Bab5
An honest man's word
is a good as his bond
-Miguel de Cervantes-
FERRY menghampiri Rain. Mereka duduk bersama
di tengah gelapnya Pantai malam itu.
“Rain, kau masih punya aku dan Kak Boas.” Ferry memecah hening. “Jadi
bisakah, kau hidup untuk kami?”
Kata-kata Ferry membuat Rain sadar, ternyata orang-orang yang dicintainya
sudah kembali kepada sang pemilik kehidupan. Pertama Ibunya. Dan sekarang Mia.
Sang ibu−Liana, meninggal karena serangan jantung. Sebelum menghembuskan
nafas terakhir, wanita pribumi itu sempat memberitahu Rain tentang saudara
kembarnya. Tapi Liana tak sempat memberitahu alasan mengapa mereka bisa
terpisah, siapa Ayah kandungnya, dan dimana keluarganya sekarang, Rain belum
sempat mengetahuinya.
“Kita bisa mulai dari awal. Kita tidak perlu meneruskan bisnis judi.
Kita...bisa membuat sesuatu yang lebih halal, supaya Tuhan tidak menghukum kita
lagi,” ucap Ferry antusias.
Di Rumah Keluarga Alvayet.
Sadar dari tidurnya
yang cukup lelap, Olivier terkejut mendapati Alicia telah berbaring di
sampingnya.
Olivier terpaku, namun kemudian ia tertawa tanpa suara. Tubuhnya bergerak
menyamping, lalu tidur terlentang sambil melihat langit-langit.
Ia kembali menoleh ke arah Alicia. Pancaran matanya menyiratkan rasa tak
percaya.
“Kenapa kau bisa ada di sini?” gumamnya dalam hati. “Haruskan aku
pergi? Katakan, apa aku harus pergi?”
Rasa nyaman menyelimuti pria itu. Melihat wajah Alicia seperti menghirup
embun pagi yang hampir terkikis sinar matahari. Rasanya amat sejuk sekaligus
hangat.
Olivier memejamkan matanya lagi. Dan di tempat yang berbeda, Rain melakukan
hal yang sama.
...
Tak tahu hal apa yang tiba-tiba merasuki hatinya, Rain tiba-tiba merasakan
ketenangan. Dahaga yang ia rasakan di tengah kekeringan jiwa, perlahan
terpenuhi setetes demi setetes. Siapa yang menghantarkan semua itu? Rain tak
tahu.
Ferry terlonjak kaget dan buru-buru bangkit melihat Rain beranjak
dari peraduannya.
“Rain, kau mau kemana?” tanya Ferry cemas. “Kau, kau harus kuat Rain! Tuhan
masih memberimu kehidupan. Itu tandanya, masih ada hal indah yang dipersiapkan
Tuhan untukmu.”
Rain berhenti, lalu menoleh ke arah Ferry yang membelakanginya. “ Berisik
sekali. Aku lapar.”
Ferry melongo sambil mengerjap tak percaya. Jika Rain merasa lapar, itu
tandanya Rain baik-baik saja. Ferry mengetahui kebiasaan sahabatnya itu sejak
lama. Sekarang, ia bisa melihat punggung Rain yang makin menjauh dengan
perasaan tenang.
-O0O-
Embun mengecup fajar
yang menyingsing dari ufuk timur. Setelah melihat ke luar jendela, Nyonya Sofia
mulai bangkit dari ranjangnya. Beliau beribadah pagi, lalu berjalan menuju
kamar Olivier. Beliau tahu kebiasaan Alicia yang dari masa kanak-kanak suka
sekali tidur di kamar kembarannya.
Melihat jaket jeans Alicia tergeletak di atas sofa di tengah kamar
temaram itu, Sofia berdecak sebal. Sesampainya di sisi ranjang, Sofia membungkuk
tepat di sisi wajah Alicia.
Sepatah kata belum terucap, Sofia Alvayet menegang menyadari bahwa cucu
laki-lakinya juga ikut berbaring di sana, Keduanya tidur saling berhadapan.
Olivier memegang punggung tangan Alicia. Tak begitu erat, tapi cukup
membuat hati Sofia bergetar, antara terharu dan takut.
Ingin rasanya mengguncang tubuh dua saudara kembar itu segera dan meneriaki
mereka untuk segera bangun. Tapi Sofia
masih merasa tubuhnya menegang di sisi ranjang.
“Ini tidak bisa dibiarkan!” Sofia memejamkan mata sesaat lalu mengambil
nafas dalam-dalam.Kemudian...
“Aliciaaaa! Olivieerrr!” teriak sang Nenek.
Tubuh mereka langsung terlonjak kaget begitu melihat sang Nenek. Manik
kembar itu akhirnya bertemu. Keduanya sama-sama mengerjap, lalu cepat-cepat
bangkit dari ranjang. Mereka duduk berbagi selimut. Alicia membenahi rambutnya,
begitupun Olivier.
Berbeda dengan Olivier yang masih setengah tersadar, Alicia mendapati
kesadarannya penuh ketika melihat saudara kembarnya menyembunyikan senyum manis
dengan menundukkan kepala.
Dipandanginya Olivier lekat-lekat. Ratusan kembang api seakan meletus tanpa
henti dalam dada. Tuhan...batin
Alicia saat Olivier menatapnya lagi dan tersenyum.
-O0O-
Keesokan harinya...
Puluhan awak media menyerbu Alicia ketika gadis itu keluar dari mobil. Ia berjalan
menuju kantor polisi untuk memberikan kesaksian perihal dirinya dan sang Manajer
yang terjebak di gudang−tempat yang diduga sebagai sarang penyelundupan barang
tekstil impor sekaligus tempat perjudian.
Mata Alicia sedikit berkunang-kunang karena dihujani kilatan cahaya kamera.
Semua wartawan yang mengerumuni aktris remaja papan atas itu tak letih
mengajukan pertanyaan, baik saat Alicia masuk, maupun setelah keluar dari
kantor.
Alicia menghela nafas panjang setelah pintu mobilnya tertutup rapat.
Tubuhnya langsung lemas selepas melewati proses pemeriksaan, sampai akhirnya
terbebas dari para wartawan.
“Eits, jangan tenang dulu!
Mungkin mereka sedang memburu laki-laki yang ada di foto ini.” Hana menyodorkan
ipad-nya, menunjukkan berita online hari ini di salah satu web.
Di sana terpampang jelas foto Alicia yang sedang berbaring di kereta dorong.
Tangannya berpegang pada seorang pemuda berambut auburn.
“Siapa dia?” tanya Alicia seperti sedang amnesia. Begitu tenang dan polos.
Hana pun terkejut mendengar pertanyaan itu. “Kau benar-benar tidak ingat?”
Alicia menggeleng sambil mengangkat alis, lalu membaca dengan serius isi
artikel itu sembari Hana mengernyit melihatnya. Sesaat kemudian...
“Hoh? Apa-apaan ini? Atas dasar apa mereka mengatakan laki-laki ini
kekasihku?” Suara Alicia meninggi bersamaan dengan ponselnya yang berbunyi
nyaring.
Alicia terkesiap. Secepat mungkin ia mengangkat panggilan tersebut tanpa
menatap layar ponselnya ketika menduga telfon itu dari Toby. Alicia siap
melontarkan pembelaan atas dirinya, tapi ternyata sang kekasih tak bisa
diyakinkan.
“Kau memeluknya Alicia? Apa foto bisa berbohong?” tanya pria di seberang
dengan pengkuh.
“Ya...tentu..tentu saja. Waktu itu...aku..aku seperti melihat Ayahku.
Iya..aku pikir pria itu Ayahku,” jawab Sinby terdengar ragu.
“Alright. Minggu ini aku akan ke Indonesia. Kita bicarakan masalah ini
nanti, Ok?”
“Yeah. Ok,” Alicia menutup telfonnya malas.
“Kau berhutang nyawa padanya Alicia. Terlalu kejam kalau kau tidak
mengingatnya,” lanjut Hana kembali menggiring Alicia ke topik awal.
Meski masih kesal pada Toby, mau tak mau Alicia harus melihat kembali wajah
sang penyelamat dalam artikel online itu. Cukup lama ia mengamati,
mencoba mengingat.
Hana menarik boneka Patrick Alicia, kemudian menaruh boneka
berbentuk bintang laut itu tepat di perpotongan lehernya.
Alis tercengang. Wajahnya menyiratkan sebuah penyangkalan luar biasa yang
tak mampu terucap. Rona merah di pipi menunjukkan rasa malu. Mungkinkah dia
seagresif itu?
“Kakak pasti bercanda, iya kan?”
“Saat aku meraih tanganmu, kau malah bersikeras memeluknya. Dia bahkan
terpaksa melepas masker oksigen dan membantuku membaringkanmu di kereta dorong.
Aku sendiri terkejut. Kau memeluknya seerat aku memeluk bonekamu, seperti ini!”
Hana menenggelamkan Patrick sampai benar-benar beringsut, tenggelam
dalam pelukannya.
“Serius? Oh, my God!” Alicia memegang pipinya yang panas, lalu
mengipas-ngipas lehernya dengan tangan. Sekali lagi matanya terbelalak.
Wajahnya semakin merah mengalahkan kepiting rebus. “Bagaimana mungkin aku memeluk
laki-laki asing? Aku bahkan tidak pernah memeluk Toby meski aku menyukainya.”
Hana mengangkat bahu. “Kau bahkan menembak lengannya. Syukurlah hanya
tergores. Hooohh...jangan bilang kau―tidak ingat?”
Alicia membeku. “Aku ingat,” jawabnya setelah berpikir cukup lama.
Hana menghela nafas. “Aku lupa menanyakan namanya. Dia pemuda indo,
mirip dengan ayahmu, sungguh! Dan dia...terlihat...misterius.”
Pernyataan Hana membuat Alicia mengangguk-angguk. “Baiklah, mulai sekarang
kakak bisa mulai membantuku mencarinya. Siapa namanya, dimana rumahnya,
semuanya.”
“No problem, Al!” jawab Hana. Sesaat, ia kembali menoleh ke arah Alicia.
Dan, tiba-tiba saja ia melihat gadis itu tersenyum sendiri.
“Kau sedang memikirkan hal lain, apa aku benar?”
Tak menunggu lama, tawa Alicia meledak.
“Heii!!!” seru Hana sambil menutup telinga rapat-rapat.
Alicia memosisikan dirinya senyaman mungkin di kursi. “Kak, aku sudah
bertemu kembaranku, Olivier. Bahkan semalam kami...tidak sengaja―kyaaaa” Karena malu, direbutnya kembali Patrick
dengan kasar dari tangan Hana. Lalu memeluknya erat.
“Aliciaaa!” seru Hana tersipu.
“Besok aku akan ke Indonesia. Kau harus ikut denganku, Kak.” Alicia menekan
lembut hidung Hana dengan jari telunjuknya yang lentik sambil memicingkan mata.
“Aku akan memulai karirku yang baru di sana. Aku akan menyusul Vic.”
-O0O-
Park Avenue-Long Beach
Suara berisik mesin
bor, besi-besi yang disolder, suara kayu, batu, dan benda berat lainnya yang
saling bertumbukan, kian akrab di telinga Rain. Pemuda ini bersama sahabatnya,
Ferry, sekarang bekerja sebagai kuli dalam proyek pembangunan Apartemen.
Tepat jam dua belas siang, para pekerja mulai beristirahat. Banyak dari
mereka yang pergi bergerombol menuju rumah makan terdekat. Ada juga yang
memilih tidur atau makan bekal di tempat kerja.
Rain dan Ferry memilih beristirahat di tempat tertinggi dari bangunan itu.
Keduanya makan siang di sana sambil bercengkrama.
Dengan mulut yang penuh makanan, Ferry menanyakan tanggapan Rain soal gosip
yang menerpanya dengan aktris yang bernama Alicia. Ferry menanyakan hal
tersebut sedikit menekan, seperti seorang fans yang sedang cemburu.
“Sekarang sahabatku menjadi buronan wartawan, heh!” Ferry tersenyum
miring.
“Hey, Rain! Jangan diam saja!” Tak kuat melihat sikap dingin Rain, Ferry
berpaling. “Hassh...kau ini! Dia Alicia! Aliciaaa!”
“Lalu?” Rain meneguk kaleng minumannya. Setelah itu ia menoleh ke arah
Ferry sambil mengangkat alisnya tinggi-tinggi.
“Sudahlah.” Ferry mati gaya.
Rain hanya tersenyum melihat wajah frustasi sahabatnya itu, lalu meneguk
kembali minumannya sampai tandas.
Tak mendapat respon berarti dari Rain, senyum Ferry memudar. Matanya
seketika membulat, menatap Rain dalam-dalam.
“Dia berhutang nyawa padamu, Rain.” Nada suara Ferry amat rendah. Membuat
Rain semakin tak berekspresi. Pemuda itu hanya menunduk, seperti sedang
berpikir. Padahal sebenarnya tak ada hal spesial yang sedang ia pikirkan.
Rain hanya bisa merasakan kehampaan setelah Mia tiada. Karena itu ia tak
sempat berpikir. Misalnya, karena bertemu Alicia, ia tak menyadari suara Mia.
Karena menolong Alicia, ia kehilangan Mia. Dan, pikiran-pikiran buruk lainnya.
Rain bahkan tak bisa merasakan penyesalan atau rasa untuk membenci dirinya
sendiri. Ia bahkan tak bisa mengeluarkan air matanya meski hanya sekali.
Ada sebuah benteng di hatinya. Benteng itu yang mencegah perasaan-perasaan
buruk menguasai, atau membuatnya terlalu terpuruk. Dan, benteng itu seperti
sengaja dibuat oleh seseorang, tapi bukan dirinya.
-O0O-
Bandara Internasional
Soekarno-Hatta
Seorang pemuda
berwajah khas oriental sedang menyesap cappucino di sebuah cafe. Matanya
menyipit, menatap serius layar tablet. Alis tebalnya yang hitam bertautan.
Parasnya yang rupawan, kian melukiskan keseriusan yang mendalam.
Tung..tung..crang...crang*
“Yaaah~” Pemuda itu tiba-tiba mengeluh, kesal. ‘Game Over’, itulah
tulisan yang terpampang di layar gadget-nya.
“Haasshh! Rowl, kau bodoh sekali!” Pemuda itu merutuki dirinya
sendiri. Dan tak lama kemudian, seorang gadis asing tiba-tiba menegur.
“Maaf, bisakah aku meminjam ponsel Anda sebentar?” Gadis berwajah rupawan
khas pribumi itu tampak serius. Seperti hanya Rowl satu-satunya harapannya.
“Aku ingin meminjam ponsel Anda
sebentar. Tolong, ini sangat mendesak.” Gadis itu terpaksa mengulang
kata-katanya karena Rowl diam saja.
Rowl tiba-tiba berkeringat dingin. Dalam sekejap mulutnya mengering. Ia
lalu memberikan ponselnya tanpa menatap sang gadis.
“Terima kasih.” Gadis itu sedikit mengacuhkan sikap Rowl yang aneh. Setelah
ponsel ada dalam genggaman, ia langsung menghubungi seseorang. Sembari itu,
pandangannya beralih ke entrance area. Mengamati dengan seksama
orang-orang yang lalu lalang di sana, seperti sedang mencari-cari.
“Ck, tidak diangkat.” Seketika raut kekecewaan terpancar, menyapu
sedikit kecantikan gadis itu. Ia lalu mengembalikan ponsel Rowl.
“Terima kasih.” Wajah pucat muncul seiring dengan senyum manis sang gadis.
Membuat Rowl yang mulai berani menatapnya, jadi ikut merasakan kerisauan di
wajah ayu tersebut.
“Sama-sama,” jawab Rowl, lagi-lagi sambil menunduk.
Gadis itu berbalik dan mata Rowl terus mengikutinya. Pemuda itu terpaku
dengan punggung mungil tersebut, sejenak ia melupakan game di
tablet-nya.
Entah apa yang menarik dari gadis itu. Wajahnya keibuan, cukup manis,
polos, dan tidak bosan dipandang. Kulitnya warna kuning langsat. Mahkota
kepalanya cukup indah, lurus, hitam, dan panjang. Gadis ini memakai sweater
yang jatuh di bawah lutut. Tubuhnya pendek dan mungil. Meski begitu, dia gadis
dewasa yang tampak anggun.
Rowl meminum kembali capuccino-nya. Kali ini pria itu tidak
menyesapnya, tapi meneguknya sampai habis, seolah sedang dilanda kehausan. Rowl
kemudian terpekur pada sesuatu yang tak sengaja diinjaknya. Ia memungut buku
kecil yang ternyata adalah sebuah passport. Rowl melihat foto dalam passport
tersebut, sekaligus membaca nama si pemilik.
“Ruby Airlangga,” ucapnya.
Ia terkesiap, lalu melihat ke arah pintu keluar Terminal. Sosok gadis itu
masih terlihat olehnya, namun jarak mereka sudah sangat jauh. Perhatiannya pun
jadi terbagi saat melihat sosok Olivier di sana−berjalan dengan santai sambil
memasukkan kedua tangan dalam saku jaket. Pemuda berlesung pipi itu hendak
berpapasan dengan Ruby. Karena itu, Rowl mengangkat tinggi-tinggi passport
di tangannya ke arah Olivier sambil menunjuk ke arah Ruby.
“What?” Olivier bertanya tanpa suara. Dan di saat itulah, sang gadis melewatinya.
Aroma baby cologne yang sangat segar merebak ke udara. Olivier
terhenyak sesaat ketika indra penciumnya menghirup aroma harum itu. Tubuhnya
membeku sesaat. Wajah yang tadinya penuh ekspresi, jadi pudar seketika.
Aroma itu sangat familiar. Aroma yang seperti dikenalnya sejak ia
masih bayi. Aroma seorang ibu, tapi bukan Rose. Ia tak menemukan aroma yang ia
rindukan dari ibunya yang sekarang. Sampai akhirnya ia menghirup harum tubuh
Ruby.
Olivier tak sempat melihat wajah gadis yang melewatinya tadi. Ia hanya
melihat punggung dan rambut panjangnya yang berayun-ayun saat kaki mungilnya
berlari.
“Viiic!” Suara Rowl begitu lantang. Membuat Olivier mengerjapkan mata, seperti
baru sadar dari sihir yang memabukkan.
“Perempuan tadi...menjatuhkan ini,” kata Rowl dengan nafas tersengal begitu
sampai pada Olivier. Ia memberikan buku passport itu sambil
menyipitkan mata ke arah sosok Ruby yang kemudian hilang ditelan cahaya.
Olivier membuka passport itu dengan santai, lalu melihat foto dan
nama identintas si pemilik.
“Ruby Airlangga. Ruby....” Olivier mengucapkan nama itu perlahan.
“Berikan pada polisi,” lanjut Olivier santai.
Rowl tampak tak puas. Di wajahnya masih tersirat rasa kesal karena Olivier mengabaikannya.
Sementara itu, Olivier sahabatnya heran. Alis hitamnya bertautan, seperti
hendak memastikan sesuatu.
“Hey, kau belum sembuh? Maksudku... caligynephobia.” Olivier
menuding butiran-butiran keringat yang membanjir di dahi Rowl sambil
menyeringai lebar. (caligynephobia: ketakutan pada wanita cantik)
Bibir Rowl mengerucut ironis.
“Menurutku gadis itu biasa saja. Bukankah kau lebih suka gadis bermata
seperti ini?” Olivier menarik kedua sudut matanya dengan telunjuk sampai
menjadi garis lurus. Lalu ia kembali tertawa.
“Shénme?” (benarkah?) tanya Rowl. Ia sengaja bertanya menggunakan bahasa Mandarin,
karena tahu bahwa teman kampusnya di Oxford Inggris ini akan berhenti
tertawa. Dan, benar adanya. Olivier diam. Rowl pun makin antusias melancarkan
bahasa mandarinnya yang membuat telinga Olivier gatal.
“Xiao Oliver, Hen Jiu Bu Jian Le, ni hao ma?” (Vic, lama tidak bertemu.
Bagaimana kabarmu)
“...”
“Ni Xiang Na'r Qu?” (Kau hendak pergi kemana?)
“...”
Kali ini Olivier tak ingin terlihat bodoh.
“Shen Jing Bing!” (Kau gila) katanya. Hanya itu kalimat yang diketahui
artinya dengan baik oleh Olivier.
“Hey, aku masih sehat! Karena dia tidak terlalu cantik dan seksi, jadi yang
keluar hanya keringat dingin saja.” Rowl menyeka dahinya.
Olivier mengangguk-angguk pasrah. Senyumannya tak pernah pudar selama wajah
Rowl masih pucat.
Mereka berjalan bersama keluar dari Bandara,
“Maaf, aku tidak bermaksud mempermainkan phobia yang kau derita. Aku hanya
merasa terkejut saja. Kenapa phobia-mu kambuh hanya karena melihat gadis mungil
itu.” Senyum Olivier terkesan sedikit mencemooh. “Aku berharap kau ada kemajuan
setelah berlibur di sini. Aku akan membantumu. I promise,” lanjutnya.
Rowl kembali tersenyum. “Cepat sekali kau kembali. Bagaimana kabar
keluargamu di California?”
Ingatan Olivier langsung tertuju pada adik kembarnya Alicia. Ia menyeringai
lebar dan menjawab sambil berjalan santai. “Wonderful.”
-O0O-
Park Avenue-Long Beach
Usai beristirahat,
Ferry dan Rain turun dari atap dan berjalan menuju lantai dasar untuk kembali
bekerja. Namun di tengah perjalanan, ada hal yang menyita perhatian Rain.
Seorang pemuda Tionghoa terlihat kesulitan berkomunikasi dengan seorang
mandor. Pemuda itu diutus oleh pemilik tanah untuk memberikan sebuah berkas
yang hendak ditujukan pada pimpinan. Tapi sialnya, sang mandor tak mengerti
bahasa mandarin.
Mata Ferry melotot saat Rain berjalan santai mendekati mereka. Tanpa sempat
bertanya, Ferry pun membuntuti Rain seperti hendak unjuk gigi.
“Ni hao,” (apa kabar)sapa Rain sedikit membungkukkan badan.
“Ni Hao, Wo Xiang Jian Chen JingLi,” jawab pemuda Tionghoa itu.
Rain tersenyum tipis setelah mengerti ucapan pemuda itu. Ia lalu bertanya
pada mandornya. “Maaf Tuan, katanya dia ingin bertemu Direktur Chen. Apa beliau
mengunjungi tempat ini tadi?”
“Oh, ya. Direktur Chen baru saja pergi,” jawab sang mandor. Lelaki paruh
baya itu tersenyum lebar sambil mengelus kepalanya yang botak. Wajahnya tampak
terkesima pada keterampilan Rain berbahasa asing. Tak terkecuali Ferry.
Pemuda Tionghoa itu kembali menjelaskan maksud kedatangannya pada Rain.
Kemudian ia memberikan berkas yang dititipkan bosnya untuk diberikan pada
pimpinan mandor.
“Hao, Wo Zhi Dao,” jawab Rain. (Baik, saya mengerti)
“Xie xie,” jawab pemuda itu. (terima kasih)
Ferry tak terkejut dengan keterampilan berbahasa asing Rain. Sejak kecil,
Rain dibimbing oleh seorang guru keturunan Tionghoa yang mendirikan sekolah
gratis di salah satu perkampungan kumuh di ibu kota. Anak-anak didik memanggil
beliau dengan sebutan Lǐ lǎoshī (guru Li). Sang guru sudah
bertahun-tahun mengabdikan diri untuk anak-anak yang tidak bisa sekolah.
Dalam didikan lǐ lǎoshī, Rain banyak belajar beberapa bahasa,
diantaranya bahasa Inggris dan Mandarin. Rain juga memelajari sastra,
keterampilan bermain catur, dan masih banyak lagi.
-O0O-
Perumahan Pantai Indah
Kapuk
Jakarta
Taksi berhenti di
depan sebuah rumah besar yang sudah disegel. Seorang gadis yang keluar dari
sana, melihat rumah tersebut dengan mulut menganga lebar. Tubuhnya berat dan
kaku laksana batu besar saat melihat papan yang digantung di sela pagar.
‘DIJUAL’.
Ruby mengeryit dalam. Matanya masih lekat menatap tulisan itu. Ia
mencermati kembali fisik bangunan rumah, mulai dari pagar, nomor rumah, dan
akhirnya berhenti di kotak surat warna pink yang menempel di sisi pagar.
Dia sendiri yang mengecatnya saat masih berusia lima belas tahun. Tidak salah
lagi, rumah itu adalah rumahnya. Tapi kenapa...
Di tengah rasa tak percaya, Ruby terngingang ucapan pria paruh baya yang
menghubunginya saat ia berlibur di Hawai. Orang yang memberitahunya tentang
keadaan sang Ibu yang sebenarnya.
...
“Kau harus bangkit! Lanjutkan usaha ibumu!Buat Maurer Alvayet berlutut di
makam Maya! Kau bisa memulainya dengan membunuh Putra Maurer...Olivier Alvayet”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar