Jumat, 10 Juli 2015

Bab 3



Bab3

The mind is not a vessel to be filled but a fire to be kindled
-Plutarch-

FERRY terkesiap saat Mia tiba-tiba turun dari punggungnya. Mia sadar di waktu yang tidak tepat. Kobaran api sudah menjalar hampir di semua sudut gudang.
“Kak Raiiin!!! Kaaaak!!!” teriak Mia. Tak tahan menghirup asap api, Mia terbatuk-batuk sambil menangis.
“Mi!Mi!Miaaa! Berhenti Miaaa!!!”
Di tengah perjalanan, tiba-tiba...
BRUGH!
Salah satu sisi plafon diikuti tiang-tiang kayu roboh hingga menutupi jalan Ferry menuju ke tempat Mia. Ferry segera mundur begitu kobaran api menyembur hampir mengenai wajahnya.
“Miaaaaaa!!!” teriak Ferry kalap.
“Mia sudah mendengar semuanya, Kak! Kalau Kak Rain mati, Mia juga akan ikut mati. Mia akan cari Kak Rain!”
“Jangan bodoh Miaaaa! Rain pasti baik-baik saja!”
Mia terdiam sejenak. Kedua tangannya mulai menyeka wajahnya yang penuh abu bercampur peluh. Suhu tubuh meningkat diikuti nafas sesak. Ia butuh oksigen segera.
“Kak Ferry,” gumam Mia gemetar. “ KAK FERRY! Aaaaa...Mia takut, Kak!!!” teriaknya sambil menangis.
Melihat di sekitarnya hanya ada api, Mia tak bisa berpikir apapaun lagi tentang Rain. Rasa paniknya sesaat lalu telah menelan akal sehatnya. Kini yang tersisa hanya rasa takut setelah menyadari bahwa ia berada di antara hidup dan mati.
“MIAAA! Tunggu Mia! Aku akan cari pertolongan! Tunggu aku, Mia!” Ferry lekas mengambil langkah seribu meninggalkan tempat untuk mencari seseorang atau apapun yang bisa membantunya menyelamatkan sang gadis.
            “Kak Rain-KAK RAIIN! RAAAIIIINN!!!”
Tak jauh dari tempat Mia terjebak, Rain memaku langkahnya saat teriakan gadis itu menggaung dalam pendengarannya. Ia terpekur sejenak. Mata cokelatnya berkeliling ke seluruh penjuru yang sudah dikuasai oleh api.
“Mia,” ucap Rain nyaris tak terdengar.
Telapak kakinya yang menempel tanpa pelindung di atas lantai beton, terasa perih dan panas. Rain berusaha melangkah, tapi rasanya sungguh berat. Pergelangan kakinya seperti dirantai. Jantungnya berdegup kencang, memukul-mukul dadanya sampai ngilu.
-O0O-
Olivier yang sedang duduk santai di cafe, tiba-tiba tersentak pelan. Tangannya berangsur gemetar, hingga ia pun meluputkan gelas kopi yang baru diambilnya dari atas meja.
“Oli, ada apa Nak?” Sang ibu ikut tersentak saat melihat butir-butir keringat tiba-tiba membanjiri dahi Oliver.
“Jantungku–” Olivier mengernyit sambil memegangi dadanya. “―sakit,” lanjutnya kemudian.
“Panas.” Olivier membuka tiga kancing kemejanya. Lalu meneguk segelas air dingin sampai tandas. Pria berdimple itu mendadak dilanda kehausan. Ia remas kuat-kuat kerah kemejanya sambil berusaha bernafas panjang.
“Oli?” Maurer kehilangan kata-kata melihat wajah Olivier yang kebingungan.
Olivier yakin ini bukan serangan jantung. Tapi rasanya lebih sakit melebihi luka apapun yang pernah ia rasakan.
...

BRUGH!

Plafon tripleks jatuh beruntun diikuti tiang-tiang kayu yang setengah bagian sudah dilahap oleh api. Puing-puing tersebut menutup sempurna jalan Alicia untuk terus mengikuti langkah Hana dan seorang pemuda yang tadi menawan mereka.
“Kak Hana!” teriak Alicia putus asa. “Kakkk~”
“Alicia! Aaaall!” Hana berteriak panik.
Si pemuda berjenggot berusaha menyingkirkan puing-puing yang menghalangi mereka, tapi gagal. Halangan terbesar mereka adalah api.
“Lebih baik kita keluar dulu! Kita harus menyelamatkan diri!” ucap pemuda itu sungguh-sungguh.
“Kau gila?!” Hana memukul keras pundak pemuda itu. “Kau mengaku penggemar Alicia, tapi semudah itu kau putus asa untuk menolongnya?!” teriak Hana penuh emosi. Kata-katanya membuat pemuda berjenggot tersebut lari terbirit-birit.
“Aaaarrrgghh!” Hana mengerang putus asa. Ia menyisir rambutnya ke belakang, lalu meremasnya kuat-kuat. Otaknya tak bisa berpikir. Sampai kemudian, sirine mobil polisi berdengung. Hana segera menengok ke luar.
Dari balkon atas ia melihat banyak mobil polisi mengepung, disusul kemudian mobil pemadam kebakaran dan ambulance.
Yah, benar kata pemuda itu. Tak ada yang bisa ia lakukan selain berlari secepat mungkin untuk meminta pertolongan. Batin Hana baru saja berseru setelah mendapat pencerahan.
“Alicia, aku akan segera kembali!!!” teriak Hana sekuat tenaga.
Alicia duduk meringkup di sudut paling kelam. Punggungnya yang rapuh merapat ke dinding. Semua sendi tulangnya seperti tersengat listrik. Bola mata terus berputar melihat sekeliling dengan penuh rasa takut.
Hanya satu yang bisa ia pikirkan. Kapan api-api itu akan memakan tubuhnya bulat-bulat sehingga penderitaan dan kesesakan itu berakhir.
Waktu dibiarkan berjalan begitu saja, sampai akhirnya Alicia tak mendengar suara Hana lagi. Ia pun mulai panik. Tubuhnya dengan cepat bangkit berdiri. Ia mondar-mandir kebingungan di sekitar tumpukan puing.
Sesaat kemudian.
“Hey, kau ibu polisi!”
Alicia berbalik cepat ke arah asal suara. Matanya meruncing melihat sosok pemuda bertubuh tinggi yang tadi menyapanya. Paras pemuda itu sungguh rupawan, meski debu ganas dari api melekat di kulit.
Rain berjalan mendekat dengan memikul karung di sebelah pundak.Ia hendak menolong Alicia. Namun dalam pandangan Alicia, Rain tiba-tiba  berubah menjadi sosok lelaki mengerikan dari masa lalunya.
“Kau, kau penjahat! Jangan mendekat! Jangan sentuh aku!” Alicia berseru dengan nafas tersengal.
Rain meletakkan karung uangnya dan kembali mendekati Alicia. Tapi gadis itu malah mengeluarkan pistol dari saku rok sepannya, lalu menodongkan senjata api tersebut pada Rain.
Percikan-percikan api berterbangan di antara mereka.

Olivier mengatur nafas di dalam mobil. Setelah melepas jaket dan membuka kancing bajunya sampai manik ketiga, ia merebahkan kepalanya senyaman mungkin di backrest kursi.
“Oli, rasanya seperti apa?” Rose terus mendesak.
“Sudahlah, sayang. Biarkan Oliver menata nafasnya dulu,” tegur Maurer. Dia tahu apa yang dipikirkan istrinya sekarang.
Sejak dulu Rose sangat memercayai dunia gaib dan orang-orang yang terlibat di dalamnya. Dan menurut Rose, apa yang dirasakan Oliver bukan rasa sakit biasa.
-O0O-

Rain terpekur melihat Alicia yang masih menodongkan pistol ke arahnya. Tubuh gadis cantik itu kaku, penuh keangkuhan. Namun di balik keangkuhan itu, terpancar ketidakberdayan serta rasa takut yang menyiksa di manik kembarnya.
“Kau mabuk, Bu polisi?” Rain menyapa Alicia, memastikan gadis itu baik-baik saja. Setidaknya dia ingin tahu apa gadis itu masih hidup dan masih bisa berpikir.
Ya, dia tahu tidak ada manusia yang akan berpikir normal di tengah situasi semacam ini. Tapi setidaknya gadis itu bereaksi, meskipun itu di luar pemikirannya.
“Jangan mendekat! Kau orang jahat! Orang jahat harus mati!” teriak Alicia sambil menodongkan pistol ke arah pria yang menatapnya misterius.
“Orang jahat?” Rain tersenyum miring. Pandanganya kemudian mengarah ke atas, tak sengaja melihat plafon yang setengah bagiannya sudah hampir retak−menunggu untuk jatuh menimpa Alicia.
Pandangan Alicia mulai lemah karena asap api. Tapi tangannya masih bertahan memegang pistol.
“Jatuhkan senjata api itu! Berbahaya!” perintah Rain dengan suara dingin.
Jangan bermain-main dengan pistol itu, Nak! Cepat jatuhkan pistolmu!
Tiba-tiba suara mengerikan di masa lalu menyusup telinga Alicia beriringan dengan suara Rain. Suara tersebut seperti kekuatan hipnotis yang sangat kuat, membuat kesadaran Alicia berangsur tenggelam.
“Siapa kau? Apa kau benar-benar seorang polisi?” batin Rain terasa nyeri karena tak mendapatkan jawaban.
Sayup-sayup Rain mendengar suara seorang wanita memanggil-manggil nama Alicia. Semakin lama, suara itu makin jelas.
“Alicia? Itu namamu?” Rain bertanya sambil mengernyit dalam.
Ketika pertanyaannya tak tertanggapi, suara Mia tiba-tiba menggema, memanggil namanya dengan putus asa.
Rain mendadak dihujam rasa takut. Takut kalau Ferry tidak berhasil membawa Mia keluar dari gudang. 
Haruskah ia melangkah ke tempat wanita yang menodongkan pistol ke arahnya? Atau, ia berlari saja menuju sumber suara Mia? Tapi Rain tak yakin Mia masih berada di dalam gudang. Jika perhitungannya tidak salah, Ferry pasti sudah membawa Mia keluar.
Jantung Rain semakin berdegup kuat. Begitupun dengan Olivier yang berada jauh dari tempat kejadian. Olivier tidak tahu penyebab kondisinya sekarang. Kenapa perasaannya begitu buruk. Kenapa dirinya merasa cemas tanpa alasan? Olivier tak menemukan jawaban, bahkan saat ia berusaha memejamkan mata untuk menenangkan diri.
...

Entah darimana keberanian itu datang. Masa bodoh apakah pistol yang dibawa wanita itu asli atau palsu. Rain tak bisa menghentikan kakinya untuk melangkah mendekati Alicia. Ia tak peduli gadis itu menjerit-jerit memintanya menjauh.
Sampai kemudian...
DOR!
Hana bersama tim pemadam kebakaran diam terpaku di tengah perjalanan mereka. Namun, semprotan dari tabung pemadam api masih terus berjalan, hingga si jago merah pun berhasil dijinakkan.
“Alicia,” gumam Hana. Matanya nyaris tak berkedip. Suara tembakan itu seperti menghilangkan jantungnya. Membuatnya tak bisa bernafas untuk beberapa saat.
Tembakan satu terlepas. Tubuh Alicia terpelanting dan pistol itu terlepas dari tangan mungilnya yang tak cukup kuat menahan tekanan.
Aaarrgghh.” Kedua lutut Rain tertekuk seketika. Ia menggeram sambil memegang lengannya yang bercucur darah akibat tergores peluru yang melesat tadi.
Sesaat kemudian, suara gesekan dari atas menggelitik telinga Rain. Ia mendongak. Matanya melebar seketika.
Rain bergerak secepat angin menelungkup, meraih Alicia dalam pelukannya, lalu berguling ke samping untuk menghindari reruntuhan.

BRUGH!
Plafon tripleks roboh membawa serta puing-puing lainnya. Setelah kejadian itu, Alicia tak melepas pelukannya dari Rain. Tubuhnya terus gemetaran sambil memeluk pemuda yang bahkan tak ia ketahui namanya.
“Hei, Nona, kau tidak terluka, kan?” Rain menjauhkan tubuhnya. Ia lalu menyentuh tangan dan kaki Alicia untuk memastikan apa ada luka bakar atau tidak.
“Nenek...nenek...tolong aku...” gumam Alicia terputus-putus. Nafasnya jadi pendek.
Alicia berhenti bernafas.
Rain melihat sekeliling, mencari celah agar bisa bebas. Namun puing-puing yang jatuh telah membuntu semua jalan. Rain tak menemukan satu pun  celah untuk keluar. Kemudian, samar-samar ia mendengar dua suara. Yang satu memanggil namanya−itu suara Mia dan yang satu lagi suara wanita memanggil nama Alicia.
Pandangan Rain mulai berkabut. Namun ia tak ingin pingsan. Ia bertekad menyelamatkan gadis yang didekapnya sekarang.
Rain tak tahu cara memompa jantung. Yang ia tahu adalah memberi nafas buatan. Karena tak pernah tahu teknik yang benar, Rain asal saja meniupkan udara dari mulutnya ke mulut Alicia. Sambil mendekap gadis itu, ia meraup bibir Alicia, lalu meniupkan udara dari mulutnya. Ia lakukan berulang kali, tanpa bisa berpikir hal lain yang lebih baik dari yang ia lakukan sekarang.
Entah sudah berapa kali mulut mereka bersentuhan. Meski tanpa teknik yang memadai. Meski tak tahu bisa berhasil atau tidak. Rain seperti tidak bisa berhenti sampai melihat Alicia sadar.
Sambil meniupkan udara ke mulut Alicia, kenangan bersama Mia berpendar memenuhi pikiran Rain. Ia merasa sedang bermimpi. Yah, ini mungkin mimpi. Dan pasti suara Mia yang didengarnya tadi hanya khayalan.
Rain ingat saat dirinya menghabiskan waktu dengan Mia. Mereka berkejaran di padang rumput hijau di dekat danau yang tidak terlalu luas. Tempat itu begitu teduh. Seteduh senyuman Mia.
Kak Rain...
Dalam khayalan Rain, sosok Mia tiba-tiba berubah menjadi gadis lain. Gadis itu tak lain adalah Alicia yang sekarang ia lindungi.
“Uhuk..uhukk.” Alicia terbatuk-batuk. Meski telah sadar, tapi kondisinya lemah. Kepalanya kini bersandar pasrah di perpotongan leher penyelamatnya. Rain.
“Alicia.” Suara Rain terdengar parau.
Gadis yang dipanggil namanya itu langsung mengangkat dagu, menatap bulat wajah pemuda yang begitu lekat menatap wajahnya.
Alicia terpekur sesaat. Tubuhnya membeku di tengah panasnya kobaran api. Setelah itu, ia kembali batuk-batuk. Ia bersembunyi kembali di balik perpotongan leher Rain. Memeluk kedua bahu pemuda itu. Lalu merapatkan tubuhnya kembali dalam dekapan Rain.
“Sepertinya kita akan terpanggang bersama,” gumam Rain datar.
Alicia masih setengah sadar. Karena itu ia bisa mendengar gumaman Rain. Ia peluk Rain semakin kuat.
“Aku...mau hidup. Aku―mau―hidup,” ucap lirih Alicia. Kali ini, giliran Rain terpekur mendengar harapan kecil itu. Perasaannya tersentuh. Dengan penuh kesadaran, ia merengkuh Alicia makin kuat dalam pelukannya.
Sampai kemudian.
Rain mulai mendengar suara semprotan gas air mata. Secara berangsur, lidah-lidah api di sekelilingnya padam. Puing-puing yang menghalangi jalan, satu per satu mulai dipindahkan oleh orang-orang di balik sana. Rain mengamati keadaan tersebut sambil terus mendekap Alicia.










Tidak ada komentar:

Posting Komentar