Bab3
The mind is not a vessel to be
filled but a fire to be kindled
-Plutarch-
FERRY terkesiap saat Mia
tiba-tiba turun dari punggungnya. Mia sadar di waktu yang tidak tepat. Kobaran
api sudah menjalar hampir di semua sudut gudang.
“Kak
Raiiin!!! Kaaaak!!!” teriak Mia. Tak tahan menghirup asap api, Mia
terbatuk-batuk sambil menangis.
“Mi!Mi!Miaaa!
Berhenti Miaaa!!!”
Di tengah
perjalanan, tiba-tiba...
BRUGH!
Salah
satu sisi plafon diikuti tiang-tiang kayu roboh hingga menutupi jalan Ferry
menuju ke tempat Mia. Ferry segera mundur begitu kobaran api menyembur hampir
mengenai wajahnya.
“Miaaaaaa!!!”
teriak Ferry kalap.
“Mia
sudah mendengar semuanya, Kak! Kalau Kak Rain mati, Mia juga akan ikut mati.
Mia akan cari Kak Rain!”
“Jangan
bodoh Miaaaa! Rain pasti baik-baik saja!”
Mia
terdiam sejenak. Kedua tangannya mulai menyeka wajahnya yang penuh abu
bercampur peluh. Suhu tubuh meningkat diikuti nafas sesak. Ia butuh oksigen
segera.
“Kak
Ferry,” gumam Mia gemetar. “ KAK FERRY! Aaaaa...Mia takut, Kak!!!” teriaknya
sambil menangis.
Melihat
di sekitarnya hanya ada api, Mia tak bisa berpikir apapaun lagi tentang Rain. Rasa
paniknya sesaat lalu telah menelan akal sehatnya. Kini yang tersisa hanya rasa
takut setelah menyadari bahwa ia berada di antara hidup dan mati.
“MIAAA!
Tunggu Mia! Aku akan cari pertolongan! Tunggu aku, Mia!” Ferry lekas mengambil
langkah seribu meninggalkan tempat untuk mencari seseorang atau apapun yang
bisa membantunya menyelamatkan sang gadis.
“Kak Rain-KAK RAIIN! RAAAIIIINN!!!”
Tak jauh
dari tempat Mia terjebak, Rain memaku langkahnya saat teriakan gadis itu
menggaung dalam pendengarannya. Ia terpekur sejenak. Mata cokelatnya
berkeliling ke seluruh penjuru yang sudah dikuasai oleh api.
“Mia,”
ucap Rain nyaris tak terdengar.
Telapak
kakinya yang menempel tanpa pelindung di atas lantai beton, terasa perih dan
panas. Rain berusaha melangkah, tapi rasanya sungguh berat. Pergelangan kakinya
seperti dirantai. Jantungnya berdegup kencang, memukul-mukul dadanya sampai
ngilu.
-O0O-
Olivier yang sedang duduk
santai di cafe, tiba-tiba tersentak pelan. Tangannya berangsur gemetar, hingga
ia pun meluputkan gelas kopi yang baru diambilnya dari atas meja.
“Oli, ada
apa Nak?” Sang ibu ikut tersentak saat melihat butir-butir keringat tiba-tiba
membanjiri dahi Oliver.
“Jantungku–”
Olivier mengernyit sambil memegangi dadanya. “―sakit,” lanjutnya kemudian.
“Panas.”
Olivier membuka tiga kancing kemejanya. Lalu meneguk segelas air dingin sampai
tandas. Pria berdimple itu mendadak dilanda kehausan. Ia remas kuat-kuat kerah
kemejanya sambil berusaha bernafas panjang.
“Oli?”
Maurer kehilangan kata-kata melihat wajah Olivier yang kebingungan.
Olivier
yakin ini bukan serangan jantung. Tapi rasanya lebih sakit melebihi luka apapun
yang pernah ia rasakan.
...
BRUGH!
Plafon tripleks jatuh beruntun
diikuti tiang-tiang kayu yang setengah bagian sudah dilahap oleh api.
Puing-puing tersebut menutup sempurna jalan Alicia untuk terus mengikuti
langkah Hana dan seorang pemuda yang tadi menawan mereka.
“Kak
Hana!” teriak Alicia putus asa. “Kakkk~”
“Alicia!
Aaaall!” Hana berteriak panik.
Si pemuda
berjenggot berusaha menyingkirkan puing-puing yang menghalangi mereka, tapi
gagal. Halangan terbesar mereka adalah api.
“Lebih
baik kita keluar dulu! Kita harus menyelamatkan diri!” ucap pemuda itu
sungguh-sungguh.
“Kau
gila?!” Hana memukul keras pundak pemuda itu. “Kau mengaku penggemar Alicia,
tapi semudah itu kau putus asa untuk menolongnya?!” teriak Hana penuh emosi.
Kata-katanya membuat pemuda berjenggot tersebut lari terbirit-birit.
“Aaaarrrgghh!”
Hana mengerang putus asa. Ia menyisir rambutnya ke belakang, lalu meremasnya
kuat-kuat. Otaknya tak bisa berpikir. Sampai kemudian, sirine mobil
polisi berdengung. Hana segera menengok ke luar.
Dari
balkon atas ia melihat banyak mobil polisi mengepung, disusul kemudian mobil
pemadam kebakaran dan ambulance.
Yah,
benar kata pemuda itu. Tak ada yang bisa ia lakukan selain berlari secepat
mungkin untuk meminta pertolongan. Batin Hana baru saja berseru setelah
mendapat pencerahan.
“Alicia,
aku akan segera kembali!!!” teriak Hana sekuat tenaga.
Alicia
duduk meringkup di sudut paling kelam. Punggungnya yang rapuh merapat ke
dinding. Semua sendi tulangnya seperti tersengat listrik. Bola mata terus berputar
melihat sekeliling dengan penuh rasa takut.
Hanya
satu yang bisa ia pikirkan. Kapan api-api itu akan memakan tubuhnya bulat-bulat
sehingga penderitaan dan kesesakan itu berakhir.
Waktu
dibiarkan berjalan begitu saja, sampai akhirnya Alicia tak mendengar suara Hana
lagi. Ia pun mulai panik. Tubuhnya dengan cepat bangkit berdiri. Ia
mondar-mandir kebingungan di sekitar tumpukan puing.
Sesaat kemudian.
“Hey, kau
ibu polisi!”
Alicia
berbalik cepat ke arah asal suara. Matanya meruncing melihat sosok pemuda
bertubuh tinggi yang tadi menyapanya. Paras pemuda itu sungguh rupawan, meski
debu ganas dari api melekat di kulit.
Rain
berjalan mendekat dengan memikul karung di sebelah pundak.Ia hendak menolong
Alicia. Namun dalam pandangan Alicia, Rain tiba-tiba berubah menjadi
sosok lelaki mengerikan dari masa lalunya.
“Kau, kau
penjahat! Jangan mendekat! Jangan sentuh aku!” Alicia berseru dengan nafas
tersengal.
Rain
meletakkan karung uangnya dan kembali mendekati Alicia. Tapi gadis itu malah
mengeluarkan pistol dari saku rok sepannya, lalu menodongkan senjata api
tersebut pada Rain.
Percikan-percikan
api berterbangan di antara mereka.
…
Olivier mengatur nafas di
dalam mobil. Setelah melepas jaket dan membuka kancing bajunya sampai manik
ketiga, ia merebahkan kepalanya senyaman mungkin di backrest kursi.
“Oli,
rasanya seperti apa?” Rose terus mendesak.
“Sudahlah,
sayang. Biarkan Oliver menata nafasnya dulu,” tegur Maurer. Dia tahu apa yang
dipikirkan istrinya sekarang.
Sejak
dulu Rose sangat memercayai dunia gaib dan orang-orang yang terlibat di
dalamnya. Dan menurut Rose, apa yang dirasakan Oliver bukan rasa sakit biasa.
-O0O-
Rain terpekur melihat Alicia
yang masih menodongkan pistol ke arahnya. Tubuh gadis cantik itu kaku, penuh
keangkuhan. Namun di balik keangkuhan itu, terpancar ketidakberdayan serta rasa
takut yang menyiksa di manik kembarnya.
“Kau
mabuk, Bu polisi?” Rain menyapa Alicia, memastikan gadis itu baik-baik saja.
Setidaknya dia ingin tahu apa gadis itu masih hidup dan masih bisa berpikir.
Ya, dia
tahu tidak ada manusia yang akan berpikir normal di tengah situasi semacam ini.
Tapi setidaknya gadis itu bereaksi, meskipun itu di luar pemikirannya.
“Jangan
mendekat! Kau orang jahat! Orang jahat harus mati!” teriak Alicia sambil
menodongkan pistol ke arah pria yang menatapnya misterius.
“Orang
jahat?” Rain tersenyum miring. Pandanganya kemudian mengarah ke atas, tak
sengaja melihat plafon yang setengah bagiannya sudah hampir retak−menunggu
untuk jatuh menimpa Alicia.
Pandangan
Alicia mulai lemah karena asap api. Tapi tangannya masih bertahan memegang
pistol.
“Jatuhkan
senjata api itu! Berbahaya!” perintah Rain dengan suara dingin.
Jangan bermain-main dengan pistol itu, Nak! Cepat jatuhkan pistolmu!
Tiba-tiba
suara mengerikan di masa lalu menyusup telinga Alicia beriringan dengan suara
Rain. Suara tersebut seperti kekuatan hipnotis yang sangat kuat, membuat kesadaran
Alicia berangsur tenggelam.
“Siapa kau? Apa kau benar-benar seorang polisi?” batin Rain terasa nyeri karena
tak mendapatkan jawaban.
Sayup-sayup
Rain mendengar suara seorang wanita memanggil-manggil nama Alicia. Semakin
lama, suara itu makin jelas.
“Alicia?
Itu namamu?” Rain bertanya sambil mengernyit dalam.
Ketika
pertanyaannya tak tertanggapi, suara Mia tiba-tiba menggema, memanggil namanya
dengan putus asa.
Rain
mendadak dihujam rasa takut. Takut kalau Ferry tidak berhasil membawa Mia
keluar dari gudang.
Haruskah
ia melangkah ke tempat wanita yang menodongkan pistol ke arahnya? Atau, ia
berlari saja menuju sumber suara Mia? Tapi Rain tak yakin Mia masih berada di
dalam gudang. Jika perhitungannya tidak salah, Ferry pasti sudah membawa Mia
keluar.
Jantung
Rain semakin berdegup kuat. Begitupun dengan Olivier yang berada jauh dari
tempat kejadian. Olivier tidak tahu penyebab kondisinya sekarang. Kenapa
perasaannya begitu buruk. Kenapa dirinya merasa cemas tanpa alasan? Olivier tak
menemukan jawaban, bahkan saat ia berusaha memejamkan mata untuk menenangkan
diri.
...
Entah
darimana keberanian itu datang. Masa bodoh apakah pistol yang dibawa wanita itu
asli atau palsu. Rain tak bisa menghentikan kakinya untuk melangkah mendekati
Alicia. Ia tak peduli gadis itu menjerit-jerit memintanya menjauh.
Sampai kemudian...
DOR!
Hana
bersama tim pemadam kebakaran diam terpaku di tengah perjalanan mereka. Namun,
semprotan dari tabung pemadam api masih terus berjalan, hingga si jago merah
pun berhasil dijinakkan.
“Alicia,”
gumam Hana. Matanya nyaris tak berkedip. Suara tembakan itu seperti
menghilangkan jantungnya. Membuatnya tak bisa bernafas untuk beberapa saat.
Tembakan
satu terlepas. Tubuh Alicia terpelanting dan pistol itu terlepas dari tangan
mungilnya yang tak cukup kuat menahan tekanan.
“Aaarrgghh.”
Kedua lutut Rain tertekuk seketika. Ia menggeram sambil memegang lengannya yang
bercucur darah akibat tergores peluru yang melesat tadi.
Sesaat
kemudian, suara gesekan dari atas menggelitik telinga Rain. Ia mendongak.
Matanya melebar seketika.
Rain
bergerak secepat angin menelungkup, meraih Alicia dalam pelukannya, lalu
berguling ke samping untuk menghindari reruntuhan.
BRUGH!
Plafon
tripleks roboh membawa serta puing-puing lainnya. Setelah kejadian itu, Alicia
tak melepas pelukannya dari Rain. Tubuhnya terus gemetaran sambil memeluk
pemuda yang bahkan tak ia ketahui namanya.
“Hei,
Nona, kau tidak terluka, kan?” Rain menjauhkan tubuhnya. Ia lalu menyentuh
tangan dan kaki Alicia untuk memastikan apa ada luka bakar atau tidak.
“Nenek...nenek...tolong
aku...” gumam Alicia terputus-putus. Nafasnya jadi pendek.
Alicia berhenti bernafas.
Rain
melihat sekeliling, mencari celah agar bisa bebas. Namun puing-puing yang jatuh
telah membuntu semua jalan. Rain tak menemukan satu pun celah untuk keluar.
Kemudian, samar-samar ia mendengar dua suara. Yang satu memanggil namanya−itu
suara Mia dan yang satu lagi suara wanita memanggil nama Alicia.
Pandangan
Rain mulai berkabut. Namun ia tak ingin pingsan. Ia bertekad menyelamatkan
gadis yang didekapnya sekarang.
Rain tak
tahu cara memompa jantung. Yang ia tahu adalah memberi nafas buatan. Karena tak
pernah tahu teknik yang benar, Rain asal saja meniupkan udara dari mulutnya ke
mulut Alicia. Sambil mendekap gadis itu, ia meraup bibir Alicia, lalu meniupkan
udara dari mulutnya. Ia lakukan berulang kali, tanpa bisa berpikir hal lain
yang lebih baik dari yang ia lakukan sekarang.
Entah
sudah berapa kali mulut mereka bersentuhan. Meski tanpa teknik yang memadai.
Meski tak tahu bisa berhasil atau tidak. Rain seperti tidak bisa berhenti
sampai melihat Alicia sadar.
Sambil
meniupkan udara ke mulut Alicia, kenangan bersama Mia berpendar memenuhi
pikiran Rain. Ia merasa sedang bermimpi. Yah, ini mungkin mimpi. Dan pasti
suara Mia yang didengarnya tadi hanya khayalan.
Rain
ingat saat dirinya menghabiskan waktu dengan Mia. Mereka berkejaran di padang
rumput hijau di dekat danau yang tidak terlalu luas. Tempat itu begitu teduh.
Seteduh senyuman Mia.
Kak Rain...
Dalam
khayalan Rain, sosok Mia tiba-tiba berubah menjadi gadis lain. Gadis itu tak
lain adalah Alicia yang sekarang ia lindungi.
“Uhuk..uhukk.”
Alicia terbatuk-batuk. Meski telah sadar, tapi kondisinya lemah. Kepalanya kini
bersandar pasrah di perpotongan leher penyelamatnya. Rain.
“Alicia.” Suara Rain terdengar
parau.
Gadis
yang dipanggil namanya itu langsung mengangkat dagu, menatap bulat wajah pemuda
yang begitu lekat menatap wajahnya.
Alicia
terpekur sesaat. Tubuhnya membeku di tengah panasnya kobaran api. Setelah itu,
ia kembali batuk-batuk. Ia bersembunyi kembali di balik perpotongan leher Rain.
Memeluk kedua bahu pemuda itu. Lalu merapatkan tubuhnya kembali dalam dekapan
Rain.
“Sepertinya
kita akan terpanggang bersama,” gumam Rain datar.
Alicia masih setengah sadar.
Karena itu ia bisa mendengar gumaman Rain. Ia peluk Rain semakin kuat.
“Aku...mau
hidup. Aku―mau―hidup,” ucap lirih Alicia. Kali ini, giliran Rain terpekur
mendengar harapan kecil itu. Perasaannya tersentuh. Dengan penuh kesadaran, ia
merengkuh Alicia makin kuat dalam pelukannya.
Sampai kemudian.
Rain
mulai mendengar suara semprotan gas air mata. Secara berangsur, lidah-lidah api
di sekelilingnya padam. Puing-puing yang menghalangi jalan, satu per satu mulai
dipindahkan oleh orang-orang di balik sana. Rain mengamati keadaan tersebut
sambil terus mendekap Alicia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar