Jumat, 10 Juli 2015

Bab 9



Bab 9

Love Talk in Silence
-Twin-


RAIN lari ke hutan untuk menemukan tempat paling sunyi. Tempat dimana tak seorang pun termasuk Ferry bisa mendengar erangan ketidakberdayaan, kesedihan, dan ketakutannya. Benteng yang menyelimutinya sejak kematian Mia, akhirnya roboh. Dalam sekejap luluh lantak seperti tinggal debu yang berterbangan, larut dalam kelamnya malam.
Rain membuka mulutnya lebar-lebar, meraup udara sebanyak mungkin. Tapi saat udara itu masuk ke tenggorokan, rasanya seperti duri yang menusuk-nusuk. Rain tersedak.
Kepahitan yang ditelannya bulat-bulat memendarkan sosok Mia. Sosok yang tiba-tiba menguasai hatinya, membuatnya ingin terus menangis karena rindu dan rasa menyesal yang luar biasa.
Tubuhnya menjadi lemah dan ringan, sehingga sangat mudah dibawa kembali ke masa lalu. Masa dimana ia bertemu dengan kenyataan yang lebih pahit.

Dua belas tahun lalu...
...
Rain  kecil berlari sekuat tenaga di bawah langit lembayung yang perlahan menjadi keabu-abuan. Jalanan becek karena baru saja disiram hujan yang cukup lebat. Udara di daerah dermaga Long Beach California terasa lembab saat dihirup. Membuatnya ingin cepat-cepat tidur setelah membantu Liana, Ibunya, berjualan kue.
Rain, kau tidak boleh terlambat. Tidak boleh. Kalimat itu menunjukkan ketetapan hatinya untuk tidak berhenti berlari sampai fasad rumahnya terlihat. Tapi, sebuah tangisan berhasil menghentikannya. Rain terpaku.
Di balik tong sampah, Rain yakin tangisan itu bersumber dari sana. Ia lalu berbalik dan berjalan perlahan, mengintip sosok di balik tong kotor itu.
Rain berjingkat kaget saat menemukan seorang anak perempuan dengan pakaian compang-camping beringsut gemetar di sana. Punggungnya yang mungil bersandar di tembok gudang yang sudah lumutan. Kedua kakinya tak dilindungi apapun.
Rain menyapu pandangan ke arah kakinya yang telanjang. Mereka... sama.
Mia menatap Rain dengan matanya yang sembab. Siapa kau? Kenapa kau melihatku? Pertanyaan itu berkumpul di kepala Mia saat Rain mendekat, lalu duduk jongkok di depannya sambil tersenyum.
Astaga, dia tampan sekali! batin Mia berteriak kegirangan. Ia seperti sedang bermimpi bertemu malaikat, setelah hujan deras hampir saja membekukan tubuhnya.
“Jadilah adikku! Aku ingin sekali punya adik perempuan,” kata Rain.
Mia mengerjap kuat. “Bolehkah?” tanyanya gemetar.
Rain mengangguk tanpa menghapus sedikit pun senyumnya. Dan anak perempuan berlesung pipi itu pun menangis bahagia.
Mia dibawa pulang oleh Rain tanpa rasa ragu sedikit pun. Ia tak takut jika Ayah tirinya akan menghajarnya atau tidak memberinya makan. Yang penting anak yang tidur di punggungnya ini harus meringkuk di ranjangnya sambil memakai selimut. Ia juga akan mencari akal untuk membiayai hidup Mia.
Sang Ayah benar-benar murka. Lelaki berjenggot itu mengucapkan sumpah serapah yang menyakitkan saat Rain nekat membawa Mia ke rumah kecil mereka di tepi pantai. Tapi Rain kecil tidak patuh. Ia mengunci kamarnya setelah memasukkan Mia dan mengeluarkan gadis itu setelah sang Ayah pergi. Hal tersebut berjalan terus-menerus sampai mereka dewasa.
Jika waktu kecil mereka masuk ke kamar dan menutup pintu sambil ketakutan, saat dewasa mereka melakukannya sambil tertawa.
Tubuh mereka saling berhimpit di depan pintu yang terkunci. Manik kembar mereka melebur dalam satu tatapan berarti. Suasana menjadi hening, sampai akhirnya Mia menjinjit sedikit untuk mengecup pipi Rain.
Rain tersentak pelan. Matanya yang cokelat memelototi manik kembar Mia yang manis. “Selamat ulang tahun Kak Rain!” Mia tersenyum lebar.
...
Karena Mia, Rain jadi ingat hari ulang tahunnya. Ia ingat untuk bersyukur telah dilahirkan ke dunia. Karena Mia, Rain jadi tahu nikmatnya bernafas dan hidup. Mia selalu bersamanya, setiap waktu, setiap detik. Mia adalah bayangannya, ikut kemana pun ia pergi.
 Jika Rain seekor burung, dia sudah kehilangan seluruh sayapnya. Tapi karena perasaan Olivier, saudara kembarnya yang berusaha melawan perasaan sedih Rain yang merasuk ke hatinya juga,  Rain akhinya bisa bertahan.
Air mata terus mengucur membasahi kulit wajah Rain yang memerah. Seluruh darah seakan berkumpul di sana.
Merasa telah berada di puncak kesakitan, Rain mendengar suara Ferry. Kedatangan pemuda itu seperti menariknya dari pusaran hitam yang hendak menenggelamkannya hidup-hidup.
“Rain, kau kenapa?” Ferry lekas menangkap tubuh Rain yang hendak jatuh. Rain menepis kuat tangan Ferry.
Batuk Rain menjadi-jadi. Sedikit air liur keluar dari bawah bibirnya yang merah. Rain berusaha berdiri dengan benar meski kepalanya masih terasa pusing. Tak ada satu kata pun terucap. Ia hanya memandang Ferry sesaat, lalu mengacuhkan pemuda itu lagi.
Rain terhuyung-huyung. Sementara Ferry masih terperanjat, berdiri di atas kedua kaki yang membeku. Ia tak percaya dengan apa yang dilihatnya tadi. Sinar mata Rain berbeda. Ini pertama kalinya Ferry merasa sangat takut.
Sejurus dengan itu.

 Jauh dari kemeriahan pesta, sekelompok lelaki asing sedang sibuk mengeluarkan  slim monitor yang di bagian layarnya memperlihatkan sebuah peta elektronik dan titik-titik lampu yang bergerak tak tentu arah.
“Sudah kau pastikan dia memakai kalung itu? Jika tidak, kami akan sulit melacak keberadaannya. Di dalam kalung itu ada chip yang akan terhubung dengan radar kami.” Seorang lelaki paruh baya sedang berdiri di balik pohon sambil berbicara pada seorang gadis di seberang.
Dia sudah memakainya. Sekarang kami ada di tengah api unggun,” jawab Ruby di seberang.
“Bagus. Jika ada kesempatan, bawa dia ke tempat sepi.” Lelaki itu memberi perintah terakhir lalu memutus telepon mereka. Kemudian ia mendekati rekannya yang sedang sibuk melihat monitor pelacak.
Mereka menunggu saat yang tepat untuk menyerang. Dan, mangsa mereka sudah jelas.

Beberapa saat lalu, Olivier berdiam di toilet. Ia membasuh wajahnya belasan kali. Tapi rasa sakit yang tak jelas alasannya itu masih membekas.
Olivier berjalan keluar, berusaha menikmati nafasnya. Meski tak yakin dirinya sudah membaik, Olivier berusaha membaurkan diri ke lingkungan sekitar.
Pertanyaan di hatinya akan terjawab. Tapi bukan malam ini. Malam yang seharusnya menjadi saat paling membahagiakan untuknya.
...

Suara gemerincing gelang kaki puluhan penari api diikuti dentuman luar biasa keras dari genderang raksasa, membaur, menciptakan harmonisasi yang mendebarkan dada setiap orang yang mendengarnya.
Para penari api memakai kostum yang khas, perpaduan antara desain fashion indian dan wayang khas Indonesia. Beberapa penari juga datang dari luar. Mereka memakai kostum penari Hawai lengkap dengan rumbai-rumbai dan hiasan kepala.
Tak hanya dua, tapi tiga budaya negara yang berbeda membaur melalui kostum para penari. Warna-warni dan corak yang dituangkan melalui pakaian dan pernak-pernik, menjadi keindahan tersendiri saat semua itu melebur di tengah api unggun raksasa.
Di tengah keindahan itu, Olivier menangkap sebuah bintang yang paling bersinar di antara yang lain. Sosok itu menyita seluruh perhatiannya. Perasaan membingungkan beberapa saat lalu seperti hilang hanya dengan melihat senyum Alicia.
Kecantikan Alicia memang tiada dua. Sosok gadis berambut pirang kecokelatan yang kini menari di tengah api unggun itu, telah membuat nadinya berdenyut kuat.
Ikut memakai pakaian seperti para penari lainnya, Alicia semakin  memukau. Senyumnya bak kembang api yang meledak-ledak di hati Olivier.
Di sisi lain, Alicia menyadari tatapan hangat Olivier. Tubuhnya berhenti bergerak untuk sementara. Di sela waktu kosongnya, Alicia menghela nafas panjang. Dadanya naik turun sambil melihat Olivier dari jauh. Saling melempar senyum, tatapan mereka kemudian berubah dalam dan kelam.
Ada perasaan lain muncul. Perasaan itu dibiarkan Alicia mengalir dan berkembang. Perasaan yang membuatnya merasa nyaman dan terlindungi. Tapi...
Sesaat kemudian, Alicia mengerjap-ngerjapkan mata kuat. Keningnya berkerut dalam, saat tiba-tiba sosok Olivier berubah menjadi Rain.
      “Rain,” gumamnya tak percaya.

Di tempat lain.

Ruby sedang berjalan tak tentu arah. Tubuhnya memang bergerak, tapi jiwanya seperti lepas dari raga dan melanglang buana.
Ia seperti berada di ruang kosong tanpa ada suara yang dapat mengusiknya. Keadaan itu sangat kontras dengan kenyataan yang sekarang menempatkannya di tengah kebahagiaan ratusan orang.
Para penari api bersorak sambil menghentakkan kaki. Mereka membuat lingkaran lalu berputar-putar. Mereka saling bergandengan tangan sambil bercanda, dan tertawa. Ruby hanya melirik sekilas jika lemgkingan suara mereka menusuk telinganya. Lalu ia mengalihkan pandangan, enggan ikut merasakan kebahagiaan. Tangannya meremas sebilah belati dengan lebih kuat, seolah itu adalah satu-satunya cara memantabkan hati untuk balas dendam.
Ia ingat, di satu malam ia menjerit karena tak mendengar suara apapun di kamarnya. Kamar yang nantinya akan menjadi milik orang lain karena rumahnya akan segera dijual. Sebenarnya Ruby sudah bisa menempati Apartemen mewah yang dibeli Otorio dari hasil uang asuransi jiwa milik Maya. Namun Ruby masih ingin berada di rumah yang sudah lima tahun ia tinggali bersama sang ibu.
Di  malam yang pekat itu, Ruby seperti kehilangan kewarasannya. Ia menjerit, berteriak tak mau hidup sendiri. Kemudian Otorio datang seperti sinar yang masuk dan menerobos kegelapan. Lelaki itu berusaha menunjukkan apa yang harus ia lakukan.
“Bunuh anak Maurer. Bunuh Olivier Alvayet. Dengan begitu batinmu akan tenang. Ibumu juga akan tenang.”
Suara Otorio seperti mimpi buruk di tengah rasa galau dan takut yang melanda Ruby. Hati kecilnya mati. Ruby tak tahu harus berbuat apa sekarang.
Lelah merasakan sakit yang tak berujung, emosi Ruby makin meluap melihat Olivier sedang memeluk Alicia di antara para penari yang mengelilingi api unggun.
Dalam pandangan Ruby, Olivier dan Alicia lebih mirip sepasang merpati yang memadu kasih daripada dua saudara kembar. Pemandangan itu membuatnya tak senang.
...
Olivier meremas rambut auburn Alicia, lalu sedikit menenggelamkan wajahnya di salah satu sisi pundak gadis itu. Ruby dapat melihat ekspresi Olivier dengan jelas. Namun, ia tak bisa melihat raut wajah Alicia karena gadis itu membelakanginya. Disapunya kembali pandangan ke arah Oliver. Pemuda itu terlihat masih tenggelam dalam pelukan Alicia. Namun tak lama, Olivier mengangkat dagunya. Dan saat manik kembarnya menangkap sosok Ruby, tiba-tiba saja seluruh tubuhnya terasa kaku.
Ruby merasakan emosinya semakin memuncak ketika Olivier menangkap kemarahan di matanya.
 “Ruby.” Oliver bergumam pelan saat berhasil melihat kilau ujung belati yang digenggam Ruby dengan tangan gemetar.
Dammit! Apa gadis itu hendak membunuhnya? Atau...Alicia? Siapa sebenarnya gadis itu??!! Pertanyaan dan seruan menguap di pikiran Olivier.
...
Dengan tergesa-gesa Ruby berjalan melewati Rain tanpa menyadari pisau lipatnya terlepas dari genggaman. Rain yang mengetahui hal itu, dengan tenang memungut pisau lipat Ruby sambil berspekulasi. Apa gadis itu hendak bunuh diri? Atau...hendak membunuh seseorang?
Ruby tersentak saat menyadari tangan kanannya hampa. Dengan panik ia berbalik ke belakang, berjalan beberapa langkah mencari pisaunya di tengah pasir.
          Langkahnya terhenti di depan Rain begitu melihat benda yang dicarinya sedang digenggam pria itu.
          “Kembalikan. Itu milikku,” katanya setenang mungkin.
          “Benda yang cukup berbahaya untuk kau bawa sambil berjalan di tepi pantai.  Rain mengangkat bahu sekilas.
“Aku membawanya untuk membunuh...ah sudahlah, itu bukan urusanmu.”
          Mata Rain sedikit terbelalak mendengar jawaban dari seorang gadis yang telah memberinya botol minuman siang tadi.
“Ikan,” lanjut Ruby tiba-tiba. “Membunuh ikan.”
          Alis Rain menurun. Pandangannya berangsur melunak. Jawaban Ruby seperti teka-teki yang cukup membuat Rain akhirnya mengembalikan pisau lipat itu tanpa banyak bertanya.
Alicia tersentak pelan ketika Olivier melepas pelukannya, kemudian mengatup wajahnya dengan kedua tangannya yang dingin. Olivier menatap Alicia sungguh-sungguh.
“Tunggu aku disini! Jangan kemana-mana!” perintah Olivier.
Kepergian Oliver yang tiba-tiba, tak ayal membuat perasaan Alicia kian memburuk.
Alicia tercenung sejenak, kemudian ia berjalan bingung di tengah keramaian.  Tanpa sadar, gadis itu melewati Rain.
Ada kesejukan seperti embun pagi berhembus, menyapu lembut hawa panas di satu sisi tubuh Rain. Sejenak, Rain terpaku merasakan semua itu. Sejenak, ia tak bisa mendengar suara apapun di telinganya sampai Alicia pergi bersama dengan lenyapnya kesejukan itu.
Rain menoleh dari balik bahunya, mengamati dengan sinis punggung Alicia yang perlahan ditelan gelap. Setelah itu, matanya mengerjap kembali. Kali ini tubuhnya benar-benar tersentak.
Seorang lelaki berpakaian sederhana dengan sarung yang terselampir menyilang di pundak, memakai topeng mengerikan dengan rambut serabut warna putih, lengkap dengan belati di tangan kanan−baru saja melewatinya. Perasaan buruk tiba-tiba memuntir jantung Rain tanpa alasan. Kemudian Ferry datang, menepuk keras pundak Rain sampai pemuda ini terkesiap.
“Rain, aku sudah memberitahu sekretaris Tuan Maurer!” Ferry mengatur nafasnya yang berantakan. “Dia akan segera menyampaikan pesanku. Lalu, apa kau sudah menemukan Alicia? Kita harus mengambil kalungnya lalu membuang perhiasan itu ke laut.”
Sejatinya beberapa saat lalu, Rain dan Ferry memergoki kumpulan lelaki aneh di dalam hutan. Kejadian itu tepat saat Rain baru saja menangis hebat karena Mia, dan akhirnya Ferry mengikuti Rain.
Mereka berhenti dan bersembunyi di balik pohon saat melihat beberapa pemuda bersama-sama melihat mesin pelacak. Setelah mendengar percakapan mereka, Rain dan Ferry akhirnya tahu bahwa mereka berniat jahat pada keluarga Alvayet.
“Tadi aku melihat orang asing itu berlari ke sini. Kau....tidak melihatnya?” Ferry mulai bertanya dengan hati-hati saat mencermati tatapan Rain yang kembali keruh. “Rain,” panggil Ferry takut-takut.
Rain tampak menelan ludah beberapa kali. Matanya tak fokus, berputar ke segala arah dengan cepat, lalu beberapa saat terpejam. Rain ingin melawan sesuatu yang masuk di dalam dirinya.
“Rain, katakan sesuatu! Kau kenapa?”
Rain sangat ingin mengutarakan perasaannya. Tapi rasa itu terlalu rumit untuk dijelaskan.
Sebuah suara menggema samar-samar dalam pendengarannya. Lalu suara itu mengucapkan kalimat pendek yang membuat seluruh syarafnya menegang.
...
“Kau merindukanku?” *Suara Olivier
...
Rasa khawatir  pada Alicia terus menghujam Rain. Tanpa alasan yang jelas, ia ingin menangis. Ia takut Alicia terluka. Ia tak ingin...
...
“Baiklah, mulai sekarang, kita tidak akan terpisah. Aku akan tinggal di sini, menjagamu. Aku tidak akan membiarkan siapapun melukaimu.”
...
Rain merasa nafasnya seperti direnggut paksa  menyadari bahwa suara yang terus menggema di hatinya adalah suara Olivier. Kalimat itu diucapkan Olivier untuk Alicia.
Sesak di dada membuat gemetar. Jiwanya seperti terbelah menjadi dua bagian. Satu bagian menginginkan tubuhnya bergerak menyelamatkan Alicia, dan bagian yang satunya lagi menginginkannya untuk diam.
“Oli-vi-yer!” Leher Rain seperti dicekik saat mengucapkan nama itu.
Rain bangkit lalu berlari sangat kencang. Kaki terasa begitu ringan saat dirinya memutuskan untuk bergerak menyelamatkan Alicia.

-O0O- 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar