Jumat, 10 Juli 2015

Bab 1

Bab 1

Courage is fire, and bullying is smoke
-Benjamin Desrili-

Long Beach, California. 2014

"RAIN Arthuro Federick. Hanya dia yang membuat semua ini mungkin terjadi."
Seorang pemuda berjalan menuju gudang penyimpanan barang tekstil ilegal bersama kawan sebayanya. Keduanya beserta kelompok yang lain bersiap menata meja, kursi, dan memasang lampu gantung di setiap baris wilayah. Sore menjelang malam, tempat itu selalu menjadi sarang para penjudi. Setelah barang tekstil dari pabrik selesai diangkut ke dalam truk, gudang itu menjadi sangat luas. Sangat nyaman untuk para penjudi itu.
"Kau yakin malam ini kita masih aman? Aku rasa mereka sudah mengutus mata-mata untuk menyelidiki apa kita berbuat curang." Pemuda berjenggot menimpali. Wajahnya merah dan matanya sayu. Bau alkohol menyeruak saat mulutnya terbuka. Hidungnya menghirup udara basah di luar gudang sambil menggeram pelan. Hujan nampaknya akan turun deras malam ini, pikirnya.
Pemuda yang tadi bicara tentang Rain mengernyitkan dahi. "Apa maksudmu? Apa mereka mulai curiga?"
"Mereka pantas curiga karena kelompok kita selalu menang. Kalau bukan karena Rain yang cerdik itu, kita tidak bisa meraup keuntungan. Dia membuat kartu remi yang biasa menjadi istimewa. Hanya kita yang bisa melihat wujud di balik kartu itu. Selama mereka tak tahu, kita aman."
Dahi pemuda tersebut semakin berkerut mendengar pemaparan lawan bicaranya. Tampak suatu hal yang berat sedang memenuhi pikiran. Kekhawatiran dan kewaspadaan menjadi satu di dalam benak ketika dirinya ingat seorang anak laki-laki yang sudah dianggapnya seperti adik sendiri, Rain. Ia ingin melindungi anak itu jika mereka ketahuan.
"Kalaupun kita ketahuan, hal pertama yang kulakukan adalah menyelamatkan anak itu, Arman."
"Kau bercanda Boas?" timpal Arman tertawa kecil. Bau alkohol dari mulutnya semakin menyengat. Membuat Boas sedikit mengernyit, lalu menjawab, "tentu saja," kemudian tersenyum.
-O0O-
Tangan putih ramping seorang pemuda sedang mengocok kartu remi di depan remaja cantik berkulit sawo matang. Ia menunduk, membiarkan rambutnya yang cokelat keemasan menjuntai ke bawah menutupi mata. Bibirnya ranum tersenyum tipis. Tubuhnya berbalut kaos hitam yang sedikit ketat, dipadu dengan jaket jeans panjang yang cukup tebal dan berlubang di beberapa bagian.
Wajahnya mulus bersinar. Hanya kedua kakinya saja yang nampak kotor karena tidak memakai alas. Beberapa goresan, debu dan kapal nampak di bagian telapak.
Di samping keduanya, sedang bersandar di tembok seorang pemuda lain berpenampilan acak-acakan. Wajahnya ditutupi topi koboi. Ia hanya memakai kaos kutang putih. Kakinya yang panjang berbalut jeans usang. Umur dua puluh dua tahun, sama seperti pemuda yang masih asyik mengocok kartu remi dengan berbagai gaya itu. Pemuda tersebut tampak lihai dan tekun. Membuat anak perempuan di depannya jadi menganga kagum. 
"Kak Rain hebat! Ajari aku caranya, Kak!" seru sang gadis.
"Hey, anak kecil! Perlu kau tahu, itu hanya trik." Pemuda yang bersandar tadi, akhirnya bangkit dari sandarannya.
"Aku bukan anak kecil! Umurku sudah enam belas tahun." Mia melontarkan protes. Tubuh gadis itu memang kurus dan berdada 'rata', tapi kakinya panjang seperti model. Hanya saja wajahnya yang masih polos membuat Ferry tak bisa menganggap anak itu wanita dewasa. Dia hanya remaja labil yang sangat mengidolakan Rain.
"Kak Ferry pasti iri dengan Kak Rain, karena Kak Rain lebih jago. Iya, kan?" Mia melanjutkan ejekannya.
"Heh?" Ujung bibir Ferry berdenyut. "Aku? Iri dengan Rain? Jyahah...Apa matahari sedang berguling-guling ke sebelah barat?"
“Kakak saja yang guling-guling. Perut segembul itu masih saja dipelihara,” sindir gadis berlesung pipi itu.
“Ap..apa...apa katamu?!” Alis tebal Ferry terangkat tinggi-tinggi.
"Ini!" Tiba-tiba Mia menyodorkan satu kartu king spade di depan mata Ferry. "Kalau Kak Ferry memang jago, kakak pasti tahu arti kartu ini, hm?" Mia mengangkat alisnya tinggi-tinggi.
"Itu―artinya―mm..."
Merasa Ferry sudah mati gaya, Rain melempar pandangan sayu ke arah Mia. "Kartu remi punya empat lambang, masing-masing mewakili empat pilar di zaman pertengahan."
Menyadari Ferry dan Mia mulai menatapnya penuh tanya, Rain kembali melanjutkan penjelasannya sembari mengintip keadaan di lantai dasar dari sela-sela railing besi. Tempat luas itu jadi penuh sesak karena para penjudi mulai berdatangan.
"Spade mewakili militer. Heart mewakili gereja. Diamond mewakili perdagangan. Club mewakili agriculture," terang Rain sambil mengeluarkan kartu-kartu dengan lambang yang dimaksud. "Keempatnya seperti mewakili kasta. Dan kasta tertinggi-adalah spade."
-O0O-

Di sepanjang jalan tol yang lenggang, Lexus silver melaju kencang membelah angin yang bertiup di sekitar Long Beach.
Di dalam mobil mewah itu, seorang gadis sedang melipat tangan di dada sambil mengetuk-ngetukkan kakinya yang berbalut sepatu pantofel kulit dengan tidak sabar.
"Menyebalkan!!!" gerutunya.
"Mereka belum tahu dengan siapa mereka berhadapan," jawab wanita yang duduk di sebelah sang pengemudi, membelakangi gadis berseragam polisi yang dari tadi nampak gusar.
Wanita itu sempat tersenyum. Namun senyuman itu pudar, berganti dengan kernyitan di dahi.
"Al, please! Jangan terpengaruh dengan peristiwa tadi, yah! Inilah konsekuensi menjadi kekasih pria terkenal." Dia terus bicara dengan ekspresi memohon, berharap emosi sang gadis mereda.
Alicia Alvayet. Aktris muda yang sedang naik daun. Gadis berumur dua puluh dua tahun itu memiliki banyak haters sejak berpacaran dengan Toby−aktor muda kawakan yang punya banyak fans fanatik.
"Kak Hana, sebenarnya lokasi shooting kita dimana? Dan kenapa harus dikawal polisi?" tanya Alicia sambil membenahi cepol rambutnya.
Sesaat, Alicia berpikir sendiri. Setelah menemukan jawaban, ia langsung mendahului sang manajer yang hendak bersua.
"Pasti nenek? Iya, kan?!" katanya yakin.
Sang manajer mengangguk pasrah, berusaha sabar menghadapi Alicia−cucu keluarga Alvayet yang manja dan arogan karena selalu dilindungi sang Nenek.
Waktu kecil, Alicia pernah diculik. Sejak itu sang nenek terus memberi pengawalan pada Alicia. Bahkan pengawalan itu semakin ketat saat sang cucu bertambah dewasa.
"Tempatnya terlalu jauh dari kota. Sangat terpencil. Jadi nenekmu meminta bantuan Paman Alex."
"Oh..yeah―Paman Alex lagi." Wanita cantik berkulit seputih susu itu terus merutuki lelaki paruh baya yang bernama Alex. Beliau seorang Kepala Polisi, sahabat Ayah Alicia. Alex Green terkenal bijaksana, cekatan, tegas, dan workaholic. Sikapnya yang terlalu tegak pada hukum dan aturan membuat Alicia lumayan sebal.
"Oh ya, aku dengar kembaranmu pulang hari ini bersama Ayah dan Ibumu juga." Hana membuat topik baru.
"Hah? Ooohh....ya...."
Di luar dugaan Hana, Alicia menjawab terbata-bata.
"Apa yang membuatmu gugup Alicia?" Hana langsung melontarkan kecurigaannya sambil tersenyum tipis.
"Apa karena saudara kembarmu itu laki-laki? Hooohh...jangan katakan kau terkena brother complex?" goda Hana lebih ekstrim.
Mata Alicia terbelalak, mengajak beradu pandang dengan sang manager.
"What??! Brother complex? Are you kidding me?!" seru Alicia. Semburat merah langsung muncul di kedua belah pipinya.
"Aku dengar kalian dipisahkan sejak bayi. Apa alasannya?" tanya Hana, kali ini serius.
Wajah Alicia berubah dingin. "Karena Nenekku percaya mitos. Anak kembar laki-laki dan perempuan bisa jadi jodoh. Dan untuk menghindari pernikahan sedarah, kami dipisahkan sejak bayi."
Hening sejenak. Hana terkejut sampai tak mampu berkata-kata untuk sesaat. Ini pertama kali ia mendengar mitos semacam itu.
"At least, kalian tahu wajah satu sama lain, kan?" Hana bertanya kembali lebih serius. Namun Alicia membeku. Menyadari tak akan mendapat jawaban, Hana pun cepat-cepat mengalihkan topik. "Aaa, kita hampir sampai. Pakai stocking-mu, Al! Jangan lupa pistolnya."
"Ini pistol asli." Alicia bergumam setelah mengamati dengan seksama pistol kecil yang diambilnya dari dalam koper berwarna perak.
Hana terkejut begitu ia menoleh ke belakang. Matanya mengerjap kuat sambil berseru, "Kenapa koper itu ada di sini? Dimana kau menemukannya, Al?"
Alicia menatap polos sang manajer sambil menunjuk ke arah bagasi. "Di sana. Kenapa?"
"Jangan main-main. Itu pistol sungguhan. Mungkin kemarin Mr. Hans lupa mengeluarkannya."
"Pasti Nenek yang memesan. Apa Nenek masih cemas kalau aku akan diculik lagi?" tanya Alicia sambil memegang salah satu pistol kecil warna perak yang lebih ringan dari dua pistol lainnya di dalam koper.
"Alicia..." Hana bergumam pelan. Raut wajahnya berubah cemas saat menangkap kegugupan di wajah Alicia.
"Pistol itu tidak terlalu berbahaya," ucap Hana sambil menyentuh punggung tangan Alicia yang dingin. "Kepala proyektilnya rata. Umumnya digunakan untuk perlombaaan. Sasarannya adalah kertas. Jika ditembakkan, akan menghasilkan lubang tembakan yang rata sehingga memudahkan dalam penilaian. Mungkin Nenek Sofia sengaja memesannya agar kau bisa berlatih menembak mulai sekarang."
Alasan Hana cukup masuk akal sehingga Alicia merasa harus percaya.
Masih dalam perjalanan, Hana mengernyit saat menyadari ada yang tak beres. Ia merasa jalan yang mereka lalui bukan jalan menuju lokasi shooting.
Tak lama, ponselnya berdering. Hana cepat-cepat menjawab telfon dari Mr. Alex.
"Apa?!" Hana terkejut setelah mendengar dengan seksama ucapan pria paruh baya di seberang.
"Ada apa?" tanya Alicia melihat Hana mematikan ponsel sambil menghela nafas berat.
"Mereka menemukan markas para penjudi. Kita akan kesana," jawab Hana datar.
"Aku tidak salah kan? Dia memang workaholic," cetus Alicia.
-O0O-
Long Beach Airport

"Sudah lama sekali," gumam sang istri, kemudian menoleh ke arah suaminya.
"Hmm, yah.." Lelaki paruh baya berwajah indo itu menarik nafas panjang sambil memejamkan mata sejenak. Bibirnya melengkung ke atas begitu manis. Senyumnya menyiratkan rasa rindu pada tempat dimana dia menghabiskan hampir separuh masa kecilnya, sampai akhirnya ia harus pindah ke London untuk mengurus bisnis keluarga.
Berbeda dengan kedua orang tuanya yang begitu antusias melihat sekeliling, sang anak sibuk melihat gadget.
Dia seorang pemuda tampan. Rambutnya ikal berwarna hitam. Tubuhnya ramping dan juga tinggi, memakai jas panjang warna putih gading. Di lehernya melingkar syal rajut warna merah. Bibir tebal semerona buah semangka. Kulit putih seindah salju.
"Olivier, kau mau langsung ikut kami pulang. Atau...kau ingin berjalan-jalan sendiri mungkin?" Sang ayah, Maurer, menawari pemuda yang berdiri di belakangnya.
 Olivier tersentak pelan. Dagunya naik, menatap Ayah dan Ibunya secara bergantian. "Aku―" ucapnya terpotong sejenak. "―ingin jalan-jalan. Mom..Dad..kalian pulang duluan saja."
"Mom kira kau akan ikut kami. Apa kau tidak rindu dengan saudara kembarmu?" Sang ibu mencoba merayu.
Olivier tersenyum tipis. "Merindukannya?" Dahinya sedikit mengernyit sebelum melanjutkan ucapannya. "Mom, aku tidak punya rasa semacam itu. Kami dipisahkan sejak bayi. Mom juga mengatakan wajah kami tidak mirip. Mungkin pertemuan pertama kami nanti akan sangat canggung. Daripada dikatakan rindu...lebih masuk akal jika dikatakan penasaran."
"Karena penasaran...lebih baik bertemu dulu dan mengabaikan anggapan bahwa akan muncul kecanggungan di antara kalian nanti," sang Ayah pun ikut merayu.
Sesaat mereka terdiam. Lalu Maurer bicara dengan antusias. "Baiklah. Kita sarapan dulu. Oohh...aku ingin minum kopi. Ayo, Ol!" katanya sambil menepuk bahu Olivier.
-O0O-


Tidak ada komentar:

Posting Komentar