu.
Tepat di ulang tahun Ruby yang ke dua puluh satu, sang Ibu, Maya, mengalami
krisis. Perusahaan Alvayet corporation tidak bersedia memberikan
keringanan untuk pelunasan hutang. Semua aset disita, kecuali aset milik Ruby.
Maya berjuang keras mempertahankan itu, sampai akhirnya dia kehilangan seluruh
sahamnya.
Saat Ruby meminta biaya untuk pergi ke Hawai, sebenarnya Maya sudah tidak
punya apa-apa lagi. Ia menyerahkan sisa harta yang ia punya, dengan harapan
setelah Ruby pulang, masalah akan beres. Ia akan berusaha meminjam uang di Bank
sebelum putri semata wayangnya pulang. Tapi ternyata tidak berhasil.
“Ada apa dengan ponselmu? Kau sengaja mematikannya? Kau ingin menunjukkan
pada Ibumu kalau kau masih marah?”
Ruby masih membisu.
“Kondisi Bibi sangat memprihatinkan. Dia membutuhkanmu, tapi kau tidak ada.
Saat kami berusaha mencarimu, Bibi melarang. Dia bilang...‘biarkan anakku
bersenang-senang, jangan membuat dia khawatir’. Dan akhirnya...Bibi―” Suara
parau di akhir kalimat Vira membuat Ruby menaikkan dagu, lalu menatap Vira
lekat.
Vira tidak melanjutkan kalimatnya, hingga membuat emosi Ruby meluap.
Guratan-guratan kemarahan tampak jelas di wajahnya. Nafasnya mulai tersengal. Cepat
katakan saja! pintanya pada Vira dalam hati. Tapi di sisi lain, di sudut
hatinya yang paling dalam, ia tahu apa yang akan dikatakan Vira.
Ibunya meninggal.
-O0O-
Di malam yang sama.
Mobil Olivier berderu
melewati pintu utama, lalu masuk ke area parkir. Alicia yang melihat dari
balkon kamar, buru-buru bercermin, menata rambutnya, lalu tersenyum sambil
bergaya.
Ya. Demi tinggal bersama saudara kembarnya, Alicia nekat melawan sang Nenek
yang tidak mengijinkannya pulang ke Indonesia. Lagipula, ada apa dengan
Neneknya itu? Apa salahnya jika kakak beradik tinggal bersama?
Alicia kabur dari Sofia Alvayet dan wanita paruh baya itu dibuat uring-uringan.
Sang Nenek terpaksa menghubungi kepala pelayan di rumah besar mereka untuk mengurus
semua kebutuhan Alicia karena gadis itu pergi dari California secara mendadak
Sesampainya di rumah, Alicia terkejut saat kepala pelayan beserta seluruh
anak buahnya menyambut dengan antusias. Seolah tak dibiarkan merasa bingung
sedikit pun, Kepala pelayan yang umurnya sudah setengah abad, Bibi Carmen,
membimbing Alicia ke kamarnya dan menjelaskan semua aturan yang ada di rumah
mereka.
Ada banyak sekali peraturan mengenai etika dan tak satupun berhasil melekat
di ingatan Alicia, sampai akhirnya kedatangan Olivier membuatnya ingat satu
aturan. Batas jam pulang malam adalah sampai pukul 11. Sedangkan Olivier
melampaui satu jam. Bukan bermaksud ingin mengadili Olivier, Alicia hanya ingin
menemukan satu topik untuk mengawali percakapannya dengan saudara kembarnya
nanti.
...
“Oh my God! Kau sedang apa Alicia?” Gadis itu mengerjap kuat. Berulang kali
ia menaikkan satu alisnya, menatap penuh curiga sosok di dalam cermin itu.
Seolah ingin mencari sesuatu yang aneh pada dirinya.
Suara langkah Oliver berderap
menaiki tangga berhasil memukul-mukul dada Alicia.
“Come on, Alicia! Oliver is your brother! Ok! Fix?!”
Pintu fyberglass diketuk beberapa kali. Suara Olivier yang merdu
menyapanya. Suara itu terdengar seperti ancaman agar Alicia segera
menyembunyikan diri.
“Alicia, kau di dalam?!” Olivier terdiam menunggu jawaban. Sesaat tak ada
sahutan, ia membuka pintu. Pandangannya beredar keseluruh sudut interior kamar
yang bergaya shabby chic. Wajahnya sedikit silly saat tak
mendapati sang adik di sana.
(shabby chic:
Desain interior yang memiliki tampilan klasik namun elegan. Memiliki karakter tone
warna yang rendah, lebih ke arah memutih dan lembut. Furniture yang dipakai
berupa benda ukiran, berenda, bermotif bunga yang berwarna pudar sehingga
terlihat antik).
“Alicia, aku membawakanmu sushi. Kata nenek, ini makanan
kesukaanmu.”
Alicia mendengar hal itu dari kolong ranjangnya. ‘Sushi’ adalah kata yang menjadi
alasannya untuk menggeser tubuhnya perlahan keluar dari kolong. Tak ada pilihan selain menampakkan diri
sambil meringis.
“Oh, sushi?! I love sushi...so..much!” Alicia berseru sambil menepuk tangannya
keras-keras.
Olivier terlonjak kaget. Namun tak lama, seringai manis membingkai wajahnya
yang luar biasa tampan.
Alicia merasa bahwa kegugupan dan kebahagiaannya meluap. Perasaan berkecamuk itu tertuang dalam guratan senyum
yang akhirnya terlihat dipaksakan. Olivier melihat hal itu dengan jelas, karena
ia pun merasaka kegugupan yang sama. Perasaan yang sederhana itu, menjadi
terasa aneh.
Diselimuti rasa canggung yang amat tebal, keduanya makan sushi
bersama di taman. Mereka duduk di hamparan rumput hijau sambil melihat empat
bintang yang menggantung indah di langit malam.
Alicia menelisik, bintang mana yang paling benderang. Dan saat ia menengok
ke sisi kanannya, bintang yang paling terang itu ternyata ada di sana. Bintang
itu sedang mendongak sambil tersenyum.Matanya bulat dan lentik. Alis hitamnya
yang tebal sering kali menggelitik Alicia untuk menyentuhnya dengan satu jari.
Bintang itu Olivier.
“Ajari aku naik sepeda!” Alicia berusaha melenyapkan rasa canggung di
antara mereka.
“Hm?” Olivier diam sejenak sambil mengangkat alis.
“Tidak ada yang mengajariku naik sepeda.” Alicia cepat-cepat menunduk saat
Oliver menatapnya.
Olivier tertawa mendengar jawaban polos itu. Lesung pipinya muncul
sempurna. Ia pandang Alicia lekat.
Alicia menghela nafas panjang beberapa kali sambil melihat ke atas.
Perasaan tak lazimnya pada Olivier bak selimut tebal yang kini membelit ketat
tubuhnya.
“Oh, Tuhan!” Dalam hati Alicia merintih.
Senyum Olivier memudar melihat pundak Alicia gemetar. Dan entah mengapa, ia
langsung tahu bahwa Alicia sedang menangis.
“Kau, merindukanku?” tanya Olivier lembut. Perasaan aneh hinggap seiring
dengan tatapannya yang terus berpalung dalam pada gadis berwajah rupawan di
sisinya ini.
Tak ada jawaban dari bibir Alicia yang gemetar menahan tangis. Tapi dalam
hati, gadis ini menjawab, “Lebih dari yang kau bayangkan.”
“Kau...percaya diri sekali!” Alicia menyeka cepat air matanya lalu memukul
pelan lengan Aiden sambil memberengut.
Olivier menghela nafas. “Baiklah, mulai sekarang, kita tidak akan terpisah.
Aku akan tinggal di sini, menjagamu.”
Olivier memegang kedua bahu Alicia dengan gugup, lalu memutar tubuh gadis
itu menghadap ke arahnya.
Seketika, tangis Alicia pecah di depan Olivier.
“Ah...ada apa denganku? Sungguh...aku bukan gadis cengeng. Aku tidak pernah
seperti ini sebelumnya. Assss..sial!” Alicia merutuki dirinya sendiri sambil
sibuk menyeka air matanya yang terus menetes.
Olivier tak kuasa menahan hasratnya untuk memeluk saudara kembarnya ini. Ia
menarik pelan Alicia, membimbing kepala gadis itu ke pundaknya. Perlahan-lahan,
ia menepuk punggung Alicia untuk menenangkan gadis itu.
“Ah...tanganku bergerak sendiri,” katanya.
Alicia tersenyum di pundak Olivier. Pundak itu memberinya ketenangan.
Namun, mendadak sekelebat memori kala ia memeluk seorang pemuda berambut auburn−berpendar
jelas dalam ingatan. Wajah pemuda itu amat jelas.
Alicia terkesiap. Ia melepaskan diri dari pelukan Olivier, lalu
mengerjapkan mata beberapa kali untuk mengusir kenangan itu.
“Ada apa?”
Alicia menelengkan kepala. “Tidak. Hanya teringat sesuatu,” jawabnya kaku.
-O0O-
-Morning-
Long Beach. California
Suara kapal-kapal yang
berlabuh, ombak, dan kicauan burung-burung camar di sore hari, membawa udara
khas California yang membuat Rain tenggelam dalam diam. Di sampingnya ada lebih
dari lima kaleng minuman bersoda yang sudah kosong. Sekarang di tangannya masih
ada satu kaleng terakhir. Minuman itu sedang diteguknya pelan-pelan.
Dalam keheningan yang mencekam, tiba-tiba sebuah suara dari masa lalu
muncul, menggema di telinganya, menggantikan suara deru ombak yang cukup keras.
Suara itu milik Alicia. Rain tersentak pelan saat menyadari hal tersebut. Ia
lalu memandang telapak tangannya yang seperti menyimpan sebuah emosi.
“Aku mau hidup...aku mau hidup.”
Rain mengerjap lebih kuat. Suara Alicia makin tenggelam di antara hela
nafasnya. Dengan mata terpejam, Rain merasakan kehangatan Alicia yang
tertinggal di telapak tangannya. Pelukan Alicia waktu itu, ternyata tidak
membebaninya.
Ketika matanya terbuka, Rain menyadari sesuatu. Ia merasa Alicia bukan
orang asing. Mereka seperti pernah bertemu sejak lama, sama seperti ia mengenal
Mia.
“Mungkinkah? Dia..Alicia?” Pertanyaan Rain menggema dalam pikirannya
sendiri.
-O0O-
Jakarta
08.23 pm
Ruby masuk ke kamar
sang ibu. Kamar yang paling besar dari seluruh kamar yang ada, sekarang
ditutupi kain-kain putih. Banyak debu di sana, membuat udara jadi pengap.
Satu-satunya penerangan hanya dari cahaya bulan yang menyusup di celah-celah
tirai.
“Ibu, aku sudah pulang. Kau dimana, Bu?” tanya Ruby dalam hatinya.
Waktu begitu kejam, tidak akan mau kembali pada Ruby yang hanya ingin minta
maaf pada ibunya. Hal itulah yang terus menyiksa Ruby. Membuat nafasnya terus
memburu. Membuat tubuhnya gemetaran saat menatap foto dirinya dan sang ibu yang
masih terbingkai indah di atas meja kerja. Foto itu bukan saat mereka memakai
pakaian mahal. Tapi saat dirinya masih sangat kecil dan Maya menggendongnya.
Mereka sama-sama memakai pakaian sederhana. Dan dari situ lah, Ruby sadar.
Begitu banyak hal yang sudah dilakukan Maya sebagai single mother
“Ibu...Ibu..Ruby rindu Ibu,” jerit gadis itu dalam hati. Didekapnya
bingkai foto itu di dadanya sambil menangis pilu.
Sebelum pergi ke Hawai, Ruby dan Maya bertengkar hebat. Karena itu Ruby
tidak sempat mencium tangan Ibunya. Hal itu yang memukul gadis itu. Membuatnya
terus menangis sendirian di sudut paling kelam di kamar itu.
Permohonan maaf yang tak sempat terucap.
...
Seminggu kemudian.
Seorang lelaki paruh baya berpakaian formal menemui Ruby. Lelaki itu
memperkenalkan diri sebagai partner kerja Maya, Otorio Van Gock. Tanpa
memedulikan Ruby yang masih berduka, lelaki itu menceritakan masalah yang
dialami Maya. Bagaimana wanita yang tangguh itu akhirnya tunduk pada seorang
Maurer Alvayet, Presiden Direktur dari Alvayet corporation.
Otorio menggambarkan Maurer Alvayet sebagai pengusaha bertangan dingin.
Hatinya sekeras baja. Karena itu, ia tidak mengabulkan permohonan Maya yang
ingin mengajukan perpanjangan tanggal pelunasan hutang. Tak hanya itu, Otorio
juga menguraikan hubungan asmara yang sempat terjadi antar dua pengusaha
tersebut.
Kening Ruby berkerut. Bibirnya kaku sampai tak mampu berucap.
Otorio menghela nafas. “Yah, ibumu sudah terjebak dalam lautan asmara. Matanya
jadi buta. Padahal hampir semua para pemegang saham memperingatkan agar Maya
tidak semudah itu memercayai Maurer. Tapi Ibumu tidak peduli. Dia diam-diam
menanam modal yang sangat besar di salah satu proyek Maurer. Tapi sampai
sekarang, imbas untuk Ibumu tak pernah ada. Kelihatannya Ibumu memang sudah
dijebak.”
Rahang sang gadis mengeras saat Otorio meletakkan foto Maurer dan Istrinya,
Rose. Baru kemudian foto Olivier dan Alicia yang lebih berhasil menyita
perhatian Ruby.
“Untuk apa...Paman menunjukkan foto-foto ini.” Ruby akhirnya berani
bertanya. Dengan sedikit takut-takut, ia mengambil foto Olivier.
“Olivier Alvayet. Dia adalah jantung Maurer.”
-O0O-
Tak ada alasan bagi
Maurer untuk tidak kembali ke tanah air. Keinginan itu sudah masuk ke dalam agendanya.
Hanya saja, Sofia Alvayet, Ibunya, mempercepat keberangkatannya ke Indonesia.
Ditemani sang Istri, Rose, Maurer pulang ke Indonesia beserta sang Ibu.
Sore itu Maurer sangat bersemangat menyapa kedua anaknya yang sedang
khusyuk bermain catur di teras.
“Olivier! Alicia! Ayah punya kejutan untuk kalian!”
Alicia mengamati Maurer takut-takut. Ia memberi senyum yang sedikit
canggung pada sang Ayah. Bukan tanpa alasan Alicia bisa bersikap seperti ini.
Sang Neneklah yang mengasuhnya sejak kecil. Sedangkan Maurer tinggal di London
bersama Rose dan Olivier. Ibu dan ayahnya pulang ke tanah air tiap tiga bulan
sekali.
Maurer memaklumi sikap Alicia. Karena itu, ia membalas senyum Alicia yang
kaku dengan membelai kepala putrinya tersebut.
“Kejutan ?” tanya Olivier antusias.
Maurer berdeham, lalu meletakkan dua kartu undangan yang didesain begitu
menarik. Tergelilitik rasa penasaran, Alicia dan Olivier cepat-cepat
membukanya.
“Ayah sudah memesan tempat untuk merayakan ulang tahun kalian di pulau
Bidadari. Salah satu gugusan pulau Seribu ini tak kalah indah dari pulau-pulau
lainnya di luar negeri. Ayah jamin.”
“Pulau Bidadari?” Olivier sedikit mengernyit. Sementara Alicia tersenyum
sangat lebar.
Maurer lega mendapati wajah sang putri kian berseri. Syukurlah, pilihannya
tak salah.
-O0O-
Evening.
Long Beach. California
Sepulangnya dari
bekerja sebagai kuli, Rain langsung beristirahat di rumah kosnya yang baru.
Rain menaiki tangga putar menuju kamarnya yang berada paling ujung dari deretan
kamar kos sederhana.
Suara engsel pintu berkarat yang dibuka tergesa-gesa, menyentak pelan tubuh
Rain. Pemuda itu lalu menoleh dengan malas ke arah suara tersebut.
Di sisi kanannya tampak Boas yang sedang berdiri di ambang pintu. Kamar
mereka bersebelahan.
“Hey, Nak! Aku punya kabar bagus untukmu.”
Rain menaikkan alis. Tubuhnya berputar, menghadap sepenuhnya ke arah Boas.
“Bukankah kau ingin pulang ke Negara asalmu? Aku sudah mengurus semuanya.
Kau hanya perlu berkemas. Bulan depan kita berangkat.”
Tak tahu harus bahagia atau sedih, Rain masih termangu. Keinginan untuk
kembali ke tanah air sebenarnya adalah impian Mia. Sekarang gadis itu sudah
meninggal. Jadi apa semua itu berarti untuknya?
Boas bisa menerka apa yang dipikirkan Rain. “Kau tenang saja, aku dan Ferry
masih ada untukmu. Kau tidak sendiri. Lagipula, Mia pasti berharap kau bisa
pulang ke Indonesia.”
Rain masih menunduk, berpikir sambil mengerjap-ngerjapkan matanya dengan
lambat.
“Setibanya di Jakarta, kita akan langsung bekerja. Temanku yang ada di sana
sudah merekomendasikan kita untuk bekerja di Perusahaan Alvayet. Hari pertama
kita akan sangat menarik. Kita akan ke pulau Bidadari untuk mempersiapkan acara
ulang tahun anak kembar Presiden Direktur.”
Rain berpikir sejenak, kemudian guratan senyum tipis
tampak di wajah rupawannya. “Baiklah.”
“Great...” Boas menahan senyum
bahagianya.
Rain balas tersenyum. “Ada lagi?”
“Tidak,” jawab Boas mantab. Namun kemudian ia teringat sesuatu. Ia
cepat-cepat menegur Rain sebelum pemuda itu masuk ke kamar.
“Aku pernah melihat anak perempuan Presiden Direktur. Aku dengar dia aktris
terkenal. Kau mungkin akan betah di sana.”
Rain kembali mengangguk dengan ekspresi datar. “Ya! Pasti menyenangkan,
terutama untuk Ferry.”
…
Setelah Rain masuk ke kamar, Boas langsung menampar mulutnya sendiri.
“Bodoh! Bodoh! Rain bukan lelaki mata keranjang! Di hatinya hanya ada Mia.
Bagaimana mungkin kau mengatakan tentang gadis lain di saat dia masih berduka.
Ah! Kau memang bodoh, Boas!”
Satu bulan kemudian...
Turun dari kapal, Ferry dan Rain langsung
mengangkut barang-barang properti yang akan diletakkan di dalam ruang
pertemuan. Di pulau Bidadari, tugas pertama mereka adalah mendekorasi ruangan
untuk acara kekerabatan yang akan dihadiri oleh para pengusaha. Itu sebabnya,
pemimpin pelaksana berteriak-teriak, menghimbau pada semua anak buahnya agar
berhati-hati mengangkut barang-barang berat, seperti: meja, spanduk, dan
rangkaian bunga besar.
Di pulau Bidadari, Maurer tak hanya mengadakan pesta untuk si kembar, tapi
juga acara meeting yang akan dihadiri oleh rekan bisnis dari dalam
negeri. Untuk itu, konseptor acara sudah menyusun jadwal dan mempersiapkan
tempat-tempat yang akan digunakan untuk dua pesta tersebut.
Para remaja yang merayakan ulang tahun si kembar, akan banyak menguasai
daerah outdoor, meliputi cottage dan area pantai. Di sana mereka
akan lebih leluasa melakukan berbagai kegiatan di malam hari, misalnya
bersepeda malam, pesta barbeque, menari di tengah api unggun, atau
bermain kembang api di tengah jembatan yang menghubungkan cottage-cottage
yang terpanggung di atas air.
Rain, Ferry, dan beberapa kawan lainnya, bekerja sama mengangkat meja
panjang yang kemudian diletakkan di tengah-tengah ruangan. Setelah itu, di
atasnya diletakkan kain putih, disusul kemudian vas besar berisi bunga mawar
yang sudah dirangkai sedemikian cantiknya.
Saat hendak mengangkat beberapa kursi, Rain terpekur sejenak pada dua
lelaki yang bersusah payah mengangkut sebuah lukisan yang dibungkus oleh kain
sutra warna putih. Tak ada alasan pasti yang membuat Rain melangkah mengikuti
kemana lukisan itu akan diletakkan. Ia hanya penasaran.
…
Di situasi lain, Maurer dan seorang rekannya sedang mengobrol sambil
berjalan di tengah lorong menuju ruang pertemuan.
“Apa kau sudah mempersiapkan semuanya? Maksudku, pengamanan untuk si
kembar,” ucap rekan Maurer. Wajah lelaki paruh baya itu berubah serius saat
melontarkan kalimat terakhirnya.
“Pengamanan?” tanya Maurer yang kemudian berhenti dan memandang rekannya,
Doglas.
“Sejak kematian Maya, kita jadi tahu musuh kita yang sebenarnya. Dia
mengincar milikmu Maurer!” Lelaki itu lalu menggiring Maurer ke sudut lorong
yang paling kelam.
“Pengacaraku masih berusaha mencari informasi tentang perusahaan itu. Kabar
terakhir yang aku dapatkan, sebenarnya mereka.......”
Selama Doglas berbicara, Maurer mengamati sungguh-sungguh, mencermati
pancaran apa yang keluar dari mata rekannya itu. Kejujuran kah? Kebohongan kah?
Di tengah percakapan, Doglas mulai menyadari aura menelisik Maurer, hingga
ia pun memutuskan untuk berhenti. “Baiklah! Aku tahu. Aku harus menunjukkan
bukti-bukti yang konkrit agar kau bisa menilainya sendiri. Tapi sekarang, aku
hanya mengingatkan saja. Maksudku...kau harus sedikit berpikir
tentang...seorang pembunuh bayaran...yang bisa saja masuk ke pesta nanti malam,
kemudian...”
Maurer menghela nafas, lalu kembali berjalan, seperti
ingin mengacuhkan Doglas. “Aku sudah melarang awak media datang malam ini.”
“Yah...putrimu seorang aktris!” Nada bicara Doglas terdengar kembali
santai.
…
Sementara itu.
Rain akhirnya berhenti di depan sebuah ruangan yang cukup luas. Tak ada
meja maupun kursi di sana. Tempat itu begitu lapang, seperti sengaja tidak
diberi furniture. Satu-satunya objek paling menarik sekaligus mengundang
rasa penasaran, hanya sebuah lukisan besar yang baru saja dipajang di sisi
tembok polos bercat putih.
Rain menunggu dua lelaki yang mengangkut lukisan tersebut keluar, setelah
itu ia berjalan perlahan memasuki ruangan tersebut. Tujuannya hanya mendekati
lukisan yang sekarang sudah tidak tertutupi lagi oleh kain.
Langkah sepatunya menggema mengisi kekosongan interior, disusul kemudian
langkah sepatu seseorang yang baru saja masuk setelah Rain.
Rain terbius oleh lukisan yang sekarang dipandangnya, sampai-sampai ia tak
menyadari kehadiran orang lain. Mata cokelatnya masih terpekur ke depan.
Sesekali keningnya berkerut saat berusaha menyelami arti lukisan itu.
Rain diselimuti rasa penasaran, sementara Maurer dan Doglas masih berbincang
santai di lorong dingin menuju galeri.
…
“Kudengar kau menghadiahkan lukisan untuk si kembar?” tanya Doglas.
Maurer tersenyum sambil menjawab penuh antusias. “Yah, lukisan itu ada di
ruangan khusus. Judulnya...”
“Twin Moonlight...Castle.”
Tubuh Rain tersentak pelan saat mendengar suara pemuda di sampingnya. Suara
itu berhasil melenyapkan hening di antara mereka.
“Twin Moonlight...Castle.”
Tubuh Rain tersentak pelan saat mendengar suara pemuda di sampingnya. Suara
itu berhasil melenyapkan hening di antara mereka.
Sesaat, Oliver menengok ke arah Rain, lalu mencermati kertas keterangan
lukisan yang menempel di bingkai berlapis perak tersebut.
“Tadi aku melihat barang ini diangkut. Aku penasaran, jadi aku mengikutinya
sampai ke sini,” sahut OlivIer.
Nampak kekontrasan wajah dua lelaki yang berdiri sejajar menatap lukisan
megah yang terbentang di depan mata. Rain dengan wajah dinginnya dan Olivier
yang menggebu penuh rasa ingin tahu.
“Cahaya bulan kembar menerangi sebuah kastil. Bulan kembar?” Alis hitam
Olivier bertautan saat menemukan kejanggalan dalam lukisan itu. “Tapi kenapa
bulannya hanya ada satu.”
“Dua bulan ibarat saudara kembar yang memiliki sisi yang berbeda. Panas dan
dingin. Mereka awalnya bertarung menunjukkan eksistensi masing-masing. Tapi
kemudian, mereka tak ingin hancur bersama. Mereka ingin menghangatkan sekaligus
menerangi sebuah castle kokoh, tempat bernaung seorang gadis yang mereka
cintai.”
Sebuah siluet kastil di tengah hutan. Di atas langit, bernaung satu
bulan yang sangat besar, hampir melingkup seisi langit. Bulan itu seolah
terbagi menjadi dua, karena di sisi kanan berwarna merah seperti api yang
berkobar. Sedangkan di sisi kiri berwarna biru yang beku layaknya es.
Olivier yang lama terpaku melihat lukisan itu, akhirnya kembali menoleh ke
arah Rain. “Hahaha. Sepertinya kau berbakat menjadi pengarang. Atau,
jangan-jangan kau pelukisnya?” tanya Olivier antusias.
Rain tersenyum miring. “Aku membacanya.”
Dengan wajah innocent, Rain memberikan kertas katalog lukisan yang
tak sengaja ditemukannya di atas lantai. Katalog itu seperti dibiarkan terjatuh
saat lukisan tersebut dibawa ke
ruangan.
Senyum Oliver perlahan memudar saat mengambil katalog tipis itu dari Rain. Setelah
dibacanya dengan saksama, Olivier kembali tertawa. “Kau lucu sekali!”
“Kau lebih lucu!” ucap Rain, kali ini senyumnya tulus. Namun...senyum itu
hanya bertahan sebentar.
Dug, dug, dug, dug.
Rain merasakan sesuatu
yang buruk menggerogoti relung hatinya.Akal sehatnya tertutup. Rain merasa
sedang dirasuki iblis. Bagaimana tidak? Tiba-tiba saja ia merasa tak senang
melihat Olivier tersenyum. Tanpa sadar tatapannya menajam. Seperti sedang
waspada dengan orang asing.
Olivier tak menyadari seseorang di samping menatapnya tak senang. Ia masih
asyik membaca katalog sambil sesekali mencermati detail lukisan.
“Olivier!”
“Rain!”
Sapaan yang tiba-tiba datang dari arah pintu. Membuat kedua lelaki yang
memiliki aura setara itu tersentak kaget.
Olivier dan Rain kompak berbalik. Hening total.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar