Bab2
A bond is a deep connection
that can’t be broken even if apart, heart and heart are connected
–Pheng Xiong-
RAIN melanjutkan penjelasannya
tentang keistimewaan kartu remi. Sembari itu, matanya terus menelusup
tajam ke sela-sela railing besi. Mengamati perjudian yang semakin panas
di lantai dasar.
“Setiap
gambar di kartu kerajaan mewakili tokoh-tokoh sejarah.” Rain kemudian menyebar
kartu remi di depan Mia dan Ferry. “King pada lambang Spade,
mewakili King David, Raja Israel. King Heart adalah Charlemagne
pendiri The Holy Roman Empire. King Diamond mewakili Julius
Caesar, the great director of Rome. Dan terakhir, King Club yang
mewakili Alexander the Great, seorang jendral Macedonia.”
Nama-nama
asing yang disebut Rain bertubi-tubi membuat Mia semakin terpesona. Ketika Rain
mengucapkan apa yang tak pernah ia dengar sebelumnya dari orang lain, ia
menganggap pemuda itu sangat jenius. Rain ibarat kamus berjalan.
“Apa
lagi?” tanya Ferry.
Rain
menggaruk alis kanannya. Ia lalu mengambil secarik kertas dan pensil. “Jumlah
kartu remi ada lima puluh dua. Jumlah ini merupakan jumlah huruf pada kartu
remi dalam satu macam simbol. Penamaannya...berlaku dalam empat bahasa.”
Setelah itu ia menulis sambil bicara.
“Dalam
bahasa Inggris. Ace, two, three, four, five, six, seven, eight, nine, ten,
jack, queen, king. Coba hitung!”
Ferry dan
Mia sama-sama mendekat ke arah kertas. Sama-sama menghitung jumlah huruf yang
ditulis Rain. Dan ternyata benar. Ada lima puluh dua huruf. Rain lalu kembali
menulis.
“Dalam
bahasa Belanda. As, twee, drie, vier, vijf, zes, seven, acht, negen, tien,
boer, vrouw, heer.”
Ferry dan
Mia kembali menghitung huruf yang ditulis Rain.
“Dalam
bahasa Jerman. As, zwei, drei, funf, sechs, sieben, acht,neun, zehn, bube,
dame, konig.” Selama menulis dan melafalkan bahasa asing itu, Rain terus
melihat tajam ke arah seorang pria yang sedang mengamati punggung kartu remi
buatannya. Pancaran mata lelaki itu begitu serius. Seolah hendak mencari suatu
tanda mencurigakan di sana.
“Benar,
kak. Ada lima puluh dua. Wahhh, Kak Rain memang hebat.” Mia terus memuji.
“Heh, itu
cuma kebetulan.” Ferry tetap pada pendiriannya. Skeptis.
Rain
menghela nafas. “Dan terakhir, dalam bahasa Perancis. As, deux, trois,
quatre, cing, six, sept, huit, neuf, dix, valet, reine, roi.
Bertepatan
dengan selesainya Rain menulis, mata lelaki yang sedari tadi mengamati punggung
kartu remi Rain terbelalak. Sepertinya ia sudah menemukan sesuatu. Lelaki itu
lalu memanggil kawannya. Ia menunjukkan tanda aneh di punggung kartu remi yang
baru ia temukan.
“Benar,
Kak! Ada lima puluh dua!” seru Mia yang kemudian memutus perhatian Rain pada
dua lelaki tadi.
“Haassshhh.”
Ferry mendesis kesal. “Hey anak kecil, tidak ada yang menarik dari kartu remi
ini. Benda ini cuma sekedar kartu, kau tahu!” Suaranya meninggi.
“Hey,
Rain!” Ferry mengalihkan perhatiannya pada Rain. “Aku pernah bilang
berkali-kali, lakukan semua itu di depan gadis seksi. Jangan pada anak ingusan
seperti dia! Dan saat itu, aku berani bertaruh. Para gadis akan langsung meninggalkanmu.
Karena mereka sama sekali tidak tertarik dengan sejarah kartu remi. Dasar sok
pintar!”
Lelah
mencemooh, Ferry memandang Rain lebih intens. Sedikit pun pria berambut auburn itu tidak terpengaruh pada ocehan
sahabatnya. Yah, Rain memang seperti itu. Tidak pernah peduli. Tapi sepertinya
pemuda ini serius. Ferry pun langsung mengikuti kemana Rain mengedarkan
pandangannya.
“Kita
sudah ketahuan,” bisik Rain.
Ferry
terlonjak kaget. Matanya memelototi Rain tanpa berkedip. “Serius?!” Ferry
semakin yakin sahabatnya itu tidak bercanda karena Rain terus mengamati dua
lelaki yang sedang berdiskusi di sudut terpencil di dalam ruangan.
Tak lama
kemudian, seseorang muncul di tengah-tengah mereka. Nafasnya yang tersengal
menyita perhatian Rain, Ferry, dan Mia.
“Rain,
bos menyuruhmu mengemasi uang kita di ruang brankas. Cepat!” kata lelaki itu.
“Kak
Rain―” Mia mulai merengek ketakutan.
“Aku
melarangmu datang ke sini. Tapi kau nekat,” ucap Rain lembut. Sekarang matanya
menajam ke arah Ferry. Menyusup sampai ke dasar bola mata hitam yang sedang
membulat ke arahnya. “Bawa Mia! Aku akan ke gudang sendiri.”
“Tapi,
Rain...bahaya kalau kau sendirian kesana.”
“Bawa Mia
pergi!” pinta Rain berusaha bicara setenang mungkin.
Wajah Ferry yang menegang seketika menjadi pucat pasi, penuh kepasrahan. “Baiklah!”
Melihat
Ferry menggandeng kuat tangan Mia dan membawa gadis itu pergi, Rain menunjukkan
senyum menggantung yang nyaris tak kelihatan di permukaan.
...
Mendapat
setengah perjalanan, Mia tiba-tiba melepas genggaman Ferry lalu berlari kembali
ke tempat Rain. Berhasil berhadapan kembali dengan sang kakak, Mia menatap kuat
Rain.
“Cepatlah kembali! Janji!” ucap Mia sungguh-sungguh.
Di momen
itulah, Rain tak ingin memungkiri kalau kedua pasang matanya telah melihat Mia
sebagai gadis dewasa, bukan seperti adik perempuan yang selama ini
diinginkannya.
Perasaan
itu pun makin membuncah saat Mia menggantungkan kedua tangan di pundaknya. Lalu
bibir gadis itu−mengecup bibirnya, pelan dan sangat...lembut.
“Rain. Aku ingin memanggil namamu begitu, tanpa ‘Kak’,”ucap Mia dalam hati.“Aku
ingin memanggilmu begitu, supaya kau tidak menganggapku adik. Kau lelaki
pertama yang membuatku mengenal sosok seorang Ayah, Ibu, dan Kakak. Karena dari
kecil, aku tidak punya mereka. Aku hanya punya kau.
Aku jatuh cinta padamu, Kakakku. Dan cinta ini yang akhirnya membuatku
terlahir kembali. Aku bukan lagi Mia kecil yang kau usap kepalanya saat
menangis. Aku Mia, yang ingin menjadi istrimu. Menjadi Ibu untuk anak-anakmu.
Aku akan menjadi matahari yang bersembunyi di balik awan untuk memberimu
keteduhan. Aku akan menjadi embun agar kau bisa merasakan kesegaran saat
bernafas. Aku ingin menjadi yang paling berharga di dunia ini, yang akan selalu
bersamamu, sampai kapanpun."
Rain
tanpa sadar melingkarkan tangannya ke pinggang mungil Mia. Meraup tubuh gadis
itu semakin dalam dan membalas ciuman Mia.
-O0O-
“Ada apa ini?” Hana
terkejut saat banyak mobil sedan hitam berputar-putar di sekeliling mereka.
Kemudian mobil-mobil asing itu berhenti, mengelilingi mobil milik Alicia dan
dua mobil polisi yang ada di depan dan belakang.
“Cepat
keluar!” Seorang lelaki asing mengetuk jendela mobil Alicia dengan pistol.
Mobil dua polisi juga menjadi sasaran. Semua orang di dalam sana terpaksa
keluar sambil mengangkat tangan.
“Penjahat
sekarang...tidak takut pada polisi ya? Mengharukan sekali,” gumam Alicia.
“Kau
masih bisa bercanda Alicia?” Hana berbisik gemetar.
“Apa aku
terlihat bercanda? Bukankah ada di berita. Penjahat menembak polisi yang sedang
bertugas.” Pandangan Alicia langsung beredar pada kepala polisi yang terlihat
sok tegar di matanya. “Sekarang apa yang bisa kau lakukan untuk
memperbaiki kecerobohanmu, Om?” Alicia merutuki lelaki paruh baya itu dalam
hati.
“Pak, bagaimana ini?” bisik sang anak buah. Dia makin panik setelah banyak
orang asing mengepung mereka sambil menodongkan pistol.
“GPS di
ponsel ini menyala.” Alex melihat saku jasnya, tempat ponselnya bersembunyi.
“Kita sudah menghubungi kantor pusat. Mereka pasti sudah menuju ke tempat ini.”
-O0O-
Seorang pemuda bertubuh kurus
muncul dari pintu ruang kerja seseorang. Pemuda itu lalu mengatur nafasnya yang
tersengal-sengal. “Bos,” panggilnya kemudian. Pandangannya mengarah pada
seseorang yang duduk di kursi kebesaran.
“Ada polisi. Jumlahnya−” Pemuda itu melihat langit-langit, berusaha mengingat.
Tak lama ia berseru, “empat orang, bos! Kami terpaksa menyandera mereka.
Selanjutnya bagaimana?”
“Bakar
tempat ini bersama mereka. Walaupun hanya empat orang, polisi itu pasti sudah
melacak tempat ini. Mereka juga sudah melihat kita. Jadi lenyapkan semua bukti,
tanpa bekas.”
Di
situasi lain, Rain sampai di ruang brankas. Karena lupa membawa kunci, dia
terpaksa mendorong pintu kayu itu dengan kakinya.
BRUGH!
Debu
beserta sarang laba-laba langsung mencuat dari sela-sela pintu dan dinding.
Tanpa segan, Rain melangkahi pintu yang baru dijebolnya itu, kemudian dengan
sigap mengambil karung di sudut ruangan. Ia menghancurkan lemari kaca dengan
batu. Setelah itu, ia meraup semua uang di dalam sana sampai habis.
Sembari
melakukan semua itu, samar-samar Rain mendengar suara erangan dua orang gadis
di luar ruangannya.
“Lepas!”
Alicia benar-benar tak ingin tangannya yang sudah diikat, disentuh lelaki asing
yang menodongkan pistol ke punggungnya.
“Kami
tidak peduli dengan bisnis kalian. Kalau kalian mau berjudi, silahkan! Tapi
lepaskan kami!” ucap ketus Hana.
“Kau
datang ke wilayah kami membawa polisi. Jadi kami terpaksa menyandera kalian,”
ucap polos salah satu lelaki asing yang menawan mereka.
Hana
memejamkan mata dengan anggun untuk menenangkan diri. “Dengar, kalian sudah
menawan empat polisi itu, kan? Mereka lebih berbahaya dari kami. Kami ini
cuma...menumpang lewat saja. Kau...tidak kenal wajah ini?” Hana mengalihkan
pandangannya ke arah Alicia.
Lelaki
asing itu mulai mengernyit. Ia tatap Alicia begitu intens. Ada keyakinan bahwa
ia mengetahui gadis itu. Tapi rasa tak percaya membuatnya seperti sedang
bermimpi.
Sesaat
kemudian.
“Alicia.
Alicia Alvayet!” Lelaki itu memekik.
“Yaahhh..dia Alicia! Sekarang lepaskan ikatan
kami!” ucap antusias Hana.
…
Sementara itu di Gudang...
“Lebih
baik Kak Ferry susul Kak Rain, sekarang,” pinta Mia sungguh-sungguh.
“Mia, kau
tidak dengar kata Rain tadi? Kau mau melanggar perintahnya?” bentak Ferry.
Kerusuhan
di lantai dasar makin menjadi-jadi. Ferry dan Mia langsung menengok ke bawah.
Sambil berpegang kuat pada railing besi yang sudah berkarat, mereka
menengok keadaan di bawah sana.
“Kak Rain
dalam bahaya!” Tubuh Mia sudah gatal ingin kembali pada Rain. Dan Ferry pun
terpaksa mencengkal Mia yang terus memberontak.
“Mia!
Mia, dengarkan aku!” Ferry mengguncang tubuh Mia yang ringkih. “Setelah aku
berhasil menyelamatkanmu, aku akan menyusul Rain. Aku janji!”
Mia
mengerang putus asa. Dia menangis sesenggukan sambil mengucapkan nama Rain.
Setelah tubuh Mia lemas, Ferry langsung menggendong gadis itu di punggungnya.
-O0O-
Area berjudi semakin panas.
Meja kursi patah karena dibanting. Salah satu kelompok sudah mengetahui
strategi sang penyelenggara judi. Mereka membuat kartu remi sendiri yang bagian
punggungnya ada sebuah tanda. Yang tahu tanda itu, akan tahu angka dan lambang
dibalik kartu remi tersebut. Jadi mereka marah. Mereka memporak-porandakan
tempat itu tanpa ampun.
Teriakan
dan suara benda bertumbukan memecah keheningan malam. Ditambah lagi suara sirine
mobil polisi yang terdengar semakin dekat menuju gudang tekstil. Mereka yang
terlibat perjudian pun makin gusar, berlomba-lomba melarikan diri. Namun,
kobaran api tiba-tiba menjalar dari mulut pintu utara gudang. Beberapa dari
mereka yang hendak berjalan kesana, langsung terlonjak kaget. Mereka segera
mundur menghindari api.
“Apa Bos
mau membakar kami hidup-hidup? Ah, sial!” Ferry terus menggerutu. Dia terpaksa
mencari jalan keluar yang lain karena mulut pintu yang dilewatinya sudah
menyembulkan api.
Kakinya
terus melangkah tanpa lelah. Sampai di tengah perjalanan, Ferry terkesiap saat
berpapasan dengan seniornya. “Kak Boas! Kak Arman!” seru Ferry.
Boas dan
Arman langsung menghampiri Ferry. “Rain dimana?” tanya Boas khawatir.
“Rain
mengambil uang di brankas. Mungkin dia belum tahu kalau tempat ini akan dibakar
sampai habis,” jawab Ferry tersengal.
“Sial!
Bos sudah membereskan uangnya sendiri di ruang kerjanya. Dia juga sudah kabur
lewat pintu belakang,” ucap Boas. Sekarang pikirannya dipenuhi oleh Rain.
“Mungkin
dia sudah berniat melenyapkan Rain.” Tiba-tiba Arman melontarkan prasangkanya.
“Dia ingin melenyapkan semua bukti. Baik soal perjudian maupun penyelundupan
barang tekstil ke luar negeri secara ilegal.”
Ucapan
Arman memang masuk akal. Hal itu menjadi alasan terkuat Boas untuk masuk
kembali ke gudang di tengah kobaran api. Arman tak bisa mencegah. Sekarang ia
tahu bahwa ucapan Boas yang ingin melindungi Rain, bukan omong kosong belaka.
…
Sementara itu, Rain bersandar
di ambang pintu sambil mengamati temannya yang sedang melepas ikatan tangan
Alicia dan Hana. Karung berisi emas dan uang sementara dibiarkan tergeletak di
sisi kanannya.
“Alicia,
boleh aku minta tanda tangan?” tanya lelaki itu antusias.
Bola mata Alicia beralih pada
sang manajer. “Ada bolpoin, spidol, atau sejenisnya?” tanya Alicia kemudian.
“Bolpoin?”
Pemuda itu sibuk memeriksa tubuhnya.
Sesaat
kemudian, “tidak ada,” jawab lelaki itu lemas.
“Ah,
kalau begitu lain kali.” Alicia langsung bangkit berdiri bersama Hana disusul
kemudian oleh lelaki itu. Mereka kabur bersama.
Sambil
menghela nafas, Rain kembali meraup karungnya. Dipikul karung itu di pundak
kanannya setelah tiga anak manusia itu hilang tertelan cahaya.
Di tengah
perjalanan, Rain menghentikan langkahnya ketika berhasil mengendus bau api.
Pikirannya langsung menyeruak, memaparkan rencana busuk Bos-nya. Sadar dirinya
hendak dilenyapkan, Rain langsung berlari mencari jalan keluar.
-O0O-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar