Jumat, 10 Juli 2015

Bab 2



Bab2

A bond is a deep connection that can’t be broken even if apart, heart and heart are connected
–Pheng Xiong-

RAIN melanjutkan penjelasannya tentang keistimewaan kartu remi. Sembari itu, matanya terus menelusup  tajam ke sela-sela railing besi. Mengamati perjudian yang semakin panas di lantai dasar.
“Setiap gambar di kartu kerajaan mewakili tokoh-tokoh sejarah.” Rain kemudian menyebar kartu remi di depan Mia dan Ferry. “King pada lambang Spade, mewakili King David, Raja Israel. King Heart adalah Charlemagne pendiri The Holy Roman Empire. King Diamond mewakili Julius Caesar, the great director of Rome. Dan terakhir, King Club yang mewakili Alexander the Great, seorang jendral Macedonia.”
Nama-nama asing yang disebut Rain bertubi-tubi membuat Mia semakin terpesona. Ketika Rain mengucapkan apa yang tak pernah ia dengar sebelumnya dari orang lain, ia menganggap pemuda itu sangat jenius. Rain ibarat kamus berjalan.
“Apa lagi?” tanya Ferry.
Rain menggaruk alis kanannya. Ia lalu mengambil secarik kertas dan pensil. “Jumlah kartu remi ada lima puluh dua. Jumlah ini merupakan jumlah huruf pada kartu remi dalam satu macam simbol. Penamaannya...berlaku dalam empat bahasa.” Setelah itu ia menulis sambil bicara.
“Dalam bahasa Inggris. Ace, two, three, four, five, six, seven, eight, nine, ten, jack, queen, king. Coba hitung!”
Ferry dan Mia sama-sama mendekat ke arah kertas. Sama-sama menghitung jumlah huruf yang ditulis Rain. Dan ternyata benar. Ada lima puluh dua huruf. Rain lalu kembali menulis.
“Dalam bahasa Belanda. As, twee, drie, vier, vijf, zes, seven, acht, negen, tien, boer, vrouw, heer.
Ferry dan Mia kembali menghitung huruf yang ditulis Rain.
“Dalam bahasa Jerman. As, zwei, drei, funf, sechs, sieben, acht,neun, zehn, bube, dame, konig.” Selama menulis dan melafalkan bahasa asing itu, Rain terus melihat tajam ke arah seorang pria yang sedang mengamati punggung kartu remi buatannya. Pancaran mata lelaki itu begitu serius. Seolah hendak mencari suatu tanda mencurigakan di sana.
“Benar, kak. Ada lima puluh dua. Wahhh, Kak Rain memang hebat.” Mia terus memuji.
“Heh, itu cuma kebetulan.” Ferry tetap pada pendiriannya. Skeptis.
Rain menghela nafas. “Dan terakhir, dalam bahasa Perancis. As, deux, trois, quatre, cing, six, sept, huit, neuf, dix, valet, reine, roi.
Bertepatan dengan selesainya Rain menulis, mata lelaki yang sedari tadi mengamati punggung kartu remi Rain terbelalak. Sepertinya ia sudah menemukan sesuatu. Lelaki itu lalu memanggil kawannya. Ia menunjukkan tanda aneh di punggung kartu remi yang baru ia temukan.
“Benar, Kak! Ada lima puluh dua!” seru Mia yang kemudian memutus perhatian Rain pada dua lelaki tadi.
Haassshhh.” Ferry mendesis kesal. “Hey anak kecil, tidak ada yang menarik dari kartu remi ini. Benda ini cuma sekedar kartu, kau tahu!” Suaranya meninggi.
“Hey, Rain!” Ferry mengalihkan perhatiannya pada Rain. “Aku pernah bilang berkali-kali, lakukan semua itu di depan gadis seksi. Jangan pada anak ingusan seperti dia! Dan saat itu, aku berani bertaruh. Para gadis akan langsung meninggalkanmu. Karena mereka sama sekali tidak tertarik dengan sejarah kartu remi. Dasar sok pintar!”
Lelah mencemooh, Ferry memandang Rain lebih intens. Sedikit pun pria berambut auburn itu tidak terpengaruh pada ocehan sahabatnya. Yah, Rain memang seperti itu. Tidak pernah peduli. Tapi sepertinya pemuda ini serius. Ferry pun langsung mengikuti kemana Rain mengedarkan pandangannya.
“Kita sudah ketahuan,” bisik Rain.
Ferry terlonjak kaget. Matanya memelototi Rain tanpa berkedip. “Serius?!” Ferry semakin yakin sahabatnya itu tidak bercanda karena Rain terus mengamati dua lelaki yang sedang berdiskusi di sudut terpencil di dalam ruangan.
Tak lama kemudian, seseorang muncul di tengah-tengah mereka. Nafasnya yang tersengal menyita perhatian Rain, Ferry, dan Mia.
“Rain, bos menyuruhmu mengemasi uang kita di ruang brankas. Cepat!” kata lelaki itu.
“Kak Rain―” Mia mulai merengek ketakutan.
“Aku melarangmu datang ke sini. Tapi kau nekat,” ucap Rain lembut. Sekarang matanya menajam ke arah Ferry. Menyusup sampai ke dasar bola mata hitam yang sedang membulat ke arahnya. “Bawa Mia! Aku akan ke gudang sendiri.”
“Tapi, Rain...bahaya kalau kau sendirian kesana.”
“Bawa Mia pergi!” pinta Rain berusaha bicara setenang mungkin.
Wajah Ferry yang menegang seketika menjadi pucat pasi, penuh kepasrahan. “Baiklah!”
Melihat Ferry menggandeng kuat tangan Mia dan membawa gadis itu pergi, Rain menunjukkan senyum menggantung yang nyaris tak kelihatan di permukaan.
...
Mendapat setengah perjalanan, Mia tiba-tiba melepas genggaman Ferry lalu berlari kembali ke tempat Rain. Berhasil berhadapan kembali dengan sang kakak, Mia menatap kuat Rain.
            “Cepatlah kembali! Janji!” ucap Mia sungguh-sungguh.
Di momen itulah, Rain tak ingin memungkiri kalau kedua pasang matanya telah melihat Mia sebagai gadis dewasa, bukan seperti adik perempuan yang selama ini diinginkannya.
Perasaan itu pun makin membuncah saat Mia menggantungkan kedua tangan di pundaknya. Lalu bibir gadis itu−mengecup bibirnya, pelan dan sangat...lembut.
“Rain. Aku ingin memanggil namamu begitu, tanpa ‘Kak’,”ucap Mia dalam hati.“Aku ingin memanggilmu begitu, supaya kau tidak menganggapku adik. Kau lelaki pertama yang membuatku mengenal sosok seorang Ayah, Ibu, dan Kakak. Karena dari kecil, aku tidak punya mereka. Aku hanya punya kau.
Aku jatuh cinta padamu, Kakakku. Dan cinta ini yang akhirnya membuatku terlahir kembali. Aku bukan lagi Mia kecil yang kau usap kepalanya saat menangis. Aku Mia, yang ingin menjadi istrimu. Menjadi Ibu untuk anak-anakmu. Aku akan menjadi matahari yang bersembunyi di balik awan untuk memberimu keteduhan. Aku akan menjadi embun agar kau bisa merasakan kesegaran saat bernafas. Aku ingin menjadi yang paling berharga di dunia ini, yang akan selalu bersamamu, sampai kapanpun."
Rain tanpa sadar melingkarkan tangannya ke pinggang mungil Mia. Meraup tubuh gadis itu semakin dalam dan membalas ciuman Mia.
-O0O-

 “Ada apa ini?” Hana terkejut saat banyak mobil sedan hitam berputar-putar di sekeliling mereka. Kemudian mobil-mobil asing itu berhenti, mengelilingi mobil milik Alicia dan dua mobil polisi yang ada di depan dan belakang.
“Cepat keluar!” Seorang lelaki asing mengetuk jendela mobil Alicia dengan pistol. Mobil dua polisi juga menjadi sasaran. Semua orang di dalam sana terpaksa keluar sambil mengangkat tangan.
“Penjahat sekarang...tidak takut pada polisi ya? Mengharukan sekali,” gumam Alicia.
“Kau masih bisa bercanda Alicia?” Hana berbisik gemetar.
“Apa aku terlihat bercanda? Bukankah ada di berita. Penjahat menembak polisi yang sedang bertugas.” Pandangan Alicia langsung beredar pada kepala polisi yang terlihat sok tegar di matanya.  “Sekarang apa yang bisa kau lakukan untuk memperbaiki kecerobohanmu, Om?” Alicia merutuki lelaki paruh baya itu dalam hati.
      “Pak, bagaimana ini?” bisik sang anak buah. Dia makin panik setelah banyak orang asing mengepung mereka sambil menodongkan pistol.
“GPS di ponsel ini menyala.” Alex melihat saku jasnya, tempat ponselnya bersembunyi. “Kita sudah menghubungi kantor pusat. Mereka pasti sudah menuju ke tempat ini.”
-O0O-

Seorang pemuda bertubuh kurus muncul dari pintu ruang kerja seseorang. Pemuda itu lalu mengatur nafasnya yang tersengal-sengal. “Bos,” panggilnya kemudian. Pandangannya mengarah pada seseorang yang duduk di kursi kebesaran.
      “Ada polisi. Jumlahnya−” Pemuda itu melihat langit-langit, berusaha mengingat. Tak lama ia berseru, “empat orang, bos! Kami terpaksa menyandera mereka. Selanjutnya bagaimana?”
“Bakar tempat ini bersama mereka. Walaupun hanya empat orang, polisi itu pasti sudah melacak tempat ini. Mereka juga sudah melihat kita. Jadi lenyapkan semua bukti, tanpa bekas.”
Di situasi lain, Rain sampai di ruang brankas. Karena lupa membawa kunci, dia terpaksa mendorong pintu kayu itu dengan kakinya.
BRUGH!
Debu beserta sarang laba-laba langsung mencuat dari sela-sela pintu dan dinding. Tanpa segan, Rain melangkahi pintu yang baru dijebolnya itu, kemudian dengan sigap mengambil karung di sudut ruangan. Ia menghancurkan lemari kaca dengan batu. Setelah itu, ia meraup semua uang di dalam sana sampai habis.
Sembari melakukan semua itu, samar-samar Rain mendengar suara erangan dua orang gadis di luar ruangannya.
“Lepas!” Alicia benar-benar tak ingin tangannya yang sudah diikat, disentuh lelaki asing yang menodongkan pistol ke punggungnya.
“Kami tidak peduli dengan bisnis kalian. Kalau kalian mau berjudi, silahkan! Tapi lepaskan kami!” ucap ketus Hana.
“Kau datang ke wilayah kami membawa polisi. Jadi kami terpaksa menyandera kalian,” ucap polos salah satu lelaki asing yang menawan mereka.
Hana memejamkan mata dengan anggun untuk menenangkan diri. “Dengar, kalian sudah menawan empat polisi itu, kan? Mereka lebih berbahaya dari kami. Kami ini cuma...menumpang lewat saja. Kau...tidak kenal wajah ini?” Hana mengalihkan pandangannya ke arah Alicia.
Lelaki asing itu mulai mengernyit. Ia tatap Alicia begitu intens. Ada keyakinan bahwa ia mengetahui gadis itu. Tapi rasa tak percaya membuatnya seperti sedang bermimpi.
Sesaat kemudian.
“Alicia. Alicia Alvayet!” Lelaki itu memekik.
 “Yaahhh..dia Alicia! Sekarang lepaskan ikatan kami!” ucap antusias Hana.
Sementara itu di Gudang...

“Lebih baik Kak Ferry susul Kak Rain, sekarang,” pinta Mia sungguh-sungguh.
“Mia, kau tidak dengar kata Rain tadi? Kau mau melanggar perintahnya?” bentak Ferry.
Kerusuhan di lantai dasar makin menjadi-jadi. Ferry dan Mia langsung menengok ke bawah. Sambil berpegang kuat pada railing besi yang sudah berkarat, mereka menengok keadaan di bawah sana.
“Kak Rain dalam bahaya!” Tubuh Mia sudah gatal ingin kembali pada Rain. Dan Ferry pun terpaksa mencengkal Mia yang terus memberontak.
“Mia! Mia, dengarkan aku!” Ferry mengguncang tubuh Mia yang ringkih. “Setelah aku berhasil menyelamatkanmu, aku akan menyusul Rain. Aku janji!”
Mia mengerang putus asa. Dia menangis sesenggukan sambil mengucapkan nama Rain. Setelah tubuh Mia lemas, Ferry langsung menggendong gadis itu di punggungnya.
-O0O-
Area berjudi semakin panas. Meja kursi patah karena dibanting. Salah satu kelompok sudah mengetahui strategi sang penyelenggara judi. Mereka membuat kartu remi sendiri yang bagian punggungnya ada sebuah tanda. Yang tahu tanda itu, akan tahu angka dan lambang dibalik kartu remi tersebut. Jadi mereka marah. Mereka memporak-porandakan tempat itu tanpa ampun.
Teriakan dan suara benda bertumbukan memecah keheningan malam. Ditambah lagi suara sirine mobil polisi yang terdengar semakin dekat menuju gudang tekstil. Mereka yang terlibat perjudian pun makin gusar, berlomba-lomba melarikan diri. Namun, kobaran api tiba-tiba menjalar dari mulut pintu utara gudang. Beberapa dari mereka yang hendak berjalan kesana, langsung terlonjak kaget. Mereka segera mundur menghindari api.
“Apa Bos mau membakar kami hidup-hidup? Ah, sial!” Ferry terus menggerutu. Dia terpaksa mencari jalan keluar yang lain karena mulut pintu yang dilewatinya sudah menyembulkan api.
Kakinya terus melangkah tanpa lelah. Sampai di tengah perjalanan, Ferry terkesiap saat berpapasan dengan seniornya. “Kak Boas! Kak Arman!” seru Ferry.
Boas dan Arman langsung menghampiri Ferry. “Rain dimana?” tanya Boas khawatir.
“Rain mengambil uang di brankas. Mungkin dia belum tahu kalau tempat ini akan dibakar sampai habis,” jawab Ferry tersengal.
“Sial! Bos sudah membereskan uangnya sendiri di ruang kerjanya. Dia juga sudah kabur lewat pintu belakang,” ucap Boas. Sekarang pikirannya dipenuhi oleh Rain.
“Mungkin dia sudah berniat melenyapkan Rain.” Tiba-tiba Arman melontarkan prasangkanya. “Dia ingin melenyapkan semua bukti. Baik soal perjudian maupun penyelundupan barang tekstil ke luar negeri secara ilegal.”
Ucapan Arman memang masuk akal. Hal itu menjadi alasan terkuat Boas untuk masuk kembali ke gudang di tengah kobaran api. Arman tak bisa mencegah. Sekarang ia tahu bahwa ucapan Boas yang ingin melindungi Rain, bukan omong kosong belaka.
Sementara itu, Rain bersandar di ambang pintu sambil mengamati temannya yang sedang melepas ikatan tangan Alicia dan Hana. Karung berisi emas dan uang sementara dibiarkan tergeletak di sisi kanannya.
“Alicia, boleh aku  minta tanda tangan?” tanya lelaki itu antusias.
Bola mata Alicia beralih pada sang manajer. “Ada bolpoin, spidol, atau sejenisnya?” tanya Alicia kemudian.
“Bolpoin?” Pemuda itu sibuk memeriksa tubuhnya.
Sesaat kemudian, “tidak ada,” jawab lelaki itu lemas.
“Ah, kalau begitu lain kali.” Alicia langsung bangkit berdiri bersama Hana disusul kemudian oleh lelaki itu. Mereka kabur bersama.
Sambil menghela nafas, Rain kembali meraup karungnya. Dipikul karung itu di pundak kanannya setelah tiga anak manusia itu hilang tertelan cahaya.          
Di tengah perjalanan, Rain menghentikan langkahnya ketika berhasil mengendus bau api. Pikirannya langsung menyeruak, memaparkan rencana busuk Bos-nya. Sadar dirinya hendak dilenyapkan, Rain langsung berlari mencari jalan keluar.
-O0O-


Tidak ada komentar:

Posting Komentar