Bab 1
Courage is fire, and bullying
is smoke
-Benjamin Desrili-
Long Beach, California. 2014
"RAIN Arthuro Federick. Hanya
dia yang membuat semua ini mungkin terjadi."
Seorang
pemuda berjalan menuju gudang penyimpanan barang tekstil ilegal bersama kawan
sebayanya. Keduanya beserta kelompok yang lain bersiap menata meja, kursi, dan
memasang lampu gantung di setiap baris wilayah. Sore menjelang malam, tempat
itu selalu menjadi sarang para penjudi. Setelah barang tekstil dari pabrik
selesai diangkut ke dalam truk, gudang itu menjadi sangat luas. Sangat nyaman
untuk para penjudi itu.
"Kau
yakin malam ini kita masih aman? Aku rasa mereka sudah mengutus mata-mata untuk
menyelidiki apa kita berbuat curang." Pemuda berjenggot menimpali.
Wajahnya merah dan matanya sayu. Bau alkohol menyeruak saat mulutnya terbuka.
Hidungnya menghirup udara basah di luar gudang sambil menggeram pelan. Hujan nampaknya
akan turun deras malam ini, pikirnya.
Pemuda
yang tadi bicara tentang Rain mengernyitkan dahi. "Apa maksudmu? Apa
mereka mulai curiga?"
"Mereka
pantas curiga karena kelompok kita selalu menang. Kalau bukan karena Rain yang
cerdik itu, kita tidak bisa meraup keuntungan. Dia membuat kartu remi yang
biasa menjadi istimewa. Hanya kita yang bisa melihat wujud di balik kartu itu.
Selama mereka tak tahu, kita aman."
Dahi
pemuda tersebut semakin berkerut mendengar pemaparan lawan bicaranya. Tampak
suatu hal yang berat sedang memenuhi pikiran. Kekhawatiran dan kewaspadaan menjadi
satu di dalam benak ketika dirinya ingat seorang anak laki-laki yang sudah
dianggapnya seperti adik sendiri, Rain. Ia ingin melindungi anak itu jika
mereka ketahuan.
"Kalaupun
kita ketahuan, hal pertama yang kulakukan adalah menyelamatkan anak itu,
Arman."
"Kau
bercanda Boas?" timpal Arman tertawa kecil. Bau alkohol dari mulutnya
semakin menyengat. Membuat Boas sedikit mengernyit, lalu menjawab, "tentu
saja," kemudian tersenyum.
-O0O-
Tangan putih ramping seorang
pemuda sedang mengocok kartu remi di depan remaja cantik berkulit sawo matang.
Ia menunduk, membiarkan rambutnya yang cokelat keemasan menjuntai ke bawah menutupi
mata. Bibirnya ranum tersenyum tipis. Tubuhnya berbalut kaos hitam yang sedikit
ketat, dipadu dengan jaket jeans panjang yang cukup tebal dan berlubang
di beberapa bagian.
Wajahnya
mulus bersinar. Hanya kedua kakinya saja yang nampak kotor karena tidak memakai
alas. Beberapa goresan, debu dan kapal nampak di bagian telapak.
Di
samping keduanya, sedang bersandar di tembok seorang pemuda lain berpenampilan
acak-acakan. Wajahnya ditutupi topi koboi. Ia hanya memakai kaos kutang putih.
Kakinya yang panjang berbalut jeans usang. Umur dua puluh dua tahun,
sama seperti pemuda yang masih asyik mengocok kartu remi dengan berbagai gaya
itu. Pemuda tersebut tampak lihai dan tekun. Membuat anak perempuan di depannya
jadi menganga kagum.
"Kak
Rain hebat! Ajari aku caranya, Kak!" seru sang gadis.
"Hey,
anak kecil! Perlu kau tahu, itu hanya trik." Pemuda yang bersandar tadi,
akhirnya bangkit dari sandarannya.
"Aku
bukan anak kecil! Umurku sudah enam belas tahun." Mia melontarkan protes.
Tubuh gadis itu memang kurus dan berdada 'rata', tapi kakinya panjang seperti model.
Hanya saja wajahnya yang masih polos membuat Ferry tak bisa menganggap anak itu
wanita dewasa. Dia hanya remaja labil yang sangat mengidolakan Rain.
"Kak
Ferry pasti iri dengan Kak Rain, karena Kak Rain lebih jago. Iya, kan?"
Mia melanjutkan ejekannya.
"Heh?"
Ujung bibir Ferry berdenyut. "Aku? Iri dengan Rain? Jyahah...Apa
matahari sedang berguling-guling ke sebelah barat?"
“Kakak
saja yang guling-guling. Perut segembul itu masih saja dipelihara,” sindir
gadis berlesung pipi itu.
“Ap..apa...apa
katamu?!” Alis tebal Ferry terangkat tinggi-tinggi.
"Ini!"
Tiba-tiba Mia menyodorkan satu kartu king spade di depan mata Ferry.
"Kalau Kak Ferry memang jago, kakak pasti tahu arti kartu ini, hm?"
Mia mengangkat alisnya tinggi-tinggi.
"Itu―artinya―mm..."
Merasa
Ferry sudah mati gaya, Rain melempar pandangan sayu ke arah Mia. "Kartu
remi punya empat lambang, masing-masing mewakili empat pilar di zaman
pertengahan."
Menyadari
Ferry dan Mia mulai menatapnya penuh tanya, Rain kembali melanjutkan
penjelasannya sembari mengintip keadaan di lantai dasar dari sela-sela railing
besi. Tempat luas itu jadi penuh sesak karena para penjudi mulai berdatangan.
"Spade
mewakili militer. Heart mewakili gereja. Diamond mewakili
perdagangan. Club mewakili agriculture," terang Rain sambil
mengeluarkan kartu-kartu dengan lambang yang dimaksud. "Keempatnya seperti
mewakili kasta. Dan kasta tertinggi-adalah spade."
-O0O-
Di sepanjang jalan tol yang
lenggang, Lexus silver melaju kencang membelah angin yang bertiup di sekitar
Long Beach.
Di dalam
mobil mewah itu, seorang gadis sedang melipat tangan di dada sambil
mengetuk-ngetukkan kakinya yang berbalut sepatu pantofel kulit dengan tidak
sabar.
"Menyebalkan!!!"
gerutunya.
"Mereka
belum tahu dengan siapa mereka berhadapan," jawab wanita yang duduk di
sebelah sang pengemudi, membelakangi gadis berseragam polisi yang dari tadi
nampak gusar.
Wanita
itu sempat tersenyum. Namun senyuman itu pudar, berganti dengan kernyitan di
dahi.
"Al,
please! Jangan terpengaruh dengan peristiwa tadi, yah! Inilah
konsekuensi menjadi kekasih pria terkenal." Dia terus bicara dengan
ekspresi memohon, berharap emosi sang gadis mereda.
Alicia
Alvayet. Aktris muda yang sedang naik daun. Gadis berumur dua puluh dua tahun
itu memiliki banyak haters sejak berpacaran dengan Toby−aktor muda
kawakan yang punya banyak fans fanatik.
"Kak
Hana, sebenarnya lokasi shooting kita dimana? Dan kenapa harus dikawal
polisi?" tanya Alicia sambil membenahi cepol rambutnya.
Sesaat,
Alicia berpikir sendiri. Setelah menemukan jawaban, ia langsung mendahului sang
manajer yang hendak bersua.
"Pasti
nenek? Iya, kan?!" katanya yakin.
Sang
manajer mengangguk pasrah, berusaha sabar menghadapi Alicia−cucu keluarga
Alvayet yang manja dan arogan karena selalu dilindungi sang Nenek.
Waktu
kecil, Alicia pernah diculik. Sejak itu sang nenek terus memberi pengawalan
pada Alicia. Bahkan pengawalan itu semakin ketat saat sang cucu bertambah
dewasa.
"Tempatnya
terlalu jauh dari kota. Sangat terpencil. Jadi nenekmu meminta bantuan Paman
Alex."
"Oh..yeah―Paman
Alex lagi." Wanita cantik berkulit seputih susu itu terus merutuki lelaki
paruh baya yang bernama Alex. Beliau seorang Kepala Polisi, sahabat Ayah
Alicia. Alex Green terkenal bijaksana, cekatan, tegas, dan workaholic.
Sikapnya yang terlalu tegak pada hukum dan aturan membuat Alicia lumayan sebal.
"Oh
ya, aku dengar kembaranmu pulang hari ini bersama Ayah dan Ibumu juga."
Hana membuat topik baru.
"Hah?
Ooohh....ya...."
Di luar
dugaan Hana, Alicia menjawab terbata-bata.
"Apa
yang membuatmu gugup Alicia?" Hana langsung melontarkan kecurigaannya
sambil tersenyum tipis.
"Apa
karena saudara kembarmu itu laki-laki? Hooohh...jangan katakan kau terkena brother complex?" goda Hana lebih
ekstrim.
Mata
Alicia terbelalak, mengajak beradu pandang dengan sang manager.
"What??!
Brother complex? Are you kidding me?!"
seru Alicia. Semburat merah langsung muncul di kedua belah pipinya.
"Aku
dengar kalian dipisahkan sejak bayi. Apa alasannya?" tanya Hana, kali ini
serius.
Wajah
Alicia berubah dingin. "Karena Nenekku percaya mitos. Anak kembar
laki-laki dan perempuan bisa jadi jodoh. Dan untuk menghindari pernikahan
sedarah, kami dipisahkan sejak bayi."
Hening
sejenak. Hana terkejut sampai tak mampu berkata-kata untuk sesaat. Ini pertama
kali ia mendengar mitos semacam itu.
"At
least, kalian tahu wajah satu sama lain, kan?" Hana bertanya kembali
lebih serius. Namun Alicia membeku. Menyadari tak akan mendapat jawaban, Hana
pun cepat-cepat mengalihkan topik. "Aaa, kita hampir sampai. Pakai stocking-mu,
Al! Jangan lupa pistolnya."
"Ini
pistol asli." Alicia bergumam setelah mengamati dengan seksama pistol
kecil yang diambilnya dari dalam koper berwarna perak.
Hana
terkejut begitu ia menoleh ke belakang. Matanya mengerjap kuat sambil berseru, "Kenapa
koper itu ada di sini? Dimana kau menemukannya, Al?"
Alicia
menatap polos sang manajer sambil menunjuk ke arah bagasi. "Di sana.
Kenapa?"
"Jangan
main-main. Itu pistol sungguhan. Mungkin kemarin Mr. Hans lupa
mengeluarkannya."
"Pasti
Nenek yang memesan. Apa Nenek masih cemas kalau aku akan diculik lagi?"
tanya Alicia sambil memegang salah satu pistol kecil warna perak yang lebih
ringan dari dua pistol lainnya di dalam koper.
"Alicia..."
Hana bergumam pelan. Raut wajahnya berubah cemas saat menangkap kegugupan di
wajah Alicia.
"Pistol
itu tidak terlalu berbahaya," ucap Hana sambil menyentuh punggung tangan
Alicia yang dingin. "Kepala proyektilnya rata. Umumnya digunakan untuk
perlombaaan. Sasarannya adalah kertas. Jika ditembakkan, akan menghasilkan
lubang tembakan yang rata sehingga memudahkan dalam penilaian. Mungkin Nenek
Sofia sengaja memesannya agar kau bisa berlatih menembak mulai sekarang."
Alasan
Hana cukup masuk akal sehingga Alicia merasa harus percaya.
Masih
dalam perjalanan, Hana mengernyit saat menyadari ada yang tak beres. Ia merasa
jalan yang mereka lalui bukan jalan menuju lokasi shooting.
Tak lama,
ponselnya berdering. Hana cepat-cepat menjawab telfon dari Mr. Alex.
"Apa?!"
Hana terkejut setelah mendengar dengan seksama ucapan pria paruh baya di
seberang.
"Ada
apa?" tanya Alicia melihat Hana mematikan ponsel sambil menghela nafas
berat.
"Mereka
menemukan markas para penjudi. Kita akan kesana," jawab Hana datar.
"Aku
tidak salah kan? Dia memang workaholic," cetus Alicia.
-O0O-
Long Beach Airport
"Sudah lama sekali,"
gumam sang istri, kemudian menoleh ke arah suaminya.
"Hmm,
yah.." Lelaki paruh baya berwajah indo itu menarik nafas panjang
sambil memejamkan mata sejenak. Bibirnya melengkung ke atas begitu manis.
Senyumnya menyiratkan rasa rindu pada tempat dimana dia menghabiskan hampir
separuh masa kecilnya, sampai akhirnya ia harus pindah ke London untuk mengurus
bisnis keluarga.
Berbeda
dengan kedua orang tuanya yang begitu antusias melihat sekeliling, sang anak
sibuk melihat gadget.
Dia
seorang pemuda tampan. Rambutnya ikal berwarna hitam. Tubuhnya ramping dan juga
tinggi, memakai jas panjang warna putih gading. Di lehernya melingkar syal
rajut warna merah. Bibir tebal semerona buah semangka. Kulit putih seindah
salju.
"Olivier,
kau mau langsung ikut kami pulang. Atau...kau ingin berjalan-jalan sendiri
mungkin?" Sang ayah, Maurer, menawari pemuda yang berdiri di belakangnya.
Olivier tersentak pelan. Dagunya naik, menatap
Ayah dan Ibunya secara bergantian. "Aku―" ucapnya terpotong sejenak.
"―ingin jalan-jalan. Mom..Dad..kalian pulang duluan saja."
"Mom
kira kau akan ikut kami. Apa kau tidak rindu dengan saudara kembarmu?"
Sang ibu mencoba merayu.
Olivier
tersenyum tipis. "Merindukannya?" Dahinya sedikit mengernyit sebelum
melanjutkan ucapannya. "Mom, aku tidak punya rasa semacam itu. Kami
dipisahkan sejak bayi. Mom juga mengatakan wajah kami tidak mirip. Mungkin
pertemuan pertama kami nanti akan sangat canggung. Daripada dikatakan
rindu...lebih masuk akal jika dikatakan penasaran."
"Karena
penasaran...lebih baik bertemu dulu dan mengabaikan anggapan bahwa akan muncul
kecanggungan di antara kalian nanti," sang Ayah pun ikut merayu.
Sesaat
mereka terdiam. Lalu Maurer bicara dengan antusias. "Baiklah. Kita sarapan
dulu. Oohh...aku ingin minum kopi. Ayo, Ol!" katanya sambil menepuk bahu
Olivier.
-O0O-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar