Jumat, 10 Juli 2015

Bab 7



Bab 7

When the fire and the ice was destroyed


RAIN...

Pria itu tak pernah menyadari bahwa sebuah nama ternyata sungguh berharga. Perasaan bahagia diyakininya muncul untuk pertama kali saat seseorang selain ibunya dan Mia, memanggil namanya. Rain.
Sungguhkah aku baik-baik saja? tanyanya dalam hati.
Merasa ada yang janggal, Rain berpikir kembali. Ternyata bukan itu. Bukan karena mendengar namanya.
Ketika Rain mulai mengangkat dagunya kembali, manik kembarnya menatap tajam seseorang yang berdiri di sampingnya. Olivier. Pria yang memiliki senyum memukau. Pria yang ramah, tapi Rain tidak menyukainya dengan alasan yang sama sekali tak ia mengerti.
Dalam diam, ia mulai mengetahui sesuatu. Pandangannya mulai beredar ke asal suara bariton yang membuatnya dan Olivier terkesiap.
Suara orang itu yang memanggil nama Olivier. Suara yang mampu membeguk keras punggungnya dan membuatnya ingin mengeluarkan air mata. Rasa itu muncul tiba-tiba dan melambung sangat tinggi.
Di ambang pintu besar berukiran emas, tampak Ferry dan dua orang pria paruh baya berdiri tercenung menatap mereka. Hening. Seluruh atmosfer ruangan seakan terbelenggu kabut tebal. Semua menjadi serba abu-abu.
Ferry membungkuk kikuk pada kedua lelaki paruh baya yang seketika itu mengerjap-ngerjapkan mata, seolah baru tersadar dari lamunan yang panjang.
Sesaat lalu, mereka memanggil  Olivier dan Rain bersamaan. Teringat hal itu, tawa Maurer pun pecah, disusul rekannya Doglas dan disambut dengan senyum kikuk Ferry.
“Kebetulan sekali. Tuan,” celetuk Ferry.
“Ya, tidak apa-apa,” sahut Maurer kemudian melangkah ke dalam beriringan dengan Doglas. “Putraku di sana, biar kuperkenalkan kau pada...”
Ucapan Maurer sengaja dipotong Doglas. “Tunggu, biar kutebak!”
Doglas berjalan lebih dulu mendekati Rain dan Olivier, mengiringi senyum penasaran yang tersungging di bibir Maurer.
“Olivier Alvayet,” Doglas menepuk bahu pria muda yang diyakininya sebagai putra Maurer, lalu ia berbalik ke belakang, menyunggingkan senyum percaya diri pada sahabatnya.
“...”
Suasana kembali beku. Perasaan asing membuat denyut nadi Maurer menjadi kuat. Garis-garis wajahnya menjadi kaku tanpa ia sadari. Butuh waktu untuk membuang perasaan aneh itu dan kembali bersikap normal.
“Hey, ini Putraku.” Maurer menepuk bahu Olivier.
Doglas terkejut bukan kepalang. Sesaat ia membisu, tersihir sosok Rain. Lalu...
“Benarkah?!” pekik Doglas. “Wooaah, sulit dipercaya. Kalau begitu, maaf! Aku merasa, pria muda ini juga mirip denganmu.”
“Permisi.” Terusik di tengah orang-orang asing, Rain berlalu begitu saja melewati Maurer.
Sempat saling memandang, kedua pria itu sama-sama menengelamkan perasaan aneh yang muncul di benak masing-masing. Perasaan aneh yang mengatakan mereka seperti sedang bercermin.
Sepasang manik kembar dengan warna sama, cokelat tanah yang berkilat misterius. Cara memandang yang sama, penuh kewaspadaan pada orang yang baru ditemui. Kesamaan membuat kedua rasa berbenturan. Seperti dua kutub sejenis yang mustahil disatukan.
“Maaf, sepertinya aku sangat mengecewakan Paman,” Olivier  menyeringai jail.
Doglas tersentak setelah sempat tercenung kembali saat Rain meninggalkan mereka. “Ah, ya! Aku yang seharusnya minta maaf. Pemuda itu, mirip Ayahmu. Seandainya kalian bersaudara...”
Maurer sengaja menutupi kerisauannya dengan terseyum ketika mata Doglas berbinar meminta persetujuan darinya.
-O0O-

Turun dari kapal, Alicia terburu-buru menuju float room. Langkahnya makin tergesa-gesa melewati jembatan yang menghubungkan cottage satu dengan cottage lainnya di tengah laut.
Sesekali gadis itu menengok dari balik bahunya, menatap penuh waspada, seolah ingin memastikan seseorang tidak menguntitnya. Berhasil masuk ke kamar, Alicia tak sempat bernafas lega karena seekor serangga membuatnya berteriak ketakutan. Secepat kilat ia kembali keluar dari kamar.
“Kecoaakkk !!!”
Demi menghindari seekor kecoak yang tiba-tiba terbang mendekatinya, Alicia nekat loncat dari pagar jembatan kayu dan terjun ke laut.
Tak bisa bernafas dalam air, Alicia mulai menyadari perbuatan bodohnya. Yeah. Alicia tidak pernah bisa berenang,
“Oh, Tuhan! Aku tak ingin mati sekarang. Tolong aku...Oli!”
...
Sebuah sinar muncul dari permukaan. Alicia berusaha keras membuka matanya demi melihat siapa yang baru saja mengoyak permukaan laut dan masuk ke dalam. Oli kah?
Samar-samar terlihat sosok seorang gadis. Tangannya menarik kuat tangan Alicia hingga tubuhnya berhasil naik ke permukaan.
Brush.
-O0O-

            “Ayo masuk!” Ruby membuka pintu lebar-lebar untuk Alicia.
“Ini kamarku anyway, kenapa dia yang harus membukakan pintu dan menyuruhku masuk?! batin Alicia menggerutu. “Alright, kuakui gadis mungil ini sangat hebat. Dia yang dikirim Tuhan untuk menyelamatkanku, bukan Oli kembaranku. Tapi entah mengapa aku sedikit tidak suka padanya.”
“Ah, kecoak berpita merah itu?! Aku melihatnya sedang berjalan di atas jembatan setelah kau loncat. Jadi...tidak ada kecoak di sini.”
            Benarkan? Sudah kuduga selera humor gadis ini sangat rendah. “Hoho...benarkah? Syukurlah dia baik-baik saja. Kalau dia masih di sini, nyawanya mungkin sudah melayang, karena aku pasti akan langsung menginjaknya,”  balas ketus Alicia. “Anyway, siapapun kau, terima kasih sudah menolongku. “Alicia memasuki kamarnya dengan tangan melipat di dada.
“Ruby,” jawab gadis berparas ayu khas pribumi itu seraya mengukurkan tangan. “Aku baru bekerja di sini.”
“Ohya? Sebagai apa?”
“Pelayan pribadi Saudara kembar Anda, Tuan Olivier,” jawab Ruby menaikkan pundak sekilas.
Hoh?! Apa katanya tadi? Pe-la-yan pri-ba-di Olivier? Kembali Alicia menggerutu dalam hati. Jantungnya nyaris melompat keluar.
Akhir-akhir ini Alicia merasa dirinya terjangkit penyakit brother complex. Itu sebabnya, ia terpukul mendengar sang kakak mempunyai pelayan pribadi. Ia cemburu.
“Ruby, ya? Mmm...nama yang bagus..” Alicia melenggang santai melewati Ruby dan membiarkan tangan gadis itu menggantung hampa di udara.
Ruby tersenyum pahit mendapati Alicia mengacuhkannya dan masuk ke kamar mandi.
“Pakailah! Jangan sampai kau sakit!”
Ruby tercenung sejenak, lalu mengambil handuk yang disodorkan Alicia padanya.
“Maaf, sebelum kau ke sini, Nyonya Lana memintaku memeriksa kamar Anda. Aku sempat membuka kotak di meja itu. Aku pikir itu barang yang tertinggal dari seseorang yang menginap di sini sebelumnya. Tapi ternyata, itu milikmu. Kartu ucapannya, ditujukan untuk Alicia Alvayet,” ucap Ruby.
“Oh ya?” Alicia cepat-cepat menghampiri meja riasnya. Ia baca kertas ucapan yang terselip di bawah kotak. Itu tulisan Maurer. Menyeringai lebar, Alicia membuka hadiah dari sang Ayah dengan antusias.
Sebuah kalung emas putih yang ditaburi beberapa jenis batu permata berpose di dalam kotak. Kesannya begitu mewah dan elegan. Bentuknya tidak biasa. Mirip seperti sebuah sulur yang memenjarakan batu permata rubi dengan cahayanya yang berwarna merah menyala. Sangat memesona.
“Anda akan memakainya saat pesta nanti malam?” tanya Ruby. Nada suaranya terdengar dalam dan dingin.
Alicia memicingkan mata dengan cepat. “Bagaimana kau tahu soal ulang tahunku? Apa jangan-jangan, kau...salah satu fans yang berpura-pura sebagai seorang pelayan?”
Senyum ringan tersungging di wajah Ruby. “Oh, jadi Anda mengendap-endap kesini tadi karena ingin menghindari pers dan fans?”
“Whatever,” jawab Alicia sambil lalu. “Ohya, karena kau pelayan pribadi Olivier, mungkin kita akan sering bertemu. Kau tahu, aku sangat akrab dengan saudara kembarku. Jadi, mulai sekarang jangan bicara terlalu formal padaku. Lagipula, sepertinya kita sebaya.”
            “Baik,” jawab Ruby tersenyum lembut.
Sesaat, Alicia melihat Ruby intens. Berusaha berpikir jernih, Alicia akhirnya menemukan alasan rasional mengapa ia tak perlu merasa cemburu.
Ruby tak bisa dibandingkan dengan dirinya. Menelisik dari segi fisik dan status, Ruby kalah telak.  Ruby gadis biasa. Tubuhnya mungil, pendek, dan tidak seksi. Tapi tetap saja, senyum gadis itu lumayan manis. Alicia ragu jika Olivier akan berpaling dari senyum itu.
“Aku akan memakainya nanti malam,” Alicia mengayunkan kalungnya tepat di depan wajah sayu Ruby.
-O0O-

Olivier mencoba semua fasilitas olahraga yang ada di pulau Bidadari, mulai dari snorkeling, banana boat, sampai jetski. Selama melakukan aktivitas tersebut, Rowl selalu setia mendampingi, kecuali saat Olivier mengajaknya bertanding jetski.
Guratan kekecewaan terlukis di wajah si pria berdimple. Ia belum menemukan orang yang tepat untuk menggantikan Rowl. Banyak pengunjung berlalu-lalang, tapi mereka nampak sibuk sendiri. Sampai kemudian, muncul dua pemuda yang sedang berjalan mendekati tepi pantai.
Mata Olivier memicing tajam ke arah Rain yang sudah memakai jaket pelampung. Sepertinya pemuda itu siap menaiki salah satu kendaraan air yang sudah menganggur cukup lama di tepi pantai.
“Rain!” seru Olivier ketika Rain baru saja melewatinya.
Rain menoleh dari balik bahu sambil mengernyit. Ia tahu pemuda itu sebaik Olivier mengetahui dirinya.
“Kau ingat? Twin Moonlight Castle.”
“Ya, aku ingat,” jawab Rain dingin.
“Kebetulan sekali, kau mau naik jetski? Kau....mau bertanding denganku?”
Rain mengernyit makin dalam mendengar tantangan yang tiba-tiba itu. “Maaf, aku di sini untuk bekerja. Tadi aku naik perahu untuk memancing ikan. Dan, ikan-ikan itu harus segera−“
“Aku akan menyuruh orang lain  melakukannya.” Olivier buru-buru menyela. “Kau bisa naik jetski milik temanku, Rowl.” Pemuda berlesung pipi ini membimbing Rain menatap ke arah pemuda berwajah oriental yang sedang berbaring di loungepac, tak jauh dari tempat mereka. “Mendadak kepalanya pusing. So−”
“Aku belum pernah mengendarai−”
“Aku akan mengajarimu,” sahut Olivier secepat kilat. Rain akhirnya terpaksa setuju.
-O0O-

Wajah Ruby mengeras. Kepolosan, kemanisan, dan keluguan, semua itu menghilang setelah dirinya keluar dari kamar Alicia dan memilih berjalan-jalan sejenak meniti tepian pantai.
Beberapa tanaman langka seperti pohon perdamaian, pohon sentigi, pohon kayu hitam, sampai hutan mangrove, semuanya begitu indah. Namun itu belum cukup mengusir kepenatan dalam benak.
Ruby ingat saat Otorio menceritakan bagaimana sang Ibu meninggal. Maya menusuk dirinya dengan  pisau. Tapi Otorio ragu dengan hal itu. Pada malam terakhir dirinya bertemu Maya, Otorio melihat Maurer. Dan keesokan harinya, ia mendapat kabar bahwa Maya telah tiada.
Semakin memikirkan hal itu, hati Ruby makin meradang. Ia hanya bisa mendengar bisikan-bisikan buruk yang akhirnya menguatkan niat Ruby untuk balas dendam.
Sesampainya di pulau Bidadari, hal pertama yang dilakukan Ruby adalah bergegas menuju cottage setelah Lana−kepala pelayan keluarga Alvayet, memberikan kunci kamar Alicia. Setelah itu, ia masuk dan buru-buru meletakkan sebuah kotak, lalu menyelipkan surat di bawahnya. Semua itu adalah perintah Otorio. Ruby hanya menjalankannya saja, termasuk menaruh kecoak di kamar Alicia. Setelah tugasnya selesai, Ruby tinggal menunggu kedatangan Alicia di luar. Menunggu gadis itu masuk ke kamar, berteriak-teriak, dan akhirnya menceburkan diri ke laut. Mungkin itu yang akan dilakukan Alicia nanti, pikir Ruby.
Dan pada akhirnya, skenario yang dijalankan Ruby pun berhasil, tak jauh dari harapan. Alicia terjun ke laut dan Ruby dalam keadaan siap untuk menyelamatkannya.  Keduanya lalu berkenalan. Ruby menggiring Alicia masuk ke kamar. Dan di sana, Alicia membuka kotak perhiasan yang diberikan padanya atas nama Maurer, sang Ayah. Kenyataannya, kalung itu sengaja diberikan Otorio pada Ruby. Dan, Ruby harus memastikan Alicia memakai kalung tersebut di pesta nanti malam.
“Ruby! Ruby! Ruby!”
Suara wanita paruh baya menggema sayup-sayup. Semakin lama, suara itu makin terdengar keras hingga mampu menariknya kembali dalam kesadaran penuh.
“RUBY!”
Ruby terkesiap dari kursi kayu tempatnya beristirahat.
“Aku memanggilmu berkali-kali,” ucap wanita paruh baya yang kini berkacak pinggang di depannya.  
“Maafkan saya, Bu Lana.”
“Kau harus ingat, ini bukan hari pertamamu bekerja! Kau masih harus melewati masa percobaan. Jika Tuan muda Olivier memang menghendakimu, maka kau akan langsung diterima.”
Sangat tidak mudah bagi Ruby datang ke sini, karena Maurer Alvayet sudah menyewa pulau Bidadari selama dua hari satu malam. Tidak boleh ada orang yang datang secara ilegal.
Entah apa yang dilakukan Otorio sampai lelaki itu berhasil membuatnya diizinkan naik kapal dan tiba di Pulau Bidadari tanpa dicurigai. Otorio bahkan sudah mengurus hal yang berkaitan dengan pekerjaan barunya sebagai calon pelayan pribadi Olivier.
“Kau harus ingat, ini bukan hari pertamamu bekerja! Kau masih harus melewati masa percobaan. Jika Tuan muda Olivier memang menghendakimu, maka kau akan langsung diterima.”
Ruby tak punya jawaban lain selain mengangguk. Sejak tadi pandangannya menjurus ke bawah, melihat banyak barang menumpuk di keranjang anyaman berukuran besar.
“Sekarang Tuan muda Olivier sedang berlomba jetski bersama teman-temannya. Semua ini perlengkapan Tuan muda Olivier.” Bu Lana meletakkan keranjang besar di depan Ruby.
Ruby menelan ludah dengan susah payah. Entah mengapa, mendengar nama Olivier, jantungnya berdentam bagai tambur raksasa.
-O0O-

 “Ayoooo Oliiii! Wooooo!” Rowl meletakkan tangannya di kedua sisi mulut hingga membentuk corong, lalu berteriak sekeras-kerasnya untuk menyemangati Olivier yang sekarang sedang bertanding dengan Rain.
Di samping Rowl, tampak sosok Ferry yang juga ikut berteriak. “Ayoooo Rain!!”
Alicia dan beberapa temannya ikut menonton. Mereka semua nampak antusias, kecuali Alicia. Kekhawatirannya pada Olivier seperti gulungan-gulungan ombak tinggi .
“Oliiiviiierrr!!!” teriak Alicia tiba-tiba.
Di tengah suasana yang makin panas, Ruby muncul tak jauh dari tempat Alicia. Gadis mungil itu pelan-pelan menapak pasir putih yang bisa membuatnya terpeleset jika tidak berhati-hati. Pandangannya tertuju pada dua jetski yang melaju kencang di tengah laut. Semakin lama, pertandingan itu makin tampak menarik.
Tak sadar, Ruby menaruh keranjang di depan kakinya, lalu memeluk handuk Olivier sambil menyipitkan mata.
...
      Deru mesin jetski, suara ombak, dan angin, kian akrab di telinga Rain. Pemuda berambut auburn ini tampak menikmati salah satu olahraga air yang baru pertama kali dicobanya. Karena bisa menguasai jetski-nya dengan cepat, Rain makin yakin bahwa dirinya terlahir dengan otak jenius.
Berbeda dengan Olivier yang sudah sangat sering mengendarai jetski. Untuk pertama kalinya Oli merasa tertantang.  Rain membuatnya serius ingin menang. Ia tak mau dikalahkan seorang amatir.
Suasana memanas saat Olivier dan Rain masih seimbang. Namun pada putaran terakhir, hal yang tak diiinginkan terjadi. Rain tiba-tiba hilang keseimbangan saat Olivier hendak menyalip. Alhasil, pemuda berambut auburn itu terguling.
“Rain! RAAAIIIN!” teriak Ferry cemas.
Ferry hendak berenang untuk menyelamatkan Rain. Tapi Rowl menahannya saat melihat Olivier terjun ke laut untuk menyelamatkan Rain.
“Tenanglah! Mereka berdua memakai jaket pelampung..”
Ucapan Rowl sedikit meredam kepanikan Ferry.
...
Alicia berlari ke tepi melihat Rain dan Olivier muncul ke permukaan,. Hal yang sama dilakukan Ruby. Tangannya meremas handuk Olivier begitu kuat. Tanpa sadar, rasa cemas menyelimutinya.
Rowl berlari kencang ke arah Olivier. Ia segera membantu kawannya memapah Rain. “Kau bisa memerika dirimu sendiri?” Rowl memandang Olivier tajam.
Sesuai arahan Rowl, Olivier memeriksa tubuhnya sendiri. Sesaat kemudian, senyum tipis muncul. “Mm, aku baik-baik saja,” ucapnya kemudian menoleh ke sisi kirinya.
“A–aku tunggu kau di kamar!” ucap Rowl terbata-bata ketika Alicia tengah berdiri di sisi Olivier.
Sepeninggalan Rowl, Alicia langsung menghela Olivier ke dalam pelukannya.
Hey, Im fine!” Olivier sedikit meronta. Ia tak begitu suka dipeluk di depan umum. Terlebih karena Alicia yang memeluknya. Sampai detik ini, entah mengapa Olivier masih sulit menganggap bahwa Alicia adalah saudara kembarnya.
Merasa gugup, Alicia lekas menjauhkan diri. “Kau puas?!Puas membuatku khawatir?!” Suara Alicia terdengar sedikit gemetar. Membuat Olivier mau tak mau memandang sayu ke arah sang adik sambil menahan senyum.
Suasana haru itu perlahan menyita Rain yang masih tidur terlentang di atas pasir.
Mengamati Alicia lebih intens, sesaat kemudian Rain mengerjap kuat. Mata cokelatnya yang  berwarna merah sembab, begitu sulit berkedip.
Rain mengenali Alicia. Gadis itu yang diselamatkannya dari kobaran api. Gadis itu...yang membuatnya kehilangan Mia.
...
Tangan Olivier bergerak kaku mengelus kepala Alicia. Sembari itu, tanpa sengaja ia menangkap sosok seorang gadis mungil, berdiri termangu menatapnya sambil memeluk keranjang besar.
Sadar Olivier balas menatapnya, Ruby merangkul keranjangnya lebih kuat, lalu mengangkatnya sedikit lebih tinggi untuk menutupi wajah.
Penasaran dengan si gadis mungil, tak sadar Olivier mengacuhkan Alicia. Sambil memicingkan mata, ia beranjak begitu saja dari peraduannya tanpa mengucapkan apapun pada Alicia, lalu berjalan menghampiri Ruby.
Sempat terkejut dengan sikap Olivier, Alicia menengok ke belakang dengan cepat. Keningnya mulai berjibun lipatan melihat saudara kembarnya yang tampan itu ternyata berjalan ke arah Ruby.
Berdiri tegap di depan gadis itu tanpa kata, Oliver kemudian membuang barang-barang yang menumpuk dalam keranjang satu persatu. Ia jatuhkan semuanya tak peduli botol air minum, buah, beberapa helai baju, dan handuk untuk melihat wajah gadis itu.
Bugh.
Ruby melihat sinis ke arah botol shampoo, barang terakhir yang sengaja dijatuhkan Olivier. Sampai detik itu, ia tak berniat menaikkan dagunya. Ia biarkan jantungnya berdegup cepat.
Bulu roma meremang saat Oliver mengangkat lembut dagunya dengan satu jari. Iris matanya yang hitam membulat, menatap setiap detail wajah sang majikan dengan ketus.
Olivier mengerjap kuat melihat binar kebencian dalam mata Ruby. Tanpa sadar, tatapan itu membuat luka sayatan di dadanya.
Bertatapan cukup lama dengan gadis itu membuat Olivier menyadari hal lain. Yah. Wajah Ruby terasa familiar. Olivier memeras otak lebih keras untuk mengingat. Sampai kemudian, kenangan di airport saat ia menjemput Rowl, berpendar jelas dalam pikiran. Kenangan tersebut semakin kuat saat Ruby bergerak melewatinya. Gadis berambut panjang itu meninggalkan aroma segar baby cologne dalam indra penciumannya.
Sejurus dengan itu, Ferry sibuk menepuk-nepuk punggung Rain.
“Jangan-jangan mutiara tersangkut di tenggorokanmu! Atau, rumput laut? Kuda laut? Bintang laut... Patrick?Atau sponge bob?!” pekik Ferry kemudian.
Masih terbatuk-batuk, Rain menatap Ferry begitu tajam, seperti hendak mengatakan, ‘jangan bercanda.’
“Minum ini!” Ruby tiba-tiba menyodorkan botol minuman pada Rain.
Tercenung sejenak menatap Olivier, Rain merasakan hatinya sedang berbisik. Entah mengapa ia begitu yakin, Olivier tak senang saat melihat Ruby memberikan botol minuman itu padanya.
Oliver memandang Rain songong. Sorot matanya seperti mengatakan, ‘awas saja kalau kau sampai meminumnya’. Namun, Rain malah tak merasa terancam sedikit pun. Bahkan tanpa rasa bersalah, ia meneguk air dari botol itu terus-menerus, seakan tak ingin menyisakan setetes pun untuk Olivier.
Rasa bingung kian melanda Alicia. Ada sesuatu dalam dirinya yang ia yakin adalah rasa cemburu.
Membuang muka kesal, Alicia berusaha mengalihkan perhatiannya dari Oliver dan Ruby. Di saat itu pandangannya tanpa sengaja tertuju pada Rain. Pria itu membuatnya terpaku. Alicia yakin pernah bertemu pria itu sebelumnya. Tapi ia tak tahu pasti kapan dan dimana.
Lamunan Alicia pecah saat Olivier melewatinya lagi untuk berjalan ke tempat Ruby. Sedikit kasar, pria bertubuh jangkung itu menarik tangan pelayan pribadinya dengan posesif. Ruby pun terpaksa menurut. Wajahnya yang ketus membuat cengkaraman Olivier makin mengetat.
-O0O-

 “Kau bisa berdiri, kan? Apa aku perlu menggendongmu?” Ferry membungkuk sedikit di depan Rain, tapi Rain mengabaikannya. Rain berjalan terhuyung-huyung sambil menekan pangkal hidungnya.
Ferry termenung sejenak, memandang punggung Rain penuh tanya. Menyadari tak ada yang bisa ia lakukan, Ferry melanjutkan langkahnya mengikuti Rain tanpa menyadari seorang gadis masih berdiri terpaku di belakangnya.
Alicia membeku di tempat, berusaha mengingat ucapan Hana. Sebelum dirinya pergi ke pulau Bidadari, Hana sempat memberinya berkas yang berisi informasi lengkap tentang penyelamatnya.

 “Namanya Rain Arthuro. Ibunya meninggal dua tahun lalu, sedangkan ayahnya seorang pelukis yang pergi merantau dan tidak pernah kembali,” cerita Hana. “Dia punya satu adik perempuan, namanya Mia. Tapi sepertinya Mia hanya adik angkatnya saja. Mereka selalu bersama, sampai kejadian kebakaran di gudang waktu itu. Mia terjebak dalam kobaran api. Dan sepertinya saat itu, Rain sedang bersamamu Alicia. Kau―mengerti maksudku, kan?”
Setiap detail ucapan Hana terekam sempurna di ingatan Alicia. Ucapan itu akhirnya membuat seluruh sendi tulangnya serasa remuk saat menatap punggung Rain yang berangsur menjauh.
Alicia menatap kembali punggung Rain. Kali ini punggung itu terlihat buram karena kristal bening mengumpul di pelupuk matanya. Punggung itu terlihat begitu dingin, begitu kesepian. Punggung itu merindukan kehangatan, begitu ingin dipeluk.
Alicia tak tahu darimana pemikiran itu berasal. Hal itu muncul begitu saja tanpa bisa dicegah.

“Saat aku meraih tanganmu, kau malah bersi keras memeluknya. Dia bahkan terpaksa melepas masker oksigen dan membantuku membaringkanmu di kereta dorong. Aku sendiri terkejut. Kau memegang tangannya erat sekali, Alicia”.

Mengingat ucapan Hana lagi, Alicia semakin menggigil. Dapat dipastikan, karena dirinya memegang tangan Rain, pemuda itu jadi tidak bisa pergi menyelamatkan Mia.
Saat rasa takut memakannya bulat-bulat, Alicia mendengar hatinya berbisik lembut. ‘Tidak apa-apa, mendekat saja!’
Merasa yakin dengan hal itu, Alicia berlari sangat kencang sampai sanggul rambutnya terlepas. Rambut auburn-nya yang panjang−tergerai begitu indah diterpa angin. Saat tubuhnya menabrak punggung yang kesepian itu, rasanya tak ada lagi hal yang bisa dipikirkanAlicia selain membagi hangat tubuhnya untuk Rain
Kedatangan Alicia yang memeluk Rain dari belakang membuat Ferry berjingkat kaget. Tiba-tiba tubuhnya goyah dan akhirnya ia jatuh bergulung, beringsut di dataran pasir putih yang lebih rendah.
Rain terkejut. Matanya mengerjap-ngerjap kuat. Aneh. Begitu batin Rain bicara saat merasakan bahwa tubuhnya menerima pelukan Alicia.
“Kau?” Keraguan yang dalam membuat Rain tak mampu melanjutkan ucapannya, bahkan hanya untuk menggumamkan satu nama. Alicia.
-O0O-

Ruby menyadari kekonyolannya yang ingin menghindari Olivier. Mengapa ia harus lari? Toh Olivier tak tahu mengenai motif terselubungnya sebagai pelayan.
            Hey, berhenti! Hey!”
Tak ada yang perlu dicemaskan. Meskipun berpikir hal itu puluhan kali, Ruby tak bisa mengendalikan dirinya sendiri yang masih tetap berjalan cepat, tak peduli sang majikan memanggilnya terus-menerus.
“Hey, gadis cantik!”
Tubuh Ruby kaku seketika mendengar sapaan menggelikan itu. Ya...itu menggelikan. Tak ada hal lain, pikir Ruby berusaha menepis sesuatu yang menggaung sebaliknya.
Dalam hati Ruby menggeram. Tangannya bergerak cepat memberikan handuk pada Olivier, sebelum pria itu bertanya mengapa ia menghindar.
“Seka wajah Anda yang basah itu,” ucap Ruby dingin.
Saat Oliver memilih diam, tangan Ruby bergerak spontan, menyeka lembut butir-butir air laut yang tertinggal di sisi wajah Olivier.
Tentu saja, tidak hanya aroma tubuhnya yang mengingatkanku pada sosok seorang Ibu, tapi sentuhannya juga, pikir pria itu.
Olivier merasakan sentuhan  Ruby lewat handuk putih itu seraya memejamkan mata. Beberapa saat kemudian, tangannya bergerak dengan cepat meremas pergelangan mungil Ruby, ketika tangan gadis itu hendak bergerak turun ke lehernya.
“Kau...jangan berikan apapun dari tanganmu pada lelaki lain, karena―” Sejenak suara Olivier menggantung di udara. Dan selama itu, Ruby dengan takut-takut mengangkat dagunya, menatap Olivier yang kemudian membungkuk, hingga tatapan mereka menjadi sejajar.
“Karena kau...pelayanku.” Olivier menyempurnakan kalimatnya dengan suara dingin. Nadanya seperti ancaman samar.
Ruby sulit  berkedip. Tak sadar, ia menatap Olivier sama tajamnya. 

-O0O-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar